Mubadalah.id – Jika merujuk realitas sosial, maka salah satu faktor yang menimbulkan dan melestarikan kejahatan kasus trafficking adalah faktor sosial budaya. Terutama yang menyangkut ketimpangan relasi.
Untuk itu, perlu ditegaskan norma-norma Islam mengenai prinsip keadilan relasi, baik antara rakyat dengan negara, anak dengan orang tua, istri dengan suami, ataupun buruh dengan majikan.
Lebih dari itu, perlu ditegaskan bahwa ajaran-ajaran dalam Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT semata. Melainkan juga menjelaskan soal etika kemanusiaan sebagai dasar relasi antar sesama.
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim yang baik adalah mereka yang sukses membangun hubungan baik dalam dua arah sekaligus. Secara vertikal, ia terus membina hubungan dengan Tuhan sebagai Dzat yang mencipta, dan secara horisontal ia senantiasa memperbaiki hubungan dengan sesama manusia.
Bukanlah Muslim yang baik, seseorang yang hanya sibuk melaksanakan ritus peribadatan. Tetapi dalam waktu yang sama melakukan tindakan anti kemanusiaan, seperti penindasan, kezaliman, kekerasan, pemerasan, manipulasi, eksploitasi, dan sebagainya. Bagi Islam, keadilan adalah basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia.
Kejahatan kasus trafficking hanya terjadi ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang tidak mengindahkan martabat manusia.
Ketika seseorang atau sekelompok orang menganggap orang yang lain sebagai komoditas bagi kepentingan akumulasi modal, yang bisa dibawa, dipindahkan, diberikan harga. Bahkan dibuang ketika tidak diperlukan lagi, maka tindak kejahatan trafficking sangat mungkin terjadi.
Karena itu, penghormatan terhadap martabat kemanusiaan menjadi sesuatu yang asasi dalam menanggulangi dan mengeliminasi praktik-praktik trafficking.
Penghormatan terhadap Martabat Kemanusiaan
Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang. Islam menolak segala bentuk tirani, eksploitasi, dominasi, dan hegemoni dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti ekonomi, politik, budaya, gender, dan lain-lain.
Al-Qur’an menyerukan kita agar menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. Allah SWT dalam Surat an-Nisa Ayat 75 berfirman:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau. Dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.” (QS. an-Nisa ayat 75).
Al-Qur’an juga berbicara tentang kewajiban membebaskan kaum mustadh’afin (orang-orang tertindas), menyantuni anak yatim, fuqara’ dan masikin, membela budak-budak belian, dan para tawanan. Agenda itulah yang seluruh Nabi dan Rasul Allah usung bersama. []