Mubadalah.id – Bagaimana suara perempuan di panggung politik? Dr. Hj. Maria Ulfah Anshor M.Si, adalah perempuan kelahiran Indramayu, 15 Oktober 1960 mengeyam pendidikan Islam di berbagai pondok pesantren. Dari mulai Dar at-Tauhid Arjawinangun Cirebon, Tebuireng Jombang, al-Muayyad Solo hingga Pesantren al-Quran Buaran Pekalongan.
Mbak Maria Ulfah, panggilan akrabnya menyelesaikan studi sarjana di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta pada tahun 1988. Kemudian ia menyelesaikan magister dari Program Studi Kajian Wanita di Univesitas Indonesia (UI) pada tahun 2004. Dan menyelesaikan doktornya pada Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial di universitas yang sama pada tahun 2015.
Sejak muda, Mbak Maria Ulfah aktif di organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) hingga menduduki pucuk pimpinannya tahun 2000-2005. Tak hanya itu, ia juga menjadi Staf khusus Menteri Koordinator kesejahteraan Rakyat RI untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak (2004-2005).
Mbak Maria Ulfah mulai terjun ke dunia politik melalui PKB. Ia sempat menjadi anggota dewan Pengganti Antar Waktu (PAW) 2007-2009. Selain itu, ia juga menjadi panitia Ahli Bidang Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), periode 2006-2010.
Pada tahun 2009, ia menjabat sebagai Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) RI. Ia pun menjadi Anggota Tim Pengarah World Population Foundation (WPF) Indonesia untuk pembuatan Modul Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Berbasis Teknologi.
Setelah tak jadi anggota dewan, Mbak Maria Ulfah dipercaya menjadi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode 2010-2013. Berikutnya, ia menjadi Komisioner Penanggungjawab Bidang Sosial dan Darurat Bencana periode 2014-2017.
Ditengah suasana kampanye pemilu 2019, Reporter Mubadalahnews.com mewawancarai Mbak Maria Ulfah. Inilah hasil wawancara ekslusif dengan Beliau terkait suara perempuan di panggung politik.
***
Bagaimana pandangan Anda terkait suara perempuan di panggung politik ?
Saya kira sangat penting karena di dalam ranah perpolitikkan, karena salah satu tugasnya adalah mengambil keputusan, membuat kebijakan dan anggaran. Termasuk kontrol terhadap kebijakan yang sudah diputuskan.
Jadi kalau tidak ada perempuannya, ya pincang. Atau bisa jadi kebijakannya jalan, tetapi perspektif perempuannya tidak ada, sehingga proses pembangunan tidak terwujud dengan baik.
Menurut saya kontribusi perempuan sangat besar. Negeri ini tidak ada tanpa dan kontribusi perempuan. Sebab negeri ini dibangun bersama-sama antara warga negara laki-laki dan perempuan, antara pengambil kebijakan laki-laki dan perempuan, baik yang ada di legislatif, eksekutif ataupun yudikatif.
Untuk sampai saat ini suara perempuan di politik belum memperlihatkan angka 50 persen. Menurut Anda kenapa suara perempuan masih rendah ?
Problem yang sedang kita hadapi adalah ada problem budaya. Ada problem struktur yang masih patriakhi. Menurut saya, problem patriakhi ini sudah masuk di dalam cara pandang bahwa pengambil keputusan adalah laki-laki, pemimpin harus laki-laki dan lain sebagainya. Nah ini problem besarnya.
Kalau kita lihat sekarang kuota 30 persen di DPR itu baru terisi sekitar 19 atau 18,9 persen perempuan. Itu realitas dan faktanya. Lalu di eksekutif misalnya kalau kita lihat dari jajaran menteri eselon I sampai ke bawah secara struktural di tingkat kabupaten dan kota masih didominasi oleh laki-laki. Lagi-lagi itulah fakta di lapangan dan di yudikatif juga sama.
Menurut saya, ini yang harus terus kita advokasi dan sangat penting untuk terus disuarakan agar bisa mendapatkan proporsi yang berimbang antara laki-laki dan perempuan.
Dan yang harus diganti juga adalah wacana-wacana memimpin, sebagai pengambil keputusan itu bisa laki-laki, bisa perempuan, tergantung bagaimana kondisi sosialnya. Sehingga ini akan membuat laki-laki dan perempuan bisa bersama-sama dan setara melakukan proses-proses pembangunan di negeri ini.
Menurut Anda apa penyebabnya dan kenapa perempuan masih rendah ?
Selain budaya patriakhi tentang cara pandang, saya kira beban kerja. Selama ini perempuan masih multi burden. Jadi tidak hanya urusan-urusan rumah tangga, tetapi terkait juga dengan urusan-urusan profesi lainnya. Jadi perempuan bebannya masih sangat banyak dibanding dengan laki-laki.
Problem lain saya kira soal ketergantungan ekonomi. Perempuan pada umumnya secara ekonomi tidak sekuat laki-laki. Sementara ada situasi politik di lapangan bahwa menjadi caleg itu butuh modal, yang tidak hanya cukup dengan modal sosial tetapi juga modal finansial.
Kalau modal sosial seperti pemilu 2004 dulu. Saya menjadi DPR itu prosesnya gampang sekali, tidak pakai uang sama sekali. Saya hanya ikut saja dengan kiai-kiai waktu memberikan pengajian, kemudian saya bisa memberikan sedikit ceramah dan jadi DPR.
Tidak perlu ditanya transportnya mana, uangnya mana, dan dapetnya berapa. Sekarang masyarakat sudah melihat bahwa ukurannya sangat material. Jadi yang beredar selama ini adalah siapa yang bayar banyak, siapa yang memberikan modal banyak. Itu yang dipilih.
Jadi mereka belum sadar pemilih itu. Menurut saya perlu menjadi bagian dari Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi partai politik.
Menurut Anda solusi apa yang bisa dilakukan ?
Maka yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan politik. Tetapi menjadi catatan memberikan pendidikan politik itu sepanjang masa, tidak hanya menjelang beberapa hari atau beberapa bulan menjelang pemilu.
Sadarkan kepada mereka (masyarakat) bahwa untuk memilih seorang pemimpin itu cara mengukurunya bukan material. Bukan siapa yang bayarnya paling tinggi atau bukan berapa paling besar, tapi sosok itu.
Sosok seperti apa yang kita impikan akan menjadi pemimpin yang adil, pemimpin yang arif dan bijaksana yang mampu memberikan, dan mendorong terwujudnya pembangunan seperti yang diaspirasikan oleh masyarakatnya.
Kedepan menurut saya, ini menjadi bagian tanggung jawab kita semua. Bagaimana memberikan penyadaran politik kepada masyakat bahwa bekerja untuk menjadi saksi itu harus diideologikan. Itu bagian dari ideologi. Kita berkomitmen untuk membangun bangsa.
Saya khawatir DPR itu di isi oleh orang-orang berduit yang minus idelogi, yang minus dengan cita-cita bangsa dan negara untuk menjadi negara besar yang adil.
Bagaimana upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan ?
Upaya yang dilakukan sudah banyak, dari sisi legislasi sudah punya peraturan pemerintah tentang pengarusutamaan gender tahun 2000. Waktu itu zaman presidennya KH Abdurrahman Wahid. Pengarusutamaan gender itu sudah menjadi acuan yang implementasinya sampai dengan hari ini bisa masuk dalam program-program pemerintahan secara keseluruhan.
Di kementerian keuangan juga, saya kira sudah membuat anggaran yang mainstreaming gender. Kemudian pada kebijakan-kebijakan di tingkat kementrian dan lembaga juga sudah menggunakan isu mainstreaming gender.
Pada proses-proses politik misalnya di Undang-Undang (UU) pemilu maupun UU politik. Implemtasinya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara struktural sudah mengakomodir perempuan. Termasuk Panitia pengawas (Panwas) juga sudah mengakomodir perempuan.
Lalu dari calon-calon partai yang di usulkan untuk menjadi caleg di KPU juga sangat tegas. Peraturannya tidak menerima partai yang tidak memenuhi kuota calon 30 persen perempuan. Tinggal kedepan saya kira bagaimana supaya perempuan ini tidak hanya caleg, tetapi menjadi legislatif.
Saya kira memang perlu perjuangan bersama-sama yang harus dikuatkan di lapangan. Terutama pada caleg-caleg perempuan supaya tidak hanya menjadi pajangan saja dalam pencalonan anggota DPR. Tetapi dia kita dorong sampai duduk menjadi anggota legislatif.
Bagaimana cara mengubah persepsi bahwa perempuan tidak cocok di panggung politik ?
Ya paradigmanya harus kita ubah. Jadi tidak lagi perempuan di domestik, tetapi mari kita suarakan bahwa perempuan bisa memimpin. Perempuan bisa menjadi pengambil kebijakan. Perempuan bisa menjadi anggota DPR yang adil yang berwibawa dan perempuan bisa menjadi kepala negara.
Saya kira paradigma itu harus disuarakan seperti itu. Jadi yang minor-minor itu jangan lagi disuarakan. Ada fakta bahwa perempuan masih subordinat, iya. Ada fakta perempuan masih domestikasi perempuan, iya. Tapi paradigma itu harus kita ubah, karena dengan menyuarakan itu seolah-olah memberikan ruang untuk keberlangsungan domestifikasi perempuan.
Cara apa yang Anda tawarkan untuk merubah paradigma tersebut ?
Menurut saya kedepan harus disuarakan kepada publik bahwa perempuan bisa, perempuan jauh lebih bisa untuk duduk di DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan sebagainya. Ini saatnya perempuan melakukan aksi nyata. Perempuan bisa kita suarakan, dan kita buktikan.
Teman-teman yang menjadi calon DPR ini harus mereka tunjukan kemampuannya. Mereka ternyata mampu, mereka bisa kompetitif. Dan kita harus tunjukkan juga bahwa mereka yang perempuan-perempuan ini lebih bersih, anti korupsi, lebih baik dalam pengambilan kebijakannya, juga lebih bisa bersikap adil, dan lebih beradab.
Terakhir apa pesan Anda di tahun politik 2019 ini ?
Mudah-mudahan hasil Pemilu 2019 menjadi lebih baik dan jumlah perempuan bisa meningkat. Syukur-syukus bisa menyampai 30 persen. Kalau tidak diharapkan bisa meningkat dari 19 persen. []