Mubadalah.id – Tawaf merupakan salah satu simbol perjuangan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyatukan pikiran, hati dan langkah manusia dalam nuansa yang sepenuhnya pasrah kepada dan menuju ke satu titik dari mana mereka berasal dan ke mana pula mereka akan kembali. Titik itu tidak lain adalah Allah.
Dia adalah Pusat Eksistensi (Wujud), kepada siapa seluruh alam semesta, termasuk manusia harus mengabdi dan menghambakan diri. Karena Allah Swt lah Pencipta, Pengatur dan Pemberi anugerah yang tak terbatas kepada ciptaan-Nya.
وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّظِلٰلُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ
Hanya kepada Allah-lah segala yang di langit dan di bumi, bersujud, dengan sukarela ataupun terpaksa. Bayang-bayang cahaya pagi dan petang, juga bersujud kepada-Nya (QS. al-Ra’d ayat 15).
Maka, seluruh hidup dan perjuangan manusia seharusnya memang di arahkan dalam kerangka mengabdi kepada-Nya dan bukan ke arah dan dalam kerangka mengabdi kepada yang lain. Siapa yang mencari cara hidup selain menundukkan dan memasrahkan diri kepada Tuhan. Maka tidak akan diterima, dan dia akan sengsara di hari kemudian.
Ali Syari’ati, pemikir kontemporer progresif dan seorang Ideolog dari Iran, menggambarkan prosesi Tawaf dengan cara yang sangat menarik:
“Tatkala bertawaf dan bergerak mendekati Ka’bah, engkau akan merasa bagaikan anak sungai yang bergabung dengan sebuah sungai besar. Dihanyutkan ombak, engkau tak bisa menyentuh tanah. Engkau tiba-tiba mengambang, terbawa oleh arus itu. Ketika semakin mendekatke pusat, tekanan dari keramaian orang mendesak begitu kuat, sehingga engkau seakan-akan diberi sebuah kehidupan baru. Kini engkau menjadi bagian dari orang banyak, kini engkau adalah seorang manusia, hidup dan abadi.”
“Ka’bah adalah mentari dunia yang wajahnya menarik engkau masuk ke dalam orbitnya. Engkau telah menjadi bagian dari sistem universal ini. Dengan tawaf mengelilingi Tuhan, engkau akan segera terlupa pada diri sendiri. Engkau telah berubah menjadi partikel yang perlahan-lahan lebur dan sirna. Ini adalah puncak cinta absolut” (Ali Syari’ati, Hajj).