Mubadalah.id – Saya kemarin agak tersenyum geli saat menemukan konten video tentang pernikahan. Video tersebut memang tidak memotret kebahagiaan kedua mempelai. Namun, lebih kepada tradisi rewang yang menampakkan riuhnya ibu-ibu yang sedang memasak untuk kepentingan hajatan tersebut.
Dalam video itu nampak sekitar lima sampai enam orang ibu-ibu mengelilingi satu wajan yang penuh dengan isian jenang. Mereka mengaduk-aduknya sambil menyanyikan sebuah lagu yang biasa dinyanyikan saat momen pernikahan. Kira-kira begini syairnya:
“Duhai senangnya pengantin baru”
Bukannya mereka lanjut dengan syair “Duduk bersanding bersendau gurau”, malah mereka timpali dengan candaan “Sing repot sing rewang” sahut ibu-ibu lainnya sambil tertawa.
Meskipun hal itu sekilas nampak receh saya jadi teringat saat tetangga saya sedang mengadakan hajatan baik itu pernikahan, khitanan, maupun keperluan lainnya. Pada saat itu seluruh lapisan masyarakat nampak guyub rukun nyengkuyung bebarengan ikut bantu “rewang” tidak mengenal laki-laki atau perempuan.
Tradisi Rewang sebagai Kearifan Lokal
Bagi masyarakat Jawa mungkin sudah tidak asing dengan tradisi ini. Toh, istilah tersebut juga berasal dari bahasa Jawa, “Rewang” yang artinya membantu. Di daerah lain bisa juga ada cuma penyebutannya saja yang berbeda.
“Rewang” ini biasanya mereka lakukan ketika ada momen-momen tertentu seperti nikahan, khitanan, pengajian, dan acara lainnya. Setiap warga akan saling membantu dalam segala hal supaya acara tersebut berjalan lancar. Pun, juga mereka lakukan secara sukarela.
Tradisi rewang mereka lakukan tidak hanya saat hari H. Melainkan jauh hari sebelumnya, bahkan juga beberapa hari setelahnya. Baik itu membantu dalam urusan finansial, tenaga, maupun pikiran.
Rewang menjadi bukti solidaritas sosial antarmasyarakat. Laki-laki maupun perempuan akan turut berpartisipasi aktif dalam tradisi tersebut. Bahkan, urusan domestik yang kerap kita lekatkan pada perempuan justru juga dilakukan oleh para laki-laki. Soal masak-memasak misalnya.
Meluruhkan Batas Publik-Domestik
Kultur masyarakat sekarang ini sering kali mengkotak-kotakkan antara ruang publik dan domestik. Ruang publik identik dengan laki-laki sedangkan ruang domestik identik dengan perempuan.
Ruang publik atau yang berkaitan dengan produksi biasanya lebih diapresiasi oleh masyarakat. Tak heran jika perempuan memiliki peran dalam ruang publik atau produksi maka akan mendapat pengakuan dari masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, dan psikologi. Meskipun hal tersebut juga tidak dapat dipungkiri akan berdampak pada polemik beban ganda bagi perempuan itu sendiri.
Hal tersebut berbeda dengan laki-laki. Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan RI menyebut jika laki-laki masuk ke ruang-ruang kerja domestik atau reproduksi kerap kali mendapat cibiran atau sindiran dari masyarakat. Padahal, ruang publik-domestik merupakan konstruksi sosial yang dapat dikerjakan secara bersama-sama tanpa melekatkannya pada identitas gender. Hal tersebut dapat kita lihat dalam tradisi rewang ini.
Belajar tentang Relasi Kesalingan dalam Tradisi Rewang
Saya melihat bahwa tradisi rewang ini memberikan inspirasi keadilan relasi dalam kehidupan berkeluarga. Aktivitas dapur yang identik sebagai ruang kerja perempuan ternyata juga bisa dikerjakan oleh para laki-laki. Dan hal tersebut bukanlah aib.
Aktivitas masak, mencuci, maupun belanja menjadi hal yang wajar bagi laki-laki ketika ikut “rewang”. Justru hal tersebut menjadi sebuah tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah lancarnya acara tersebut.
Begitu pula perempuan. Mereka tidak hanya sibuk dalam urusan dapur. Melainkan juga ikut andil di depan sebagai penerima tamu maupun hal-hal lainnya. Dan hal tersebut menurut saya merupakan sebuah kerja sama yang perlu kita duplikasikan dalam bahtera keluarga untuk mewujudkan suatu tujuan – yang bukan lain adalah – kebahagiaan.
Relasi kesalingan menjadi basis dalam menciptakan hubungan kekeluargaan yang harmonis. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki tanggung jawab baik dalam ruang publik maupun domestik. Demikian menjadi sebuah alternatif dalam mencegah segala bentuk superioritas, subordinasi, dan tindak kekerasan. []