• Login
  • Register
Kamis, 2 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Undang-Undang Perkawinan dan Perempuan

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
29/05/2020
in Hukum Syariat
0
16
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sebagai negara kepulauan dan beriklim tropis, sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan pertanian dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian. Para petani tidak saja didominasi oleh kaum laki-laki, melainkan juga kaum perempuan.

Demikian pula bagi masyarakat pesisir, kaum laki-laki dan perempuan bergotong-royong dalam mengolah hasil tangkapan di lautan. Ketika para lelaki telah menangkap ikan di waktu malam hari, siang harinya para wanita menjajakannya, mengolah sebagian menjadi ikan asin, dan sebagainya.

Gambaran gotong royong seperti ini merupakan hal umum di masyarakat Indonesia, gotong royong untuk memenuhi hajat kehidupan dalam keluarga.

Tidak hanya di daerah, di perkotaan pun perempuan memiliki ruang dalam ranah publik untuk bekerja. Bekerja dan mendapat upah merupakan salah satu bentuk kesetaraan dan gotong royong berdasarkan gender di Indonesia.

Contohnya seperti para guru perempuan, buruh pabrik perempuan, tokoh masyarakat perempuan, bahkan pemimpin perempuan. Sehingga dapat dikatakan, secara geografis dan sosiologis, masyarakat Indonesia memiliki karakteristik khusus berdasarkan gender, yakni gotong royong.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Baca Juga:

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Dari sini kita dapat melihat bahwasanya sejak dulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengajarkan untuk melek gender, di luar praktiknya yang ternyata masih terdapat bias gender.

Jika melihat sejarah dan praktiknya dalam masyarakat, mayoritas masyarakat Indonesia menganut madzhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari literatur-literatur klasik yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan agama, berikut dalam praktiknya, mayoritas menggunakan karya-karya ulama Syafi’iyah. Para intelektual muslim Indonesia sendiri, dalam karya-karyanya menukil hasil ijtihad ulama Syafi’iyah, sebut saja Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dan H. Sulaiman Rasjid.

Pada tahun 1974, Indonesia membuat perundangan yang mengatur tentang pernikahan. Undang-undang tersebut terdiri atas 14 Bab dan 67 Pasal. Undang-Undang ini disahkan oleh Presiden Indonesia saat itu, yakni Soeharto pada tanggal 02 Januari 1974.

14 Bab tersebut mengatur tentang: Dasar Perkawinan; Syarat-Syarat Perkawinan; Pencegahan Perkawinan; Batalnya Perkawinan; Perjanjian Perkawinan; Hak dan Kewajiban Suami – Isteri; Harta Benda dalam Perkawinan; Putusnya Perkawinan serta Akibatnya; Kedudukan Anak; Hak dan Kewajiban antara Orangtua dan Anak; Perwalian; Ketentuan-ketentuan lainnya; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.

Terdapat beberapa poin penting dari keberadaan Undang-undang ini yang sangat diperlukan oleh sepasang suami-isteri, khususnya oleh perempuan, di antaranya ialah;

Penghapusan Diskriminasi Perempuan

Mayoritas masyarakat di berbagai belahan dunia masih menganut budaya patriarki. Budaya ini telah terbentuk sejak jaman peradaban manusia awal, dimana laki-laki memiliki kekuatan fisiologis yang dianggap lebih daripada perempuan, dan budaya ini masih berlangsung hingga sekarang.

Datangnya ajaran Islam di tanah Arab dengan bahasa Arab yang sangat menonjolkan gender memberikan isyarat, bahwa sejatinya perempuan tidak selalu harus mendapatkan ketidakadilan, terlebih di waktu itu wanita seperti benda yang dapat diwariskan.

Kemudian Islam datang untuk menghapus semua itu, namun tampaknya hal tersebut menjadi pekerjaan besar, terlebih ketika para mufassir merupakan kaum lelaki yang tumbuh dan berada di lingkungan yang masih menerapkan budaya patriarki.

Oleh sebab itu, kehadiran Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dikatakan sebagai pengejawantahan terhadap nas agama yang menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Diskriminasi perempuan yang dimaksudkan adalah hal-hal yang menyangkut;

Pertama, Pencatatan Pernikahan. Adanya aturan untuk mencatatkan pernikahan, tidak hanya sebagai syarat administratif saja, lebih dari itu, aturan ini sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan sebagai isteri, baik dimuka masyarakat maupun negara.

Ia, perempuan, memiliki kedudukan yang sama dengan suami, yaitu dua orang yang memiliki hubungan kerjasama dalam pernikahan. Adanya pencatatan pernikahan, melindungi perempuan dari tindakan semena-mena lelaki untuk menyalurkan hasrat biologisnya dengan melakukan perkawinan dibawah tangan. Sehingga dapat disimpulkan, Undang-undang ini memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam menjaga hak-hak perempuan sebagai seorang isteri.

Kedua, Ijin Poligami. Pro dan kontra tentang poligami merupakan perdebatan yang tidak ada habisnya sampai kapanpun. Menurut Ibu Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, ayat yang selama ini ditafsirkan sebagai ayat yang membolehkan poligami sesungguhnya justru menganjurkan untuk monogami. Melihat banyaknya madharat daripada mashalahat pada tindak poligami menjadikan Undang-undang ini sebagai ijtihad dalam mencapai maqashid syariah dalam konteks masyarakat Indonesia.

Ketiga, Hak Menceraikan. Tidak hanya laki-laki saja yang memiliki hak untuk dapat menceraikan pasangannya. Undang-undang ini berisikan kesetaraan, karena juga mengatur perempuan dalam haknya ketika ingin menceraikan pasangannya.

Keempat, Harta Suami Milik Istri dan Sebaliknya. Jika pada umumnya ada pemisahan harta milik suami dan isteri, maka dalam Undang-undang ini harta yang diperoleh sejak pernikahan adalah milik bersama. Dengan demikian, tidak ada pihak yang semena-mena atas pihak lainnya perihal harta bersama ini, melainkan saling bekerjasama atau berkontribusi dalam memanfaatkan dan mengelola harta bersama.

Kelima, Perlindungan Hak-Hak Suami dan Istri. Guna melindungi hak suami dan istri, Undang-undang ini mengatur perihal perjanjian sebelum menikah, juga mengatur segala hal dalam pernikahan dengan asas kesalingan. Suami maupun isteri mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam kehidupan rumah tangga, dan pergaulan hidup bersama dalam bermasyarakat.

Keenam, Perlindungan Anak dari Pernikahan di Bawah Umur. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang usia layak untuk menikah, yakni perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun, namun terdapat perubahan dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2019, yakni menaikkan minimal usia menikah wanita dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Sehingga usia minimal baik lelaki dan perempuan sama-sama 19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa negara melindungi anak-anak untuk mendapatkan hak pendidikan layak dan kesehatan fisik dan mental yang layak untuk pada akhirnya memilih pernikahan yang dikehendaki.

Dalam bukunya berjudul Qira’ah Mubadalah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan bahwa pernikahan anak itu melanggar prinsip perlindungan jiwa, karena bisa membuat seorang anak berresiko dari keselamatan jiwa. Sebab secara kesehatan, fungsi reproduksi seorang anak perempuan belum matang untuk menanggung kehamilan.

Di samping melanggar perlindungan akal, karena akibat menikah tidak bisa lagi belajar secara baik dan cukup; perlindungan keluarga karena belum matang untuk membentuk sebuah keluarga yang kuat dan terhormat; dan perlindungan harta karena belum ada kesiapan dan kematangan untuk menjaga dan mengelola harta jika mereka memilikinya, dan jika belum mereka akan kesulitan untuk mencari pekerjaan di usia yang masih relatif muda.

Demikianlah Undang-undang Perkawinan di negara Indonesia ini, Undang-undang yang sangat ramah perempuan. Jika masih saja ditemukan ada pihak yang menganjurkan poligami, nikah siri, atau perkawinan anak, sejatinya yang mereka lakukan bukanlah dakwah agama, melainkan pelanggaran terhadap Undang-undang yang berlaku.

Jika meminjam istilah Kiai Marzuki Wahid, Undang-undang yang dimaksud dalam tulisan ini termasuk dalam Fiqih Indonesia, karena seluruh elemen konstruksinya dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh  negara. []

Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Hukum Aborsi

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

29 Desember 2022
Khitan Perempuan

OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam

19 Desember 2022
Khitan Perempuan

Ulama Dunia Desak Hentikan Khitan Perempuan

13 Desember 2022
Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran

Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran Menurut Syekh As-Sya’rawi

2 Desember 2022
Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

9 November 2022
Cara Menentukan Waktu Berbuka Saat Berada di Pesawat

Cara Menentukan Waktu Berbuka Saat Berada di Pesawat

30 Oktober 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Salma

    Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist