• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Yang Luput dari Ceramah Resepsi Pernikahan

Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang kokoh (mitsaqan ghalidhan) antara dua manusia, laki-laki dan perempuan, sehingga nasihat pernikahan hendaknya disampaikan secara adil dan proporsional kepada keduanya. Sayangnya, mayoritas nasihat itu berat sebelah porsinya.

Rifaatul Mahmudah Rifaatul Mahmudah
02/12/2020
in Keluarga, Kolom
0
247
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa kali saya mengikuti resepsi pernikahan atau kalau dalam bahasa jawanya dikenal dengan acara ‘walimahan’/walimah al-‘ursy. Wajah berbinar dari kedua mempelai menjadikan para tamu turut bahagia melihatnya.

Namun, yang mengganjal dari beberapa resepsi yang saya ikuti, seringkali pada saat sesi ceramah yang disampaikan oleh tokoh agama setempat, isi dari ceramah itu hanya untuk perempuan, seperti perempuan harus melayani suami, harus tampil menyenangkan di depan suami, harus selalu tersenyum meski dihimpit oleh krisis ekonomi, intinya tidak boleh kelihatan jelek di depan suami, dan sederet kewajiban-kewajiban dan kriteria shalehah lainnya.

Tentu ini tidak adil, pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang kokoh (mitsaqan ghalidhan) antara dua manusia, laki-laki dan perempuan, sehingga nasihat pernikahan hendaknya disampaikan secara adil dan proporsional kepada keduanya. Sayangnya, mayoritas nasihat itu berat sebelah porsinya. Jika nasihat ini dipahami oleh suami yang memahami konsep kesalingan; saling membantu, saling menghargai, saling menjaga, dan nilai-nilai positif lainnya, maka tidak akan terjadi problematika dalam keluarganya.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika sang suami memahami itu secara literal dan tidak memiliki nilai-nilai kesalingan dalam dirinya, maka ia akan menjadi suami yang suka menuntut agar istrinya selalu sempurna di depan dirinya. Problematikanya lagi ketika istri bekerja dan sang suami tidak memiliki pandangan kesalingan, maka istri akan memiliki beban ganda (publik dan domestik). Istri akan selalu dituntut mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, meskipun ia juga bekerja.

Tugas rumah tangga adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan, terutama jika di zaman sekarang ini banyak istri yang memilih untuk bekerja sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu, tugas mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga bukan merupakan kodrat baik istri maupun suami, sehingga dalam pengerjaannya adalah milik kedua belah pihak.

Baca Juga:

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Tafsir Sakinah

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Namun, jika ceramah-ceramah pernikahan itu masih berat sebelah, maka yang akan dikorbankan adalah perempuan. Seolah-olah apa yang disampaikan dalam ceramah pernikahan itu tidak bisa diganggu gugat. Alhasil, banyak perempuan yang menanggung beban ganda.

Pernikahan adalah relasi antara dua orang, bukan salah satunya saja. Jadi yang harus berbuat baik bukan salah satu, sementara salah satu yang lain semena-mena. Menurut Kiai Faqih Abdul Kadir, beliau menjelaskan bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen untuk mengaplikasikan nilai-nilai saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf) dan akhlak mulia (makarim al-akhlak).

Masih dalam pandangan penulis buku Qiro’ah Mubadalah ini, bahwa makna dari ‘menikah adalah menyempurnakan separoh agama’ adalah komitmen untuk saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf), disebutkan pula dalam sebuah riwayat oleh al-Albani bahwa seorang laki-laki apabila menikahi perempuan shalihah, maka berarti ia mendapat separoh agama, untuk menjadi utuh maka suami shaleh terhadap istrinyalah yang akan melengkapinya. Hal inilah menurut Kiai Faqih dianggap sebagai relasi kesalingan, resiprokal (mubadalah) antara suami dan istri. Jika istri dituntut untuk shalehah, maka suami juga harus shaleh kepada istrinya.

Tidak apa jika kebanyakan ceramah pernikahan memaparkan segala kewajiban istri kepada suaminya, namun kita sebagai pendengar––khususnya kedua mempelai––harus bisa memaknainya dengan proporsional dan menggunakan cara berpikir yang mubadalah. Jika mayoritas ceramah menuntut istri agar selalu tersenyum kepada suami, maka sebaliknya suami juga harus ramah kepada istri, jika perempuan menghendaki dan memilih untuk di rumah saja, mengerjakan bejibun tugas rumah tangga dari bangun pagi sampai menjelang tidur malam, maka sang suami tidak boleh menganggap remeh (underestimate) istrinya, hanya karena ia tidak menghasilkan uang, dan lain sebagainya.

Fakta yang banyak terjadi adalah banyak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istri. Hal ini bisa disebabkan banyak hal, seperti karena suami tidak memiliki pandangan bahwa perempuan adalah makhluk mulia sebagaimana laki-laki, banyak yang menganggap perempuan derajatnya lebih rendah daripada laki-laki sehingga banyak suami menganggap remeh istrinya, atau hanya karena istrinya tidak ikut menghasilkan uang lantas ia bisa berbuat semena-mena.

Keluarga adalah tempat untuk menyemai kasih. Jika ada kekerasan, maka tidak lain akan mengurangi rasa kasih sayang itu sendiri. Tidak ada keuntungan sama sekali dari tindak kekerasan itu sendiri (baik kekerasan verbal, fisik, dan psikis), yang ada justru akan membuat semakin memudarnya sikap saling menghargai dan menyayangi. Sehingga saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menjadi penting untuk diaplikasikan oleh suami istri pada khususnya, dan seluruh anggota keluarga pada umumnya.

Sementara ceramah-ceramah pernikahan yang seringkali memaparkan tugas-tugas istri saja hendaknya dimaknai dengan bijak, bahwa tugas menjaga keharmonisan rumah tangga adalah milik berdua, sehingga apapun kondisinya harus ditanggung dan dilaksanakan oleh kedua pihak, maka wajar jika suami ikut andil dalam urusan domestik, dan begitu sebaliknya.

Akan lebih baik lagi, jika ceramah pernikahan itu dipaparkan dengan prinsip-prinsip kesalingan (mubadalah), sehingga kedua pasangan suami istri itu bisa belajar bagaimana menjadi pribadi yang saling menyenangkan, melayani, dan membahagiakan satu sama lain, yang tentunya bisa menjaga keharmonisan rumah tangga dengan prinsip-prinsip yang adil dan setara. []

 

Tags: Fiqih PerempuanislamKesalinganpernikahanQira'ah Mubadalah
Rifaatul Mahmudah

Rifaatul Mahmudah

Terkait Posts

Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID