Mubadalah.id – Istilah perkosaan dalam perkawinan masih kerap dinilai sebagai contradictio in terminis, yakni sebuah kombinasi kata yang bertentangan satu sama lain. Perkosaan dipandang hanya mungkin terjadi di luar perkawinan. Benarkah demikian? Bukankah yang hanya terjadi di luar perkawinan adalah perzinahan?
Pemerkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, ataupun disertai ancaman dan kekerasan fisik maupun tidak. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK menemukan bentuk kekerasan seksual kepada istri meliputi pemaksaan hubungan sesuai selera suami, misalnya istri dipaksa anal seks, oral seks, atau memaksa memasukkan benda ke vagina istri, pemaksaan hubungan saat istri tertidur atau sedang haid, juga intimidasi lisan dan fisik dalam rangka pemaksaan hubungan seksual.
Sejarah peradaban manusia memang diwarnai dengan cara pandang yang mendudukkan perempuan sebagai objek dalam sistem kehidupan. Selama berabad-abad perempuan dipandang milik mutlak laki-laki, yakni ayah/suami/anak/kerabat laki-lakinnya, yang bisa dijual, dihadiahkan, diwariskan, dan dieksploitasi secara seksual ataupun lainnya. Dalam situasi seperti ini, perkosaan dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda:
Pertama, perkosaan bukanlah kejahatan atas perempuan yang menjadi korbannya, melainkan atas laki-laki yang menjadi pemiliknya. Jika kasus diselesaikan dengan denda, maka ia bukan diberikan pada perempuan yang diperkosa, melainkan pada laki-laki yang menjadi pemiliknya. Kedua, perkosaan pada perempuan yang tidak punya laki-laki (ayah/suami/anak/kerabat) sebagai pemilik, bukanlah tindakan kejahatan sebagaimana menemukan koin di jalan,
Ketiga, perkosaan laki-laki atas perempuan yang dimilikinya bukanlah tindakan kejahatan, termasuk perkosaan inses dan termasuk perkosaan suami atas istri. Mengatakan laki-laki pemilik memperkosa perempuan yang dimilikinya sama anehnya dengan mengatakan seseorang mencuri uang dari dompetnya sendiri.
Jadi, masyarakat yang meletakkan perempuan sebagai objek/benda/harta suami tidak mengenal perkosaan dalam perkawinan dan memandang istilah ini sebagai Contradictio in Terminis. Bagaimana dalam pandangan Islam?
ISLAM SEBAGAI SISTEM DAN PROSES
Islam adalah sebuah sistem sehingga setiap ajarannya terhubung satu sama lain yang bergerak menuju sebuah misi dan dilandasi dengan seperangkat prinsip moral. Misi Islam setidaknya dapat dirumuskan menjadi tiga hal yang saling terkait:
Pertama, mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil Alamin), termasuk bagi perempuan. Kedua, menyempurnakan akhlak mulia manusia (liutammima makarimal akhlaq), tidak hanya termasuk akhlaknya perempuan tapi juga akhlak pada perempuan. Ketiga, mendidik manusia untuk menjadi diri yang terbaik bagi keluarganya (khoirukum liahlih), termasuk pada perempuan sebagai ibu, istri, dan anak.
Semua ajaran Islam dibangun di atas landasan moral berupa seperangkat prinsip dan nilai seperti Tauhid yang melarang keras penghambaan pada selain Allah termasuk penghambaan perempuan pada laki-laki, kemanusiaan termasuk kemanusiaan perempuan, kemaslahatan umum termasuk kemaslahatan bagi perempuan, keadilan termasuk keadilan pada perempuan, keselamatan termasuk keselamatan perempuan, kelestarian alam, dan aneka kebajikan universal lainnya.
Menjadi seorang muslim adalah hidup dengan cara hidup untuk dan hanya menuhankan Allah yang dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk-Nya, termasuk makhluk manusia yang berjenis kelamin perempuan. Allah berkuasa secara mandiri, maka manfaat hanya menuhankan-Nya tidak kembali pada Allah, melainkan pada manusia. Tauhid dengan demikian paralel memiliki sikap memanusiakan manusia.
Islam juga adalah sebuah proses yang tak berkesudahan sepanjang hidup manusia untuk mewujudkan sistem kehidupan sebagai rahmat bagi semesta, terutama kelompok lemah (dluafa) dan yang dilemahkan (mustadl’afin). Dengan seperangkat moral foundation di atas, proses pemanusiaan manusia, termasuk perempuan, tidak hanya terjadi selama masa pewahyuan, tapi juga setelahnya hingga Kiamat. Ajaran Islam terus bergelut dengan sistem nilai dan tradisi yang menistakan kemanusiaan para dluafa dan mustadl’afin, termasuk penistaan atas kemanusiaan perempuan.
Proses Selama Pewahyuan
Selama 23 tahun masa pewahyuan, Islam mendorong proses panjang pemanusiaan perempuan. Proses ini berangkat dari titik nol kemanusiaan, yakni cara pandang bahwa perempuan bukan manusia sehingga bisa dikubur hidup-hidup saat lahir, diwariskan, dipoligami tanpa batas dan tanpa syarat adil, menuju kemanusiaan penuh perempuan, yakni cara pandang bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dengan menghormati takdir biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki sehingga memastikan mereka tidak alami kezaliman apapun, terutama kezaliman hanya karena menjadi perempuan.
Selama masa pewahyuan, kita menemukan dua jenis strategi, yaitu Pertama, langsung ke tujuan final, misalnya melarang keras penguburan bayi perempuan hidup-hidup, persetubuhan inses, dan lainnya. Kedua, strategi bertahap (Tadrij) melalui target antara, seperti poligami dari tak terbatas tanpa syarat adil, menjadi maksimal 4 dengan syarat adil sambil diingatkan betapa sulitnya adil dalam poligami, hingga hanya monogamy lah yang adil. Al-Qur’an tak jarang juga merekam situasi saat itu dan meminjam cara berfikir masyarakat kala itu yang masih meletakkan perempuan sebagai benda.
Kita bisa mengidentifikasi tiga jenis ayat al-Qur’an yang merekam tiga tahap proses panjang tersebut. Pertama, ayat tItik berangkat, yaitu ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah objek/benda. Hati-hati memahami ayat semacam ini secara tekstual karena makna tekstual ini justru yang akan diubah secara perlahan-lahan selama masa pewahyuan.
Kedua, Ayat target antara, yaitu ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah sepersekian dari laki-laki. Ini adalah ayat tentang titik temu ajaran ideal Islam yang mendudukkan perempuan sebagai manusia sepenuhnya dengan kondisi riil masyarakat yang masih mendudukkan perempuan sebagai benda. Hati-hati juga karena ada kecenderungan besar untuk memahaminya sebagai ajaran ideal.
Ketiga, ayat tujuan final, yaitu ayat yang mengadung cara pandang bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki sebagai manusia. Misalnya ayat tentang nilai keduanya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketaqwaan (al-Hujurat, 13), keduanya saling menjadi penjaga (auliya’) satu sama lain (at-Taubah, 71), dll. Dari mana kita bisa menentukan sebuah ayat adalah titik berangkat, target antara, dan tujuan final? Tentu dari misi Islam sebagai sebuah sistem ajaran.
Selama masa pewahyuan
Islam menggerakkan kesadaran masyarakat atas kemanusiaan perempuan, termasuk sebagai istri. Lihatlah gerakan dahsyat pemanusiaan perempuan dari titik terbawah sampai dengan titik teratas sebagai berikut: Semula status perempuan adalah objek/benda/hamba laki-laki menjadi laki-laki dan perempuan sama-sama berstatus hanya hamba Allah. Semula kedudukan perempuan adalah pelayan bagi kemaslahatan laki-laki menjadi laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi pelayan bagi kemaslahatan sesama makhluk sebagai Khalifah fil Ardl;
Semula nilai perempuan lebih rendah daripada laki-laki menjadi nilai keduanya sama-sama tinggi jika bertakwa dan sama-sama rendah jika tidak bertakwa. Semula peran perempuan pasif menerima perintah dan larangan laki-laki menjadi keduanya mesti sama-sama aktif memerintakan kebaikan (dan menikmatinya) dan mencegah kemunkaran (dan dilindungi darinya).
Demikian pula pemanusiaan perempuan sebagai istri. Semula tujuan perkawinan hanyalah kepuasan suami atas layanan istri, termasuk layanan seksual menjadi ketenangan jiwa (Sakinah) suami dan istri sehingga hubungan seksual juga mesti dilakukan dengan menjaga ketenangan jiwa kedua belah pihak. Semula landasan relasi adalah kepemilikan mutlak suami atas istri menjadi kasih sayang (Mawaddah wa Rahmah) satu sama lain. Semula suami dipandang sebagai pemilik istri menjadi keduanya adalah pasangan (zawaj).
Semula perkawinan dihayati sebagai kontrak kepemilikan suami atas istri menjadi komitmen/ janji kuat keduanya dengan Allah (mitsaqan ghalidlan) untuk saling menjaga ketenangan jiwa. Semula suami boleh sewenang-wenang pada istri menjadi keduanya mesti bergaul secara bermartabat (Muasyarah bil Ma’ruf). Semula suami menjadi pengambil keputusan tunggal dalam segala urusan keluarga menjadi keduanya mesti musyawarah;
Semula selama perkawinan istri harus memperoleh ridlo suami sedangkan suami sama sekali tidak perlu ridlo istri, menjadi keduanya mesti saling menjaga ridlo pasangannya (Taradlin) demi memperoleh ridlo Allah. Lantas bagaimana dengan hubungan seksual suami istri?
Al-Qur’an meminjam logika masyarakat waktu itu yang melihat ladang sebagai sesuatu yang sangat berharga. Pemilik terus ikhtiyar merawat tanahnya agar tetap subur, memastikan kecukupan air dan pupuknya, mencegah dari hama agar hasilnya berkualitas.
Ketika al-Quran mengibaratkan istri sebagai ladang (hartsun) bagi suami, maka makna inilah yang ditangkap oleh masyarakat kala itu. Ladang yang disemai biji-biji dan hanya akan menghasilkan makanan saja dijaga sedemikian rupa, apalagi istri yang akan menjadi tempat bersemainya benih-benih anak manusia sebagai makhluk fisik dan batin. Tentu harus dijaga dengan lebih baik sehingga bisa melahirkan generasi yang berkualitas secara lahir dan batin, bukan keturunan yang lemah (dzurriyyatan dli’afan). Dan tidak mengeksploitasinya.
Demikian pula saat Allah mengibaratkan suami dan istri saat berhubungan seksual sebagai pakaian (libas) bagi satu sama lain. Hal ini berarti bahwa hubungan seksual suami-istri mesti dilakukan dengan cara-cara yang mendudukkan keduanya sama-sama sebagai subyek sehingga saling melindungi dari bahaya, menjaga privasi, menghangatkan, dan memperindah satu sama lain, sebagaimana fungsi pakaian.
Tentu saja mengubah posisi perempuan atau istri dari objek menjadi subjek penuh membutuhkan proses terus-menerus dari kedua belah pihak yang tidak hanya menantang pada masa pewahyuan, bahkan hingga kini pun demikian.
Proses Setelah Pewahyuan
Perkosaan dalam perkawinan hingga kini masih dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada atau mengada-ada. Artinya, istri masih lazim dipandang sebagai milik mutlak suami. Mari kita refleksikan bagaimana perkawinan didefinisikan dalam Fiqih:
Pertama, perkawinan adalah Aqdul Ibahah/ Aqdul Intifa,’ yakni akad yang membolehkan suami memanfaatkan tubuh istri. Penolakan atas ajakan berhubungan seksual kerap dianggap sebagai penolakan atas hal yang sudah diperbolehkan agama. Definisi ini sangat mungkin dikembangkan menjadi akad yang membolehkan suami-istri untuk saling menikmati satu sama lain sehingga hubungan seksual yang diperbolehkan hanyalah dengan cara yang memberi manfaat bagi kedua belah pihak, dan melarang hubungan seksual yang memberi manfaat bagi salah satu pihak, sementara bagi pihak lainnya memberi keburukan (mafsadat) apalagi bahaya (mudlorot).
Kedua, Perkawinan adalah Aqdut Tamlik, yakni akad yang memberikan hak kepemilikan pada suami atas istri. Hubungan seksual cenderung dipahami sebagai kewajiban istri dan hak suami sehingga istri yang menolak ajakan berhubungan seksual suami dinilai melanggar kewajibannya yang tentu saja berdosa. Definisi ini pun sangat mungkin dikembangkan menjadi akad yang menyebabkan suami istri saling memiliki satu sama lain sehingga hubungan seksual dipahami sebagai kewajiban sekaligus hak kedua belah pihak.
Pengembangan definisi ini sangat mungkin dilakukan mengacu pada kerahmatan dan penyempurnaan akhlak mulia sebagai misi Islam, dan fondasi moral perkawinan yang bertebaran dalam al-Qur’an.
Cara kita memahami perkosaan dalam perkawinan tentu saja terkait erat dengan konsep perkosaan di ruang publik. Misalnya apa perbedaan mendasar antara perkosaaan dan perzinahan? Apa dampak jika keduanya tidak dibedakan? Bagaimana perbedaan kerentanan laki-laki dan perempuan dalam kriminalisasi hubungan seksual, baik secara biologis dan sosial? Bagaimana strategi menyelamatkan perempuan dari blaming victim dan reviktimisasi? Mari Kita Mengaji Bersama. []