Mubadalah.id – Kekerasan seksual semakin banyak terjadi dan fenomena yang berkaitan dengan kekerasan seksual juga banyak bermunculan. Mungkin, beberapa pembaca sering mendengar isu tentang seseorang yang bertahan dalam hubungan penuh kekerasan, baik dalam hubungan pacaran maupun hubungan keluarga. Fenomena demikian bisa menjadi indikasi bahwa korban tersebut mengalami syndrome stockholm.
Syndrome stockholm ini tentu hanya bisa didiagnosis oleh ahli profesional yaitu psikolog. Tetapi, kita semua sebagai penggiat isu-isu kekerasan tidak ada salahnya untuk menggali bekal dan membantu menangani kekerasan seksual, khususnya korban perempuan.
Syndrome stockholm adalah suatu kondisi paradoks psikologis di mana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan, ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap perilaku, melindungi pelaku yang telah menganiaya, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi. Syndrome Stockholm ini bisa muncul dalam hubungan romantis dan keluarga.
Graham (1994) dalam bukunya yang berjudul Loving to survive: sexual terror, men’s violence and women’s live mengatakan bahwa Syndrome Stockholm ini akan berkembang apabila terdapat munculnya empat kondisi. Pertama, adanya ancaman pelaku terhadap keselamatan korban baik secara fisik maupun psikologis. Kedua, ancaman pelaku kepada korban untuk tidak melarikan diri. Ketiga, pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain disekitarnya. Keempat, pelaku menunjukan kebaikan-kebaikan pada korban dalam bentuk apapun.
Empat kondisi diatas ialah sebuah kondisi yang lahir dari pelaku dan akan memberikan efek serius terhadap kondisi korban dengan syndrome stockholm yang sedang melandanya. Selain empat kondisi di atas, ada juga kondisi yang mempengaruhi perkembangan syndrome Stockholm yang berasal dari diri korban.
Kondisi yang berasal dari korban sering disebut dengan distorsi kognitif atau kondisi memutarbalikan sebuah fakta. Kondisi memutarbalikan sebuah fakta yang dilakukan oleh korban juga merupakan bagian dari efek yang bisa memperkeruh keadaan korban.
Bentuk-bentuk distorsi kognitif yang dilakukan antara lain menyangkal kekerasan yang dialami, merasionalisasi kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang terjadi, dan lain sebagainya. Munculnya distorsi kognitif ini merupakan akibat dari adanya tarik menarik antara ketidaksadaran dengan orientasi korban terhadap pelaku kekerasan. Sehingga, saat pelaku melakukan berbagai bentuk kekerasan maka korban akan merasa bahwa kelak suatu saat nanti kekerasan ini akan berakhir dan pelaku akan memberikan cinta kasih sayang kepada korban.
Syndrome Stockholm ini akan memberikan kendala dalam proses penanganan korban kekerasan seperti proses terapis dan recovery. Sebab, dalam prosesnya seorang korban telah menimbun berbagai anggapan positif terhadap seorang pelaku. Dalam hal ini, perlunya strategi dan treatment khusus yang diberikan kepada korban kekerasan yang melanda syndrome stockhlom.
Perlunya kehati-hatian untuk para tenaga dalam menangani korban kekerasan yang mengalami syndrome stockhlom ini. Sebab, rentan terjadinya pemojokkan terhadap korban akibat dukungan positif yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku.
Dr. Muhrisun BSW., MSW. Sebagai pekerja sosial dan akademisi dalam diskusinya (16/6/2021) menjelaskan bahwa terdapat beberapa cara yang bisa digunakan oleh para tenaga dalam penanganan korban kekerasan yang mengalami syndrome Stockholm diantaranya adalah:
Pertama, menunjukan kepada korban adanya dunia lain. Dunia lain yang dimaksud adalah dunia selain hubungan yang pernuh kekerasan yang sedang korban alami. Tetapi, hal ini disampaikan tanpa menghakimi dan menilai bahwa kondisi saat ini adalah kondisi terburuk bagi korban.
Kedua, tunjukkan sebuah tempat alternatif sebagai referensi yang bisa menjadi pilihan korban. Tempat terbuka yang dimaksud adalah lingkungan keluarga atau lingkungan pertemanan yang memberikan efek positif dan sedikit memberikan ruang untuk melupakan hubungan penuh kekerasan yang sedang korban alami.
Ketiga, hindari menilai, menghakimi atau memojokkan korban yang mengalami syndrome stockhlom. Sebab, mereka adalah seseorang yang perlu diperhatikan secara khusus dan membutuhkan penanganan dengan cara yang tepat.
Keempat, Jadikan keluarga sebagai salah satu elemen yang bisa memberikan dukungan dan proses penyembuhan kepada korban. Sehingga, dengan metode family center akan membantu korban kembali kepada keluarga dan keluar dari zona hubungan yang penuh kekerasan.
Uraian di atas mengantarkan kita semua untuk lebih berhati-hati dalam menangani korban kekerasan. Sebab, tidak semua korban kekerasan berada pada keadaan yang sama sehingga bisa ditangani dengan cara yang sama. Maka di sini pentingnya pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal dan sekian solusi untuk penyelesaiannya. Sekian. []