Mubadalah.id – Hari ini, saat saya sedang berada dalam keperluan mengantri di kantor pajak, saya dikirimi sebuah video–semacam renungan–dosa-dosa istri kepada suami oleh seorang ibu. Tidak lama setelah saya menonton videonya, saya berinisiatif untuk segera menjawab dan memberikan penjelasan berkenaan dengan persoalan tersebut. Lalu pertanyaannya apakah benar ada 8 dosa itu yang paling banyak dilakukan istri terhadap suami? Bagaimana Islam perspektif kesalingan menyikapinya?
Untuk itu, perlu kiranya saya menyebutkan dan menjelaskan satu per satu apa saja dosa-dosa itu. Sebelum saya membeberkan lebih lanjut, kita harus punya perspektif terlebih dahulu. Perspektif (kesalingan, kesetaraan) ini penting agar tidak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, istri dan suami. Bahwa menurut perspektif kesalingan, istri dan suami itu sama-sama mulia, setara, sederajat. Tidak ada ketentuan otomatis suami akan pasti lebih mulia, lebih berkuasa terhadap istrinya.
Jadi, Islam tidak pernah merendahkan perempuan, baik sebelum maupun sesudah menikah. Perempuan/istri itu dimuliakan oleh Allah sebagaimana laki-laki/suami. Keduanya diberikan kesempatan dan potensi yang sama dalam rangka berlomba untuk kebaikan, termasuk potensi melakukan dosa. Istri dan suami punya potensi melakukan kesalahan dan dosa. Bahkan ada suami yang ternyata durhaka terhadap istrinya. Suami yang menyepelekan, menyia-nyiakan, menghinakan istrinya.
Dan perlu dipahami juga bahwa istri sepenuhnya manusia biasa, bukan super hero, bukan wonder woman, bukan manusia sempurna. Ia sama seperti suami yang punya kekurangan, selain kelebihan. Karena itulah Islam perspektif kesalingan memandang bahwa pernikahan dan rumah tangga merupakan jalan halal untuk menjembatani istri dan suami untuk saling berkolaborasi, saling mengisi dan saling memaklumi. Bukan untuk saling menuntut, saling mempertentangkan, saling menguasai.
Kita kembali ke persoalan dosa. Adapun dosa-dosa itu: Satu, menyepelekan kebaikan suami. Akan terjadi memang istri yang menyepelekan suami, karena banyak faktor, bisa jadi karena istri belum memahami, istri sedang datang bulan, istri sedang punya masalah (dengan saudara, sahabat, atau pekerjaannya), sehingga ketika diajak bicara baik-baikpun, istri terkesan cuek dan akhirnya menyepelekan kebaikan suami. Kalau terjadi hal ini, suami jangan cepat emosi, jalankan fungsinya suami sebagai penenang, pemberi solusi dll. Sebab di lain waktu, suami juga bisa jadi menyepelekan kebaikan istri.
Dua, tidak menghormati keluarga suami. Baik istri maupun suami harus saling menghormati masing-masing keluarga, orang tua dan mertua. Kesemuanya sudah menjadi keluarga besar. Perlu waktu dan proses untuk bisa menjalin silaturahim yang baik di antara semua keluarga besar. Yang jelas, baik istri maupun suami jangan cepat-cepat emosi dan menyalahkan satu di antara keluarga. Istri mungkin tidak bermaksud tidak menghormati keluarga suami, hanya salah paham saja. Sebab pada nyatanya suami juga bisa berpotensi tidak menghormati keluarga istri.
Tiga, keluar rumah tanpa izin suami. Izin itu harus dimaknai secara luas dan hakikat. Izin itu lebih kepada sikap saling percaya antara istri dan suami. Istri hendak pergi ke pengajian, sehingga terjadi istri tidak sempat izin langsung, telpon, SMS kepada suaminya, bagi saya, ini bukan sebuah dosa. Jadi titik tekannya sikap saling percaya soal izin ke luar rumah itu tidak akan jadi soal. Kalau izin dimaknai sikap saling percaya, suamipun harus izin kepada istri atas apapun keperluannya.
Empat, menolak ajakan suami berhubungan badan. Poin utamanya pasti ada miskomunikasi antara istri dan suami. Suami juga harus peka dengan kondisi istri. Apakah ia sedang dalam kondisi vit atau sakit dst. Sebab hasrat berhubungan badan itu juga bisa timbul dari istri. Bagaimana kalau suami menolak ajakan istri tanpa alasan yang jelas? Lima, berhias bukan untuk suami. Berhiaslah diniati untuk ibadah, untuk keindahan suami dan kemanusiaan. Tidak usah ada timbul suuzhan ketika istri berhias.
Enam, mengungkit kebaikan dirinya terhadap suami. Inipun manusiawi yang perlu terus belajar agar bisa mencapai derajat kedewasaan. Mengungkit kebaikan itu kurang bijak, istri kepada suami ataupun sebaliknya. Tujuh, membangkang terhadap suami. Apa yang disebut membangkang? Apa tolok ukurnya? Daripada saling menuding, lebih baik tabayun (klarifikasi), saling rendah hati, bersikap jujur dan terbuka satu sama lain.
Delapan, menggugat cerai tanpa alasan syar’i. Menggugat, sebagaimana menalak itu hak bagi istri dan suami. Tapi jangan dilakukan saat emosi. Bercerai itu pahit dan bisa dilakukan kalau keadaan sudah darurat: suami melakukan KdRT, tidak menafkahi, dan memaksa-maksa karena ideologi kelompok radikal. Wallaahu a’lam. []