“Jika tidak karena bala yang menimpa Hawa, maka perempuan-perempuan di dunia ini tidak akan mengalami menstruasi. Dan sebaliknya, mereka akan menjadi seorang yang berakal dan mengandung dengan mudah.”
(Tafsir at-Thabari, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, 237)
Mubadalah.id – Berdasarkan tafsir Thabari, menstruasi adalah hukuman bagi Hawa karena telah menggoda Adam. Dan tidak hanya Hawa, hukuman menstruasi tersebut berlaku untuk semua perempuan. Perempuan dalam tafsir tersebut juga diyakini tidak memiliki akal, juga disebabkan oleh kesalahan Hawa. Bahkan rasa sakit yang dialami perempuan saat melahirkan juga termasuk bala yang menimpa perempuan karena kesalahan Hawa yang menggoda Adam untuk memakan buah khuldi.
Lantas bagaimana dengan Adam sebagai pihak yang secara sadar memakan buah yang diharamkan Allah tersebut?
Adam dimaafkan, karena konstruk sosial 1430 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-3 H, saat tafsir Tabari disusun memang menempatkan laki-laki di posisi yang selalu benar. Laki-laki menjadi teladan kebaikan dan perempuan sebagai contoh kejahatan dan kesalahan.
Hal ini diperkuat dengan buku Hermeneutika Gender yang ditulis oleh M. Faisol. Dinyatakan bahwa karakter tafsir yang muncul di abad tersebut masih banyak di dominasi oleh pemikiran Israiliyat. Dimana dalam pemahaman Yahudi, sebagaimana yang mereka yakini dalam Taurat, perempuan adalah sumber kesalahan dan laki-laki adalah sumber kebenaran.
Nasr Hamid Abu Zaid dan Latar Belakang Kajian Keimuwannya
Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang ilmuwan muslim yang memfokuskan kajiannya pada aspek teks atau nash. Ada 16 karya yang sudah dilahirkan, dan hampir seluruh karyanya berhubungan dengan peradaban teks. Sebagai profesor di bidang Bahasa Arab dan studi Islam di Lieden University Kuno, banyak karya beliau yang sudah ditranslitrasi kedalam bahasa Indonesia. Salah satunya adalah buku Dekonstruksi Gender Kritik Wacara Perempuan dalam Islam yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan artikel ini.
Salah satu alasan kenapa pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam artikel ini dijadikan dasar dalam menganalisis mitologi Thabari adalah karena narasi dan diksi ilmiah yang digunakan oleh alumnus Universitas Kairo ini. Meskipun mengkritik, namun tidak ada diksi peyoratif yang ditujukan pada sosok Imam Thabari. Sama sekali bukan personal Imam Thabari yang akan diangkat, namun konstruk sosial, lingkungan, dan kondisi dimana tafsir tersebut diproduksi yang menjadi fokus kajiannya.
Kritik Nasr Hamid Abu Zaid atas Mitologi Imam Thabari tentang Perempuan
Di dalam al-Quran, tidak ada satu ayatpun yang secara mantuq atau tersurat melimpahkan tanggung jawab pada Hawa atas kekhilafan yang dilakukan Adam. Namun nalar Islam dan karakteristik tafsir yang patriarkis di zaman tersebut masih membebankan kesalahan tersebut pada Hawa sebagai representasi dari perempuan. Hal ini terjadi karena banyaknya kisah-kisah mitologi yang dijadikan sandaran dalam mengeluarkan sebuah tafsir.
Adapun bunyi tafsir Iman Thabari secara lengkap sebagaimana saya kutip di awal artikel ini adalah sebagai berikut:
Allah bertanya kepada Adam: “Kenapa kamu lakukan (apa yang menyebabkan kamu melanggar perintah-Ku)” Adam menjawab: “Karena Hawa, Tuhanku”. maka Allah berkata: “Aku akan menjadikan dia mengeluarkan darah sekali dalam sebulan, sebagaimana pohon mengeluarkan getahnya, dan Aku akan menjadikannya bodoh, walaupun sebelumnya Aku menjadikannya bijak (berakal), dan akan Aku jadikan dia merasa sakit ketika mengandung dan melahirkan walaupun sebelumnya Aku menjadikan dia mengandung dan melahirkan dengan mudah.” seorang perawi memberikan catatan terhadap kisah ini dan berkata: “Jika tidak karena bala yang menimpa Hawa, maka perempuan-perempuan di dunia ini tidak akan mengalami menstruasi. Dan sebaliknya, mereka akan menjadi seorang yang berakal dan mengandung dengan mudah” (Tafsir at-Tabari, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, 237)
Beberapa kritik Nasr Hamid Abu Zaid atas tafsir Imam Thabari sebagaimana ditulis dalam Dekonstruksi Gender Kritik Wacara Perempuan dalam Islam antara lain:
Pertama, pertanyaan Allah yang disampaikan pada Adam mengenai alasan kenapa memakan buah khuldi terlihat seperti diluar pengetahuan Allah. Hal ini bertentangan dengan sifat “Maha Suci Allah dari Sifat Ketidaktahuan”. Begitupula hukuman yang diberikan Allah tampak sebagai hukuman yang sewenang-wenang. Ada kekacauan hukuman di satu pihak dan digeneralisir di pihak yang lain. Seperti memberi hukuman pada seluruh perempuan untuk menanggung kesalahan Hawa. Bertentangan dengan sifat “Allah Maha Adil”.
Kedua, Adam digambarkan sebagai sosok korban yang tidak berdosa. Jikalau memang benar Allah menghendaki Adam sebagai pihak korban yang tidak mampu menahan tekanan yang melebihi kemampuan manusiawi, lantas kenapa Adam tetap mendapatkan hukuman dan dikeluarkan dari surga? Bukankah posisi Adam sebagai korban? Hal ini bertentangan dengan kisah dikeluarkannya iblis dari surga setelah menghukumnya dengan hukuman yang setimpal.
Ketiga, Hawa dihukum menstruasi sebagai hukuman memakan buah khuldi, dihilangkan nalarnya dan dijadikan bodoh karena menggunakan libido sebagai senjata menggoda Adam. Seolah menjadi tujuan asasi dari kisah tersebut, yaitu kesetimpalan kejahatan dengan hukuman. Maka sifat interpretatif dan justifikatif sangat melekat pada cerita tersebut. Padahal esensi dari kisah tersebut adalah bagaimana manusia bisa menahan godaan iblis yang senantiasa mengganggu manusia. Baik laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali.
Keempat, kisah tersebut menggambarkan permusuhan antara laki-laki dan perempuan. Tafsir tersebut menggambarkan sisa-sisa kepercayaan mitologi kuno dan sisa-sisa kepercayaan masyarakat lokal pada masa itu. Yang tentunya bertentangan firman Allah dalam Alquran Surah Adz-Dzariyat ayat 56 berbunyi: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Nasr Hamid Abu Zaid memang mengkategorikan tafsir at-Thabari sebagai tafsir mitologi (usturiyyah), tetapi hal tersebut sama sekali tidak mengurangi arti penting karya Imam at-Thabari dan juga sejarahnya. Bagaimanapun Tafsir at Thabari ini telah menjadi rujukan pada sejarawan selanjutnya dan menjadi pembuka untuk kajian keilmuwan yang lebih baik di periode selanjutnya. Imam Thabari adalah ulama yang mumpuni dalam ilmu bahasa dan balaghah sesuai dengan perkembangan kelimuwan di masanya.
Namun dominasi aspek irrasional dan mitos tersebut yang seharusnya diluruskan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan sains masa kini. Agar misi Islam Rahmatn Lilalamin sebagai misi utama Rasululah SAW sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Hadits bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia. Tanpa memandang ras, suku, golongan, dan jenis kelamin. Karena sesungguhnya hanya ketaqwaannyalah yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Inna aqramakun ‘indallahi arqaakum. []