Pelayanan yang sinergis dan komprehensif untuk perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Cirebon perlu diperkuat. Hal ini penting, karena untuk memastikan setiap lembaga dan instansi agar bisa maksimal melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan perempuan dan anak.
Manager Program Women Crisis Center/WCC Mawar Balqis, Sa’adah mengatakan, di Kabupaten Cirebon terdapat sebuah jaringan kerja antar lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat atau keagamaan terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tergabung kedalam gugus tugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
“Nah yang kita inginkan itu ya salah satunya tujuan kegiatan hari ini adalah semuanya bersinergi memberikan layanan yang maksimal dan lebih mendekatkan akses layanan kepada masyarakat,” kata Sa’adah, dalam Workshop Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) P2TP2A Kabupaten Cirebon di salah satu hotel Kota Cirebon, Kamis, 20 Juni 2019.
Ia menjelaskan, P2TP2A merupakan leading sektor bagi gugus tugas yang ada di dalamnya yang bertujuan untuk memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan, dan berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
SOP yang melibatkan P2TP2A Kabupaten Cirebon, Dinas Sosial (DinSos), Dinas kesehatan (DinKes), Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor (Porles) Kabupaten Cirebon, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP2A), Rumah Sakit Waled dan Arjawinangun.
Selain itu, lanjut dia, ada Puskesmas, Kejaksaan, Bayt al-Hikmah, Fahmina, WCC Mawar Balqis, ‘Aisyiyah, Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) dan perguruan tinggi. Hal itu bertujuan untuk mendorong upaya pemenuhan hak korban untuk mendapatkan akses pelayanan penanganan dan pemulihan yang berkualitas, komperhensif, berkelanjutan, mudah di jangkau dan melibatkan peran serta masyarakat.
Kemudian, kata dia, sebagai panduan bagi Tim dalam pelayanan penanganan korban kekerasan bagi perempuan dan anak berbasis gender serta korban traficking dan menghindari pendokumentasian ganda untuk data yang sama.
Menurutnya, SOP ini juga menjadi pegangan dalam memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan.
“Nanti ketika misalnya ada korban itu sudah ada acuannya ini harus kemana, korbanya harus di apakan, kalau ada kendala kepada si A, dia tidak bingung berkoordinasi dengan siapa, intinya sudah ada kesepakatan bersama,” jelasnya.
Ia berharap kedepan semuanya bisa melakukan dengan jobdes (pekerjaan)-nya masing-masing sesuai dengan kapabilitas oleh lembaga atau instansinya.
Ia mencontohkan, misalnya yang bergerak di bidang pendidikan berarti bersama-sama untuk terus menyuarakan tentang upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurutnya, untuk lembaga yang bergerak di pendampingan seperti WCC, maka terus berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam memberikan penangan maksimal untuk para korban.
Lebih lanjut lagi, untuk di aparat penegak hukum, berarti terus melakukan pelayanan yang cepat kemudian memberikan efek jera untuk para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kalau untuk yang medis memberikan upaya-upaya juga membantu para perempuan dan anak yang menjadi korban yang membutuhkan penangan medis dengan tidak mempersulit dalam birokrasi administrasinya.
“Dengan adanya SOP ini berharap tidak lagi menjadi persoalan,” tandasnya. (RUL)