Mubadalah.id – Berselang dua bulanan setelah Idulfitri, Muslim seluruh dunia kembali menghelat hari raya lain yang biasa kita kenal dengan Iduladha. Selain persoalan nama, ada beberapa persamaan sekaligus perbedaan antarkeduanya. Bagi para pekerja, libur Idulfitri jauh lebih lama dibanding Iduladha.
Pun juga bagi para santri. Sebagian besar pondok pesantren tidak menjadwal kepulangan massal santri pada momen lebaran kedua ini, sementara Idulfitri biasa menjadi liburan dengan durasi terpanjang sekaligus waktu mudik santri ke kampung halaman.
Sebaliknya, masa takbir Iduladha berlangsung lebih lama dibanding Idulfitri meski durasi puasa sebelum Idul Adha sepertiga—atau sepersepuluh—lebih pendek. Puasa sebelum Iduladha juga bersifat sunnah, tidak seperti puasa Ramadhan yang wajib.
Bedanya lagi, jika Idulfitri semarak dengan zakat dari berbagai varian, Iduladha paling sering identik dengan kurban berupa penyembelihan hewan kurban yang meski bukan merupakan bagian dari kewajiban, cukup signifikan menciptakan kekhasan. Iduladha, misalnya, kemudian identik dengan lebaran kolestrol.
Hikmah di Antara Makna Dua Hari Raya
Idulfitri, di sisi lain, dianggap sebagai momentum kelulusan setelah sebulanan penuh melatih jiwa dan raga dengan berbagai treatment yang sifatnya fisik hingga spiritual. Sementara itu, menapaktilasi cerita monumental Ibrahim dengan putranya, Iduladha banyak kita refleksikan sebagai momentum merelakan sesuatu—atau seseorang yang amat kita cintai demi cinta yang lebih besar.
Jika Ibrahim merelakan putra semata wayang yang sudah demikian lama ia tunggu, maka pengorbanan serupa dapat kita lakukan melalui perantara berbeda, semisal harta dalam bentuk hewan yang kita sembelih.
Dalam tataran ibadah mahdhah pun juga refleksi di baliknya, dengan demikian, Idulfitri dan Iduladha sama-sama memiliki aksesoris yang menjadi ciri khas. Sementara itu dalam tatanan interaksi sosial-lokal, betapapun berbeda, dua-duanya menjadi momentum beberapa hal yang serupa, mulai dari mudiknya para perantau, naiknya harga bahan-bahan pokok, hingga akan datangnya musim nikah.
Waspada Badai PMK
Menyusul melandainya kasus Covid-19, Iduladha tahun ini ternyata belum sesemarak tahun-tahun sebelum pandemi. Wabah global tersebut seperti tergantikan wabah lain yang melahirkan rasa was-was dalam bentuk berbeda. PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) cukup berhasil membuat masyarakat enggan berkurban sapi maupun mengonsumsi berbagai olahannya.
Sebagai alternatif, selain mengganti pilihan pada kambing, mereka mengalihkan alokasi kurban pada pembiayaan lain. Beberapa tetap memilih sapi dengan pertimbangan kondisi sapi yang sehat, terpelihara secara organik dan atau telah menjalani prosedur medis.
Dalam situasi normal, sapi memang terbilang lebih preferable dibanding kambing. Meski harganya jauh lebih mahal, sistem urunan atau tabungan tahunan untuk membeli hewan kurban tersebut biasa menjadi solusi.
Apalagi, tertanam kepercayaan bahwa binatang yang kita kurbankan dapat menjelma kendaraan yang menyelematkan pendermanya di shirath, salah satu gate yang konon harus kita lalui di hari kemudian. Sapi tentu lebih proporsional untuk keperluan tersebut, mulai dari kalkulasi kuantitas—dan volume—daging hingga kualitas amal.
Merayakan Iduladha dengan Rasa Syukur
Di tengah badai PMK, Iduladha tetap kita rayakan dengan berbagai cara dan ekspresi. Jemaah Haji Indonesia yang kembali berkesempatan menunaikan rukun Islam kelima tersebut bisa menjalani rentetan prosesi ibadah seperti biasa. ‘Puasa’ singkat sebelum salat ‘Ied juga masih kita jalankan baik oleh mereka yang berpuasa dua hari sebelumnya maupun yang tidak.
Sebagian pekerja menyempatkan mudik dan atau silaturrahmi walau H+1 (11/07) sudah harus masuk kantor sementara para pembuat dan ‘pawang’ petasan tetap beraksi seperti tak ada regulasi yang mengatur atau preseden buruk yang membahayakan.
Adapun para peternak, pedagang atau pengusaha berbagai olahan (daging) sapi, meski tidak panen seperti biasa, tetap dapat bersilaturrahmi dengan handai taulan cita tanpa bayang-bayang PSBB, PPKM, dan semacamnya.
Iduladha juga tetap menjadi milik semua orang, termasuk non-Muslim yang ikut menyemarakkan melalui ucapan kepada yang merayakan atau kebagian jatah hewan kurban. Sementara itu di kalangan Muslim, meski jamak kita ketahui bahwa kurban dalam Bahasa Arab tidaklah serupa dengan korban dalam Bahasa Indonesia. Karena yang pertama berarti dekat atau mendekat kepada Tuhan. Banyak yang masih menyamakan karena memang keduanya tampak serupa.
Hal demikian misalnya tampak dari identifikasi perihal bentuk korban yang tertunaikan ketika tidak bisa berkurban hewan dalam proses yang biasa dan lumrah. Seperti tampak dalam percakapan berikut;
“Tahun ini kamu korban apa?”
“Perasaan”
“Kerinduan pada kampung halaman”
..dan semacamnya
Cocokologi seperti ini, meski di satu sisi tampak ngawur, ada masuk akalnya juga. Toh kendatipun kurban dalam Bahasa Arab bermakna kedekatan, spirit-nya dengan korban versi Bahasa Indonesia tidak jauh berbeda. Yakni merelakan atau melepas sesuatu yang kita cintai demi tujuan atau misi yang lebih besar dan menjadi prioritas. Kurban yang berarti (menuju) kedekatan menjadi tujuan dari aktivitas berkorban yang menjadi landasan spirit berkurban (mendekat pada Tuhan). Sehingga meski tak sama, keduanya tidaklah bertolakbelakang.
Refleksi di Balik Aktivitas Berkurban
Apalagi, badai PMK yang belakangan menyerang hewan kurban, seperti meminta refleksi atas motif di balik aktivitas berkurban. Kepercayaan akan penggambaran kemudahan melewati shirath, lebih tajam dibanding ujung pedang dan dapat terlewati layaknya jalan tol, memang tampak menyesuaikan dengan akal-akalan matematis dan transaksional ala manusia.
Karena itulah, sangat masuk akal ketika ada yang mengutak-atik kepercayaan tersebut dengan logika sederhana. Bahwa derma senilai harga kendaraan bermotor dapat menjadi alternatif yang lebih preferable dan proporsional jika ukurannya adalah tunggangan.
Preferensi sebagian masyarakat yang mengalihkan dermanya pada pembiayaan lain di luar hewan kurban tampak semakin masuk akal. Hal ini demi alasan kehati-hatian menjaga kualitas daging kurban. Seperti pernah, konon, Qabil putra Adam lakukan, di tengah wabah lokal semacam badai PMK.
Lepas dari itu, motif berderma pada momentum-momentum tertentu dengan perantara obyek dan nominal yang juga spesifik. Memang tetap menarik untuk selalu kita refleksikan mengingat kalkulasi matematis jangka pendek di dunia, maupun jangka panjang di akhirat. Meski tampak kurang klik dengan nilail-nilai spiritualitas seperti keikhlasan dalam berderma tanpa mengharpkan ‘laba’ dalam bentuk apapun.