Mubadalah.id – Penjajahan telah usai di bumi Indonesia. Kita telah merdeka secara fisik dan menjadi negara yang berdaulat selama 77 tahun. Memiliki otonomi untuk mengurus dan mengatur pemerintahan sendiri. Menentukan arah gerak kehidupan dan mengatur segala sumber daya milik sendiri, oleh orang sendiri, untuk rakyat sendiri. Kita telah benar-benar menjadi manusia yang merdeka.
Namun seperti yang sudah kita sadari dan pahami, bahwa kemerdekaan secara fisik itu tidak serta-merta menjadikan kita merdeka dan berdaulat penuh secara ruhani (substansi). Ada penjajahan lain yang datang dan menggerogoti sekujur jiwa-raga bangsa dan negara secara halus dan lembut. Karena demikian halus dan lembutnya, membuat kita luput, merasa tidak sedang dijajah, tidak sadar sedang direnggut kebebasannya secara ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya.
Penjajahan ekonomi dan budaya, dibarengi dengan propaganda media, melahirkan konsumerisme, fanatisme terhadap idola, menjadikan benda-benda serta orang sebagai berhala-berhala baru. Berhala di zaman modern.
Berhala Idola
Arti kata berhala adalah sesembahan. Sesuatu yang kita puja dengan sungguh-sungguh—lebih jauh, sesuatu yang kita “Tuhankan”. Pada zaman Nabi Ibrahim dan zaman pra-kenabian Muhammad saw, berhala adalah patung-patung yang menjadi sembahan orang-orang setempat. Saat ini, berhala yang ada di sekeliling kita bukanlah berhala dalam bentuk patung saja, namun berbagai macam hal. Termasuk berhala “idola”.
Dengan majunya industri hiburan di seluruh dunia, kita menemukan sejenis berhala baru. Yaitu idola. Sosok yang dipuja dan menjadi panutan serta kehadirannya selalu ditunggu. Semua hal, kegiatan, aktivitas keseharian, hingga konten bercandaan sang idola, menjadi hal yang penting dan dinanti.
Seolah dalam sehari, jika tak melihat dan mendapat berita tentang sang idola, hidup terasa kering dan tandus. Jika idola menunjukkan diri, tak ayal para fans sering terjebak dalam histeria; menangis, menjerit, dan terharu secara berlebihan hingga pingsan, hanya karena kehadiran sang idola.
Pentingnya Sosok Idola
Sosok idola menjadi sesuatu yang penting bagi setiap manusia terutama saat proses pembentukan jati diri. Generasi 70an saat remaja, dalam hal musik, kemungkinan besar akan mengidolakan group musik God Bless, Giant Step, Rhoma Irama, atau penyanyi genre rock dan dangdut lain yang saat itu sedang berjaya dan bertarung secara ideologis.
Keterbukaan rezim Orde Baru terhadap budaya asing membawa idola-idola baru dalam bermusik seperti musik rock yang sedang merajai panggung dunia. Pun menginspirasi munculnya band rock dalam negeri, yang menjadi cikal bakal musik perlawanan.
Generasi masa kini tentu mengidolakan bintang-bintang pop hollywood dan idol Kpop. Milenial dan Gen Z adalah member terbesar fandom idol Kpop dan fan-club idol Amerika seperti Beliebers untuk fans Justin Bieber, Army untuk fans BTS, dan Blink untuk fans Blackpink. Tentu ini hanya beberapa contoh kecil nama fansclub. Ada banyak sekali idol yang muncul di dekade ini, terutama setelah kita diterjang internet. Berbagai nama fans fandom bermunculan, member di dalamnya kebanyakan adalah anak muda.
Generasi X memiliki “berhala idola” nya sendiri, grup musik dan penyanyi yang tenar pada masa mereka muda. Pun generasi Z juga memiliki kiblat musik dan “berhala”nya sendiri sesuai perkembangan zaman dan kondisi sosio-kultural. Namun demikian, kebrutalan fans generasi Z tak jauh berbeda dengan generasi X. Yang menjadi pembeda adalah tentang materi musik, visi-misi, dan ideologi yang dibawa. Alasan terjadinya perang antar fans dan alasan menjadi fans fanatik tentu berbeda nilainya.
Dari dunia musik, kita menemukan banyak “berhala-berhala idola”, dan di dalam industri hiburan masih ada dunia perfilman dan teater, yang tentu akan menambah daftar panjang pembahasan dan jumlah “berhala idola”.
Menjadi Fans yang Kritis
Segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Termasuk berlebihan dalam mengidolakan seseorang. Dalam memilih idola tentu kita harus selektif dan melandasi pilihan dengan alasan-alasan yang logis. Saat memilih idola, kita harus tahu dan paham siapa sosok idola tersebut. Dalam bidang apa dia ahli, karya apa yang ia hasilkan, apa manfaatnya untuk kita.
Jika idola memiliki sisi baik, bagian itulah yang mesti kita contoh, menjadi dasar pijakan kita menjadikannya sebagai idola. Lalu hal-hal buruk yang dimiliki sang idola, hendaknya tidak kita contoh dan tiru. Kita anggap itu sebagai bagian dari sisi kemanusiaan sang idola. Kita harus senantiasa ingat bahwa idola adalah manusia biasa. Menjadikannya sebagai panutan mutlak bukan tindakan yang bijaksana. Hingga kita menjadi buta, menutupi semua kekurangan dan menormalisasi kebiasaan atau perilaku buruk sang idola. Menjadi fans yang kritis adalah syarat utama menjadi fans yang merdeka dan wajar.
Tentang Fans Fanatik dan Baik-Buruknya
Sikap fanatik akan menimbulkan banyak sekali mudarat. Tentu kita telah melihat orang-orang yang fanatik terhadap agama dan golongan seringkali melakukan tindakan agresif dan anarkis terhadap agama dan golongan lain. Dalam konteks idola, di era 70an, sikap fanataik antara fans musik genre rock dan dangdut menimbulkan agresi fisik seperti penyerangan dan tawuran antarfans.
Pada tahun 1991, konser besar Kantata Takwa di stadion GBK memicu kericuhan. Kericuhan terjadi karena para penonton di area tribun ingin memasuki area festival. Lalu sekumpulan masa yang tidak memiliki tiket di luar gedung memaksa masuk ke dalam gedung sehingga terjadi bentrok dengan petugas keamanan.
Di tahun 2000an, saat band indie berprogres juga tak jauh berbeda, masih sering terjadi kericuhan saat ada konser. Ada banyak tragedi kericuhan yang mewarnai konser musik dari generasi ke generasi yang berujung memakan banyak korban. Dari korban luka hingga meninggal.
Saat ini, kericuhan lebih sering terjadi di dunia maya. Karena konser secara fisik sudah tidak terlalu hype seperti yang terjadi pada generasi sebelumnya. Apalagi setelah adanya pandemi covid 19. Namun di masa kini, ada masalah baru muncul. Fanwar di dunia maya tak bisa dielakkan, seringkali fanwar itu meramaikan hashtag di twitter dan instagram hingga perang komentar di akun youtube.
Perang Media Sosial
Perang di medsos juga menimbulkan banyak akibat yang tidak sepele. Ucapan netizen, baik yang pro atau kontra terhadap idola, memberikan dampak besar. Memberi pengaruh psikis yang besar kepada sang idola juga kepada pribadi netizen sendiri.
Banyaknya kasus depresi hingga suicide para aktor, aktris, musisi, baik di Barat maupun Timur, banyak yang disebabkan karena komentar dari netizen. Sudah banyak terjadi kasus, artis menutup kolom komentar akun media sosialnya. Di sisi lain untuk mengurangi traffic jam like dan comment, namun kebanyakan alasannya adalah untuk menghalau komentar negatif dari netizen.
Ujaran kebencian, body shaming, hingga pelecehan menjadi hal yang paling sering terjadi. Production House dari sebuah industri hiburan sangat mempertimbangkan pendapat publik dalam internet. Jika citra idol jelek di mata publik maya, maka akan mempengaruhi karir sang idola. Idola yang memiliki citra buruk akan kehilangan sponsor, dihentikan kontrak kerjasama dengan berbagai perusahaan, diberhentikan menjadi brand ambassador, hingga ditinggalkan oleh orang-orang di industri.
Idola akan melakukan banyak hal agar citranya menjadi baik. Dalam mengupayakan semua citra tersebut tentu membutuhkan banyak usaha dan energi. Stress dan kecemasan tak bisa ia hindarkan.
Menjadi Fans yang Merdeka
Sebagai fans, kita juga mesti menghormati dan menghargai pilihan pribadi sang idola. Pilihan hidup dan kecenderungan pribadi sang idola bukanlah wilayah kita untuk menghakimi. Memberikan kritik tentu boleh, namun harus dengan cara yang baik dan sopan, tidak mengolok-olok, melontarkan kata-kata buruk, hingga melakukan fitnah.
Dampak negatif dari sisi netizen atau fans, antara lain adalah kehilangan waktu. Setiap hari kita sibuk stalking, berlari dari satu akun ke akun lain untuk mencari update status tentang sang idola. Kesibukan scroll dan berkelana di dunia maya, seringkali melenakan, menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Padahal di dunia nyata, tentu banyak hak dan kewajiban yang harus kita penuhi. Hak tubuh untuk makan, minum, mendapat udara segar. Hak orang tua, teman dan keluarga. Dan yang lebih penting adalah kewajiban belajar dan beribadah.
Menjadi fans yang merdeka yaitu kita dapat bersikap adil antara kehidupan nyata dan kehidupan menjadi fans. Mampu memahami idola, baik dan buruknya, kondisi psikologisnya. Bersikap rukun dengan fans lain. Serta tidak menjadikan aktivitas ngefans sebagai tujuan hidup.
Menjadi fans yang merdeka, bahwa kehidupan pribadi kita di dunia nyata tidak terjajah, tahu batasan, tahu prioritas, tidak terlena dan tetap dapat menunaikan hak dan kewajiban secara seimbang. Jiwa dan raga masih dalam kendali dan otoritas kita sendiri, tidak dijajah oleh keberadaan sang idola. Terlebih idola yang tidak bisa kita sentuh dan tatap langsung, manusia biasa yang tidak mempengaruhi nilai kehidupan kita secara signifikan di dunia dan akhirat.
Pembebasan dari Berhala Idola
Pemujaan seseorang terhadap idola bermula dari pemujaan terhadap keindahan. Nada-nada musik, pendalaman karakter dalam film, gerak tari, suara yang indah, dan rupa. Kecantikan, ketampanan, bakat-bakat luar biasa, kejeniusan seseorang dalam bidangnya. Tidak ada yang salah dengan menyukai keindahan dan mengidolakan subjek keindahan, karena fitrah manusia adalah menyukai keindahan.
Keindahan adalah nutrisi jiwa. Tanpanya, jiwa menjadi kering-kerontang kekurangan daya hidup. Keindahan adalah energi. Yang menjadi bermasalah adalah saat kita mengapresiasi subjek keindahan secara berlebihan. Terlebih keindahan semu yang terbentuk oleh simulasi-simulasi keadaan.
Masuk ke dalam fansclub artinya masuk ke dalam dunia simulasi. Antara satu fans dengan fans lain saling memengaruhi. Pemimpin dari fans dalam rangka membentuk fans solid, mereka membuat narasi agar idol tampak demikian indah, hebat dan sempurna. Sehingga kita akan terpesona pada kesempurnaan buatan tersebut, lalu tergerak meluangkan waktu, tenaga, hingga uang untuk mendukung segala aktivitas idola.
Sesekali mengejar sang idola, scrolling, stalking akun dan berpartisipasi menonton konser tidak masalah, sebagai bentuk hiburan, apresiasi, dan bentuk self reward. Namun jika kita melakukannya terlalu sering, menjadikannya sebagai habit apalagi tujuan hidup, tentu kita mesti mendiskusikannya lagi dengan diri sendiri. []