Mubadalah.id – Dyah Pitaloka Citraresmi merupakan salah satu tokoh utama dalam cerita Perang Bubat antara Majapahit dan Sunda. Satu peristiwa yang menggemparkan Pulau Jawa, pada masa lalu, yang masih terus terkenang hingga saat ini. Setidaknya ada tiga naskah kuno yang menceritakan Perang Bubat, yaitu Kidung Sunda, Pararaton, dan Parahiyangan.
Jakob Sumardjo dalam “Sekitar Perang Bubat”, sebuah artikel dalam buku Memori dan Imajinasi Nusantara, menjelaskan, “Menelik sumber-sumber tua yang berasal dari tua masyarakat yang terlibat dalam perang Bubat (Sunda dan Majapahit) yang kemungkinan besar tidak saling berhubungan, dapat ditafsirkan bahwa Perang Bubat merupakan peristiwa sejarah, karena kedua masyarakat masih memiliki kenangan peristiwa tersebut.
Meskipun sumber-sumber tertulis berasal dari abad ke-16, sedangkan dari peristiwanya sendiri (terjadi) pada tahun 1357, abad ke-14. Jadi ada selisih sekitar dua abad antara peristiwa dan tuturan. Ingatan kolektif peristiwa tersebut masih cukup kuat dalam tradisi sastra kedua masyarakat.”
Bicara Perang Bubat umumnya Dyah Pitaloka diceritakan sebagai sosok yang seakan pasrah dengan intrik Gajah Mada. Sehingga, perempuan Nusantara yang satu ini seakan tenggelam bersama “bela pati”-nya dalam peristiwa Bubat. Padahal, sebagai perempuan yang tersohor pada masanya tentu Dyah Pitaloka bukanlah sosok yang biasa saja.
Perempuan Tersohor di Pulau Jawa
Dyah Pitaloka adalah anak dari Prabu Linggabuana yang merupakan raja di Galuh. Diceritakan bahwa Dyah Pitaloka merupakan sosok perempuan yang amat cantik. Sehingga, sebagaimana Jakob Sumardjo berdasarkan cerita dalam Kidung Sunda, Raja Hayam Wuruk yang sedang mencari permaisuri menjadi jatuh hati ketika melihat gambar Dyah Pitaloka yang dilukis oleh Arya Prabangkara.
Terdorong rasa cinta, dan niatan untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Sunda, Hayam Wuruk memutuskan untuk melamar Dyah Pitaloka dengan mengutus patihnya ke Sunda. Sang patih pun menyampaikan kabar kepada Prabu Linggabuana, bahwa Hayam Wuruk akan menjadikan putrinya sebagai permaisuri.
Dyah Pitaloka sendiri menerima keputusan kedua orang tuanya yang menyetujui lamaran itu. Raja Sunda bersyukur kepada Yang Maha Esa karena putrinya mendapat lamaran sebagai permaisuri Raja Majapahit yang menguasai tujuh raja di Pulau Jawa.
Ada juga cerita, sebagaimana Yeni Mulyani Supriatin dalam “Perang Bubat, Representasi Sejarah Abad ke-14 dan Resepsi Sastranya,” bahwa Gajah Mada muda atau Ramada, sebelum menjadi Patih Majapahit, pernah hidup di Tanah Sunda.
Dyah Pitaloka dan Legenda Kecantikannya
Di Sunda, Gajah Mada jatuh hati kepada seorang perempuan yang tidak lain adalah Dyah Pitaloka. Namun, cinta Gajah Mada tidak mendapat restu dari keluarga sang putri. Sehingga, di kemudian hari, tatkala Gajah Mada menjadi Patih Majapahit, dia mengatur intrik agar Dyah Pitaloka tidak jadi menikah dengan Raja Hayam Wuruk, dan dari intrik itu terjadilah Perang Bubat.
Namun, cerita tersebut merupakan satu dari beberapa versi cerita Perang Bubat. Versi yang umum, sebagaimana Jacob Sumardjo, bahwa penolakan Gajah Mada terhadap pernikahan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka karena pertimbangannya jika pernikahan keduanya terjadi, maka wibawa dan keagungan raja serta kerajaan Majapahit akan turun di mata raja-raja Pulau Jawa dan Nusantara. Menurutnya, Raja Majapahit tidak seharusnya mengangung-agungkan Raja Galuh di keratonnya sendiri.
Versi cerita yang mana pun, yang pasti, bahwa Dyah Pitaloka merupakan perempuan yang tersohor pada masanya. Sehingga, tidak heran jika Hayam Wuruk, dan juga Gajah Mada, jatuh hati kepadanya.
Ketersohoran Dyah Pitaloka bukan hanya karena paras cantiknya. Tentu, kecantikan paras menjadi satu anugerah baginya, namun lebih dari itu Dyah Pitaloka juga punya karisma besar yang bersumber dari jiwanya. Hayam Wuruk tentu tidak akan mudah memilih seorang perempuan sebagai permaisuri hanya dari selembar gambar.
Kita dapat mengasumsikan, bahwa ketika melihat gambar Dyah Pitaloka yang cantik di luar nalar, Hayam Wuruk juga mendengar kabar bahwa sosok itu memiliki kepribadian secantik parasnya. Sehingga, sang raja menjadi jatuh hati.
Jadi Dyah Pitaloka tidak hanya memiliki kecantikan wajah, melainkan juga merupakan perempuan karismatik yang memiliki kepribadian dan kecerdasan yang baik. Sehingga, dia dapat menjadi perempuan yang tersohor di Pulau Jawa pada waktu itu.
Melawan Kesemena-menaan
Naskah Pararaton, sebagaimana Jakob Sumardjo, menceritakan bahwa Patih Majapahit menolak jika pernikahan berlangsung secara resmi. Kehendaknya agar Dyah Pitaloka menjadi persembahan Sunda atas Majapahit. Tentu, pihak Sunda menolak hal itu.
Mereka datang karena lamaran Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka, bukan akan mempersembahkan sang putri sebagai upeti. Dan, Dyah Pitaloka juga menolak jika dirinya menjadi persembahan bagi Raja Majapahit. Sebab, dia ingin menjalin pernikahan bersama Hayam Wuruk dengan setara.
Perselisihan antara pihak Majapahit dengan Sunda pun semakin memanas. Sehingga, suasana perayaan pernikahan seketika berubah peperangan. Bahkan, lebih tepat pembantaian, sebab jika yang terjadi adalah peperangan, maka melibatkan dua kerajaan yang sama-sama siap bertempur.
Namun, pihak Sunda datang ke Majapahit untuk pernikahan bukan pertempuran. Meski begitu dengan penuh keberanian dan semangat mempertahankan kehormatan, pihak Sunda melawan gempuran Majapahit.
Bagaimana dengan Dyah Pitaloka? Dia turut serta menuju medan laga Bubat. Dia tidak gugur dalam arena pertempuran, namun Dyah Pitaloka memilih untuk “bela pati” (ikut mati/bunuh diri). Keputusan itu bukan semata muncul dari kepasrahan diri, melainkan lahir dari sikap menolak perlakuan semena-mena pihak Majapahit.
Yeni Mulyani Supriatin menjelaskan, “Dyah Pitaloka adalah perempuan Sunda yang bertekad mengangkat derajat perempuan Sunda agar sejajar dengan pria. …seorang perempuan yang cakap, pintar, dan ngelmu ‘ilmu oleh tubuh’. Dyah Pitaloka berjuang mempertahankan kehormatan negerinya sampai titik darah penghabisan….”
Jadi, Dyah Pitaloka tidak pasrah dengan intrik dan kesemena-menaan atas diri dia. Karena itu, hingga akhir hayatnya, Dyah Pitaloka tetap kukuh mempertahankan kehormatannya sebagai seorang perempuan. []