Mubadalah.id – Kita sekarang berada di era teknologi informasi, di mana gelombang arus informasi media sangat sulit untuk kita bendung. Hal ini tentu merupakan sebuah implikasi dari peran internet serta sosial media yang menjelma sebagai kebutuhan primer bagi semua kalangan masyarakat, terutama anak muda.
Dari sana pula keberadaan narasi dan aksi terorisme, ujaran kebencian pasti andil dan sangat mudah untuk kita temui. Hal tersebut menjadikan tantangan masyarakat dalam menanggulangi atau mencegah aksi terorisme menjadi semakin menantang dan kompleks.
Namun di sisi lain ada nilai positifnya. Banyak informasi dari belahan dunia manapun dapat kita kantongi secepat tangan membuka smartphone. Kita bisa belajar secara mudah hanya dengan bantuan gadget yang ada, dimana saja dan kapanpun. Berjuta kemudahan ditawarkan di era ini. Ibarat kata “dunia ada dalam genggaman”.
Dalam beberapa tahun terakhir, aksi terorisme melibatkan anak-anak atau pemuda sebagai pelaku terorisme. Berdasarkan data Asian Muslim Action Network (AMAN) pada 2015, telah tercatat sebanyak 3.500 anak muda di negara barat direkrut ISIS melalui media sosial. Pada 2017, sebanyak 1.500 anak menjalani pelatihan militer di kamp pelatihan militer Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Resistensi Anak-Anak Muda Menjadi Pelaku
Pada 2017, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan pelaku aksi terorisme mayoritas berasal dari anak muda. Disebutkan sebanyak 11,8 persen pelaku terorisme berusia di bawah 21 tahun dan 47,3 persen berada di rentang usia 21-30 tahun.
Berikut beberapa contoh aksi terorisme yang melibatkan perempuan dan anak muda; Nana Ikhwan Maulana (28 tahun) dan Dani Dwi Permana (18 tahun) melakukan bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Sultan Azianzah (22 tahun), pelaku penyerangan pos lalu lintas Cikokol pada 2016.
Ia menyerang tiga anggota polisi menggunakan golok serta melempar sumbu menyerupai bahan peledak. Bom bunuh diri di Sidoarjo dan Surabaya, pada 2018 melibatkan tiga perempuan dan sebelas anak. Tendi (23 tahun), merupakan seorang mahasiswa yang menjadi pelaku penusukan Bripka Frence di halaman Intel Brimob Kelapa Dua, Depok, pada Mei 2018.
Rabbial Muslim Nasution (24 tahun), adalah seorang mahasiswa yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, pada 13 September 2019. Lukman (26 tahun) dan Dewi, sepasang suami istri yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, pada Maret 2021.
Zakiah Aini (26 tahun) menyerang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Mabes Polri dengan senjata tembak airgun berkaliber 4,5 milimiter dan gas CO2 sebagai pendorong peluru, pada 31 Maret 2021. Zakiah juga tercatat pernah menjadi mahasiswa.
Rekrutmen Melalui Media Sosial
Dengan banyaknya data yang menunjukkan aksi terorisme, Asisten Deputi Perlindungan Anak Bidang Hukum dan Stigmatisasi KEMENPPA RI menyatakan, rekrutmen jaringan terorisme dilakukan melalui media sosial. Beberapa faktor diantaranya adalah, pertama, berasal dari keluarga terdekat, atau keluarga inti. “Ada orang tua yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme kepada anak.”
Tentu, apabila orang tua atau orang yang kita temui sehari-hari memiliki paham radikalis, anak atau pemuda tidak akan mampu menawar kecuali mereka berani berontak dan keluar dari lingkup tersebut. Kedua, lingkungan. Faktor lingkungan teman atau tetangga yang mengajarkan radikalisme dan terorisme kepada anak muda. Faktor lingkungn ini tidak kalah besar pengaruhnya dibanding dengan faktor pertama. Lingkungan dapat membentuk kepribadian dan karakter seseorang.
Maka, apabila lingkungan rumah, sekitar, atau sekolah bahkan kampus sudah terpapar paham radikal, maka terpapar paham serupa menjadi hal yang amat mungkin terjadi. Ketiga, faktor kemiskinan. Kelompok teroris jihadis ini mengiming-imingi para penyintas dengan tawaran materi dan harta benda, dan faktor ini banyak juga dialami oleh para pelaku. Mereka ingin berdaya secara ekonomi dengan menggadaikan diri bergabung dalam kelompok tersebut.
Pemuda atau usia remaja adalah masa transisi atau masa krisis identitas yang menyebabkan mereka rentan terhadap pengaruh dari luar diri. Sehingga mereka lebih mudah untuk menerima ide-ide baru. Anak muda dengan perkembangan emosi yang belum stabil dan pengalaman hidup yang minim, tidak cukup memiliki kemampuan dalam memproses informasi. Terlebih membuat keputusan secara matang, dan kondisi psikologis yang masih labil.
Karena itu anak muda dapat dengan mudah termanipulasi, mereka cekoki paham-paham radikal, menjadi korban, mereka rekrut dan kemudian menjadi pelaku aksi terorisme.
Oleh karena mudahnya perempuan dan anak menjadi kelompok rentan terpapar paham radikal terorisme, maka BNPT bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KEMENPPA) melihat betapa urgentnya ada upaya sinergitas dalam menanggulangi aksi terorisme ini.
Upaya Pencegahan Aksi Terorisme
Beberapa cara atau upaya tersebut antara lain, melakukan pemberdayaan dan pemberian edukasi kepada para perempuan tentang toleransi antar umat beragama. Lalu penanaman nilai-nilai keberagaman, anti terorisme dan anti radikalisme. Di tambah nilai kedamaian, persatuan di lingkungan anak-anak, terutama dalam keluarga juga sekolah.
Dalam rangka memperkuat kerjasama BNPT dan KEMENPPA akan menyusun nota kesepahaman. Di mana nota itu berisi 10 pasal dengan beberapa ruang lingkup. Di antaranya adalah Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaann Hak Anak (PUHA).
Pemberdayaan ekonomi, sosial, dan psikologis bagi perempuan dan anak korban terorisme, pertukaran informasi. Serta sinergi pengembangan model bersama Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang bebas paham radikal terorisme. Juga terbentuknya banyak komunitas atau kelompok pemuda damai yang menyerukan toleransi dan menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman. []