• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Apresiasi untuk Peserta Penyandang Kebutuhan Khusus di KUPI II Jepara

Buya Husein membacakan puisi-puisi indah tentang mulianya aktivitas membaca dan berkarya tanpa putus. Keterbatasan fisik bukan hambatan untuk tetap bisa aktif dan produktif

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
06/12/2022
in Pernak-pernik
0
KUPI II

KUPI II

398
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada saat hari terakhir di Jepara dalam mengikuti rangkaian acara KUPI II, kebetulan bertepatan dengan hari Sabtu (16/11), saya menemukan sesuatu yang jauh lebih menarik, lebih hebat, lebih fantastis bahkan daripada bertemu para penulis keren-produktif, doktor muda, budayawan, dan aktivis organisasi internasional.

Saya tidak menyangka pertemuan itu bisa terjadi. Sungguh. Saya bertemu dengan seorang perempuan yang secara fisik penyandang kebutuhan khusus. Namun, intelektualnya sangat eksklusif tingkat tinggi. Khawash, dalam bahasa anak pesantren.

Entah juga mengapa, seolah ada sesuatu yang mendorongku berangkat dari tempat penginapan-dengan jarak kurang lebih satu kilo-sejak pukul enam pagi. Sedang acaranya akan berlangsung sekitar jam delapan. Saya duduk santai di antara jejeran kursi di panggung utama, di depan gedung Madrasah Aliyah Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara yang menjulang tinggi hingga lantai empat itu.

Waktu itu masih sepi. Saya hanya menemukan beberapa ummahat dan adik-adik santri berkumpul dalam acara khatmil Qur’an setiap bakda subuh, dan mbak-mbak dari Rahima.id dan Fahmina Institute tengah bersiap-siap membuka stan bazar mereka.

Saya diam mematung. Menggunakan dua kursi, satu untuk duduk dan satu lagi tempat kakiku berselojor. Saya berusaha tetap fokus menikmati keheningan yang larut dengan hangat mentari pagi kala itu. Saya semakin betah dengan keheningan itu ditemani Wormhole Jalan Pintas Menuju Surga

Baca Juga:

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas

SNBT 2025: Ajang Pembuktian bagi Kawan Difabel

Yakni salah satu kajian tasawuf modern serial ke 41 karya Agus Mustofa, salah seorang putra kiai kelahiran Malang yang “tersesat” menekuni Teknik Nuklir di UGM Yogyakarta. Karena itu, ia berhasil “mengwinkan” kajian tasawuf dengan sains, sehingga lahirlah kajian tasawuf modern. Ia sungguh tersesat di jalan yang keren.

Bertemu Cak Fu dan Perempuan Ulama Asal Jombang

Detik demi detik terus berjalan seiring kefokusanku membaca Wormhole-nya Agus Mustofa. Satu demi satu peserta kongres mulai memadati pelbagai halaqah yang mereka minati, tanpa saya sadari. Saya mulai tolah toleh melihat orang-orang yang berlalu lalang di samping, belakang dan hadapan saya.

Rasanya, saya membutuhkan sesuatu yang bisa mengembalikan kefokusan saya seperti semula. Mungkin seperti segelas kopi dan beberapa makanan ringan. Dan, tanpa berpikir lama, saya beranjak mencarinya.

Benar saja, kopi itu berhasil mengantarkanku dalam kefokusan yang sama. Namun hanya beberapa menit saja. Lantaran daya tarik kopi yang begitu kuat. Ternyata kopi dapat mengeluarkan dua kegunaan yang kontradiktif dalam waktu yang bersamaan. Satu sisi dapat menciptakan kefokusan membaca, di sisi lain kopi berhasil mengundang orang untuk duduk bareng dan mengobrol lebih asyik yang pasti akan menghilangkan kefokusan membaca.

Kali itu saya tidak pernah menganggap orang-orang yang mengajak saya mengobrol sebagai pengganggu. Karena saya datang KUPI II salah satunya untuk meperluas jejaring sosial (open network). Bahkan, selalu menganggap mereka sebagai pembawa keberkahan besar. Beberapa saat setelah berbincang lama dengan seorang pengamat isu perempuan asal Cirebon, Jawa Barat, tiba-tiba datang seorang dengan alat bantu kursi roda. Dia adalah salah seorang panutan yang saya ikuti di media sosial Facebook.

Pada 2017 lalu, ia terpilih sebagai salah satu komisioner Komnas Perempuan. Dia adalah Bahrul Fuad, atau yang karib disapa Cak Fu. Cukup lama berbincang dengan mereka berdua, mulai dari isu-isu perempuan hingga kisah-kisah menarik antara Cak Fu dan kiai Imam Nakhe’i. Cak Fu bicara demikian lantaran mengetahui kami adalah santri Ma’had Aly Situbondo, murid dari sahabat baiknya itu.

Bercengkrama dengan Kiai Husein Muhammad

Tak berselang lama, keberkahan lain datang menghampiri kami. Di sela-sela perbincangan asyik, datang seorang perempuan dengan alat bantu tongkat kruk yang menyangga kedua ketiaknya. Perempuan yang didampingi oleh dua orang perempuan itu, dari kejauhan sudah menyita banyak perhatian. Secara zahir ia tampak kesulitan berjalan. Tetapi yang keren darinya, ia sangat mandiri. Ia sangat tidak ingin banyak merepotkan orang lain. Pendiriannya teguh, prinsipnya luhur.

Namanya Mujtahidah. Oleh para koleganya, perempuan kelahiran Jombang itu karib disapa Ning Aida. Ia adalah putri seorang kiai besar di sana. Sejak kecil, Ning Aida sudah mendapatkan pelajaran-pelajaran pesantren dari abahnya. Seperti ilmu nahwu, sharraf, mantiq, balagah, fikih, dan kajian-kajian keagamaan lainnya.

Sejak duduk di bangku kuliah, cakrawala berpikirnya semakin tinggi dan wawasan bacaannya semakin luas dan megah. Buku-buku bacaannya tidak hanya berbahasa Indonesia, tetapi juga berbahasa Arab dan Inggris. Minat kajiannya pun tidak ringan, melainkan mengkaji sastra dan kajian sejarah peradaban barat.

Ning Mujtahidah memang perempuan yang memiliki kebutuhan khusus secara fisik, namun sangat eksklusif dan luar biasa secara intelektual. Dan, sangat tidak menutup kemungkinan untuk kualitas spiritual yang tinggi.

Alasan KUPI Harus Mengapresiasi Peserta Penyandang Kebutuhan Khusus

Waktu sudah beranjak ke usia yang lebih dewasa. Pancaran sinar matahari lewat bawah terop megah di panggung utama juga terasa semakin panas. Beruntungnya ada kipas angin cooler krisbow yang menyeimbangkan hawa panasnya. Beberapa tokoh besar KUPI sudah mulai berdatangan untuk melihat situasi sekitar. KH Husein Muhammad, salah satu di antaranya.

Melihat Buya Husein, panggilan akrab di kalangan para koleganya, beberapa peserta, pengamat dan tamu undangan menghampiri kiai produktif itu. Ada yang meminta nasehat bagaimana menjadi produktif, ada yang membeli buku dan meminta tanda tangan, ada juga yang mendekat hanya untuk berfoto, bahkan ada yang ngalap berkah meminta salaman dan doa kepada pengasuh Ponpes Dar at-Tauhid Arjawinangun, Cirebon tersebut.

Adalah Ning Mujtahidah, termasuk orang dengan tipe terakhir. Ia tidak meminta berfoto secara khusus kepada Buya Husein. Ia hanya menerima gambar jika ada orang yang tanpa diminta mengambil gambar mereka. Tidak juga meminta tanda tangan.

Saya tahu persis karena saya salah satu yang mendampinginya berjumpa langsung untuk pertama kali dengan kiai karismatik itu. Ia datang hanya untuk bersalaman, ngalap berkah dan sedikit basa-basi, ngobrol ringan dan memperkenalkan diri.

Keterbatasan Fisik bukan Hambatan Aktif dan Produktif

Waktu itu, Ning Aida memperkenalkan dirinya sebagai seorang penulis buku, juga aktif menulis artikel-artikel populer di media-media online. Seperti media Perempuanmembaca.com dan Pesantren.id. Wawasan bacaannya yang luas ia manfaatkan untuk mengisi rubrik-rubrik resensi buku di dua media online tersebut.

Mendengar hal itu, raut muka Buya Husein lantas berubah takjub, bangga dan bahagia. Secara spontan ia membacakan puisi-puisi indah tentang mulianya aktivitas membaca dan berkarya tanpa putus itu. Keterbatasan fisik bukan hambatan untuk tetap bisa aktif dan produktif.

Subhanallah, hak prerogatif Tuhan benar-benar tampak di sini. Bahwa fisik sangat tidak menjamin kualitas eksistensi diri seseorang. Sangat tidak menjamin. Allah sangat berhak meletakkan berbagai karunia indah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tanpa pandang bulu.

Melihat ekspresi Buya Husein waktu itu, saya jadi berpikir bahwa di KUPI III lima tahun mendatang, harus ada apresiasi besar kepada peserta penyandang kebutuhan khusus. Dalam format apa pun. Misalnya, mereka satu per satu atau secara bersamaan kita minta naik ke panggung utama untuk menerima beberapa penghargaan.

Mengingat, kehadiran mereka ke acara besar KUPI II saja, dengan biaya sendiri, menggunakan transportasi umum dengan kondisi seperti yang mereka alami, harus mendapat penghargaan besar. Terlebih lagi, bahwa tidak jarang saudara-saudara kita ini memiliki kontribusi yang lebih besar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: DifabelDisabilitasJeparaKUPI IIPenyandang Kebutuhan Khusus
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version