Mubadalah.id – Haul Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid yang ke 13 telah berlangsung pada 17 Desember 2022 di Ciganjur, Jakarta Selatan. Bersama keluarga, sahabat, masyarakat, tokoh ulama, aktivis, dan santri haul Gus Dur diselenggarakan begitu meriah. Ini adalah salah satu ruang hangat untuk mengenang Alm Gus Dur, yang tapak jejak hidupnya, gagasan dan pemikirannya masih menginspirasi kita saat ini.
Tema yang keluarga Gus Dur angkat dalam perayaan ini adalah Gus Dur dan Pembaharuan NU. “Tema ini kami angkat karena NU akan menyongsong abad kedua hijriyah sebagai jam’iyah. Sebuah tema yang diusulkan oleh abah kami, Gus Mus.” Jelas Alissa Wahid, puteri pertama Gus Dur sekaligus ketua panitia penyelenggara haul tahun ini.
Haul Gus Dur memang selalu dirayakan dengan semarak dan penuh antusias. Masyarakat selalu berlomba-lomba untuk turut menghelat perayaan ini. Melihat tahun-tahun belakang, dua-tiga bulan ke depan, akan ada banyak kota, lembaga, dan masyarakat menggelar acara ini dengan suka cita. Rasanya ruang ini tidak cukup membendung rasa rindu kami pada Gus Dur.
Ruang ini adalah ruang untuk menggali ingatan tentang Gus Dur. Bagaimana ia remaja, bagaimana kiprahnya dalam membesarkan Nahdlatul Ulama (NU), bagaimana ia menjadi presiden, dan bagaimana ia memperlakukan keluarganya.
Alissa bercerita bahwa Gus Dur pernah berkata begini. “Lis, jangan berharap bapakmu seperti bapak teman-temanmu ya. Bapak tidak punya banyak waktu untuk kalian. Karena keluarga itu prioritas nomor empat bagi bapak. Prioritas pertama adalah Islam, kedua Indonesia, ketiga NU, keempat keluarga. Kamu harus bisa nerima.” Kenangnya.
Karena keluarga menjadi prioritas nomor empat, maka tanggung jawab mengurusi rumah tangga jatuh pada Ibu Nyai Sinta Nuriyah. “Ya tanggung jawab mengurus keluarga ada di tangan saya. karena beliau (Gus Dur) sangat sibuk di NU.” Jelasnya. Di dalam keluarga, Ibu Nyai Sinta memegang peran sentral untuk memenuhi kebutuhan belanja keluarga dan mendidik anak-anaknya.
Pengalaman dan Pesan untuk perempuan
Nyai Sinta Nuriyah menceritakan satu fragmen kecil hidupnya membersamai Gus Dur. Di masa ketika puteri-puterinya masih kecil, ia adalah seorang pengajar di kampus Hasyim Asy’ari dan Yayasan Bahrul Ulum. Tetapi gajinya tak cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. “Gaji saya hanya cukup untuk naik becak.” Kenangnya.
Dengan kondisi seperti itu, ia tidak segan untuk berjualan kacang dan es lilin demi memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. “…Sementara rumah tangga harus berjalan, anak-anak harus terus saya besarkan dan saya sekolahkan, anak-anak harus menjadi anak yang pandai bagi agama bangsa dan negara, maka saya tidak boleh menyerah begitu saja. Saya harus bangkit merebut semuanya. Menyelamatkan semuanya. Oleh karena itu, saya berani untuk tiap malam goreng kerupuk pasir.” Papar Nyai Sinta kepada hadirin.
Dalam sebuah hadis, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah. Pekerjaan apa yang paling mulia ya Rasulullah? Jawab Rasul adalah pekerjaan yang dilakukan oleh keringat dan tanganmu sendiri. Nyai Sinta memberikan teladan bagi kita untuk tidak pantang menyerah pada keadaan dan terus berdaya di dalam keluarganya.
Beliau pun memberikan pesan kepada perempuan. “Menjadi perempuan nggak usah risau, nggak usah kecil hati, nggak usah cemas menghadapi semua itu. Perempuan selalu berada di garis terdepan untuk merebut kehidupan umat manusia.” Tegasnya.
“Mari kita hargai dan kita lindungi bukan karena kita hadir di muka bumi ini melalui mereka tetapi mereka adalah malaikat-malaikat yang nyata. Namun mengapa sosok yang bergelimang kelembutan itu selalu bersimbah dengan ketertindasan. Itu lah yang kalian panggil perempuan.” Pungkasnya. []