Kamis, 13 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    silent revolution

    Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia

    Alimat

    Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

    mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney

    Mahasiswa dan Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Soeharto

    Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto

    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Merayakan Hari Ayah

    Selayaknya Ibu, Merayakan Hari Ayah Pun Layak Kita Lakukan

    Perempuan Menjadi Pemimpin

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Pemimpin dan Hakim

    Perempuan menjadi Pemimpin

    Perempuan Menjadi Pemimpin Politik, Mengapa Tidak?

    Kosmetik Ramah Difabel

    Kosmetik Ramah Difabel Ternyata Masih Asing di Pasar Lokal

    Menyusui

    Menyusui: Hak Anak, Hak Ibu, atau Kewajiban Ayah?

    Soeharto

    Soeharto dan Situasi Epistemik Bangsa

    ar-radha‘ah

    Menafsir Ulang Ar-Radha‘ah

    Penyusuan Anak dalam al-Qur'an

    Penyusuan Anak dalam Al-Qur’an: Antara Hukum, Etika, dan Kasih Sayang

    Disabilitas Psikososial

    Memberi Kemanfaatan Bagi Disabilitas Psikososial

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    silent revolution

    Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia

    Alimat

    Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

    mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney

    Mahasiswa dan Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Soeharto

    Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto

    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Merayakan Hari Ayah

    Selayaknya Ibu, Merayakan Hari Ayah Pun Layak Kita Lakukan

    Perempuan Menjadi Pemimpin

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Pemimpin dan Hakim

    Perempuan menjadi Pemimpin

    Perempuan Menjadi Pemimpin Politik, Mengapa Tidak?

    Kosmetik Ramah Difabel

    Kosmetik Ramah Difabel Ternyata Masih Asing di Pasar Lokal

    Menyusui

    Menyusui: Hak Anak, Hak Ibu, atau Kewajiban Ayah?

    Soeharto

    Soeharto dan Situasi Epistemik Bangsa

    ar-radha‘ah

    Menafsir Ulang Ar-Radha‘ah

    Penyusuan Anak dalam al-Qur'an

    Penyusuan Anak dalam Al-Qur’an: Antara Hukum, Etika, dan Kasih Sayang

    Disabilitas Psikososial

    Memberi Kemanfaatan Bagi Disabilitas Psikososial

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

Di sinilah titik temunya dengan mubadalah. Uang panai’ yang kembali ke makna asalnya justru melindungi perempuan.

Ismi Rezki Amaliah Ismi Rezki Amaliah
21 Agustus 2025
in Publik
0
Uang Panai

Uang Panai

2.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Kok uang panai’ di Bugis mahal banget, sih? Emang perempuan di sana ‘dihargai’ segitu, ya?”

Mubadalah.id – Pertanyaan ini acapkali saya dapat dan terima tatkala merantau di tanah Jawa. Terutama pada saat mengetahui kalau saya berdarah Bugis. Bugis sama dengan panai, dan panai itu mahal. Keduanya saling melekat, apalagi belakangan kabar berita mengenai peristiwa mahalnya Panai sempat pernah diviralkan.

Mahalnya biaya uang Panai dengan angkanya yang fantastis seringkali ternilai sebagai ajang komodifikasi perempuan. Semakin seorang calon pengantin laki-laki menyediakan panai yang tinggi, maka ia dengan mudah mendapat perempuan bugis yang ia inginkan.

Kondisi ini rentan membuat stigma perempuan Bugis yang materialistik. Lebih jauh, pernikahan Bugis dengan panai-nya mendapat pelabelan sebagai bentuk komersialisasi atas perkawinan.

Pemahaman memadai bagi akar kesejarahan Panai di dalam peradaban Bugis pada satu sisi menjadi penting, namun bagaimana menginternalisasikan spirit mubadalah dalam tradisi Panai menjadi kebutuhan fondasional bagi ruang perjumpaan tradisi lokal dan keadilan gender.

 ***

Panai kita sebut dalam istilah Bugis dengan dui menre’ atau uang naik. Ia semacam pemberian persiapan lamaran calon pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dengan kategori dan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Karena telah berjalan secara turun-temurun, Panai menjadi ikatan kultural yang terinternalisasi secara kolektif bagi orang-orang Bugis.

Pada mulanya, Panai berkembang di abad XVII pada masa kerajaan Gowa-Tallo. Di era ini, penggunaan Panai secara terbatas di kalangan keluarga kerajaan dan bangsawan Bugis-Makassar. Tujuannya, sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan bagi keluarga kerajaan dan bangsawan di dalamnya.

Seiring masuknya penjajahan Belanda di Nusantara, pun yang terjadi di tanah Bugis, Panai mulai diadakan secara luas dengan tujuan perlindungan martabat perempuan Bugis agar tidak gampang menjadi alat kolonialisasi oleh pihak penjajah.

Tatkala masuk fase islamisasi di Bugis, Panai tetap mendapat kedudukan penting bagi tradisi Bugis. Terjadi proses akulturasi budaya pada tahap ini. Artinya, yang utama dan wajib tetaplah mahar, dan Panai dianggap sebagai pelengkap di dalamnya.

Sejarah Uang Panai

Dari perjalanan sejarahnya, Panai punya tujuan mendasar sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan dan keluarga di Bugis, namun belakangan terjadi pergeseran Panai yang semakin menjauhkan tradisi ini dari tujuan dasarnya.

Pergeseran itu berlangsung pada saat menentukan nominal Panai secara sepihak karena pertimbangan gengsi maupun status sosial –gelar kebangsaan, strata pendidikan maupun status pekerjaan. Di tengah perkembangan teknologi saat ini, kecenderungan orang semakin membutuhkan validasi, dan Panai berpotensi digunakan untuk alasan itu.

Film besutan Asri Sani & Halim Gani (Uang Panai, 2016), cukup terang menggambarkan realitas betapa penentuan nominal Uang Panai secara sepihak hanya akan berakhir mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak.

Selain itu, pergeseran juga terpengaruhi oleh sistem nilai Sirri’ yang berlangsung lama di dalam peradaban orang Bugis. Sirri’ mengacu pada konsep keberhargaan, martabat, rasa malu, yang diyakini oleh orang bugis, salah satunya melalui praktik pernikahan. Namun, pernikahan yang seperti apa dan bagaimana, inilah yang mengandung biasnya tersendiri.

Pada satu sisi, Sirri’ memang menjadi identitas budaya orang bugis, yang pada sisi lain, ia juga menjadi pemicu atas berlangsung konstruksi budaya yang mendomestikasi perempuan Bugis, baik dalam perannya sebagai individu dan komunitas di masyarakat.

Membaca Ulang Tradisi

Perspektif mubadalah—sebagaimana KH Faqihuddin Abdul Kodir sampaikan—mengajak kita membaca ulang tradisi dengan berpihak pada pihak yang rentan. Dalam isu gender, yang sering berada di posisi rentan adalah perempuan. Pembacaan Mubadalah tidak berhenti pada seruan “adil untuk semua,” tapi aktif membongkar praktik budaya yang melenceng dari tujuan maslahatnya, lalu mengembalikannya ke nilai kesalingan yang sejati.

Dalam konteks uang panai’, posisi berpihak itu jelas: perempuan kerap menjadi sasaran stigma. Mereka dicap matre, materialistik, bahkan dianggap “memanfaatkan” pernikahan untuk keuntungan keluarga.

Padahal, jika kita tarik ke akar ‘urf-nya, uang panai’ adalah simbol penghormatan. Ia hadir untuk menunjukkan keseriusan pihak laki-laki, membantu meringankan biaya resepsi keluarga perempuan, dan mengikat tali silaturahmi antar keluarga. Bukan untuk memperjualbelikan perempuan atau sekadar ajang gengsi.

Pada 2022, MUI Sulawesi Selatan mengeluarkan fatwa mengenai uang panai’ yang dibolehkan selama tidak memberatkan, tidak menjadi syarat sah nikah, dan tidak dijadikan permainan. Dalam bahasa kaidah ushul fiqh, Islam memberi ruang bagi adat ini selama tujuannya menjaga kehormatan dan mempererat hubungan sosial, bukan menekan salah satu pihak.

Titik Temu

Di sinilah titik temunya dengan mubadalah. Uang panai’ yang kembali ke makna asalnya justru melindungi perempuan. Ia memberi ruang negosiasi yang setara, memastikan kesepakatan terjadi dengan kerelaan kedua belah pihak, dan menjadi sarana penghormatan sosial. Laki-laki menunjukkan keseriusan dan komitmen, sementara perempuan menjaga kehormatan keluarganya tanpa memeras atau merendahkan pihak lain.

Untuk mengubah stigma negatif dan memulihkan makna uang panai’, kita bisa memulai dengan tiga prinsip pembacaan ulang. Pertama, kenali sejarah dan niat awalnya. Uang panai’ dulunya adalah bentuk partisipasi pihak laki-laki dalam hajatan keluarga perempuan. Ia lahir dari semangat gotong royong dan penghormatan, bukan transaksi.

Kedua, bedakan nilai dan penyimpangan. Yang layak kita kritik adalah praktik yang melampaui batas—permintaan berlebihan, gengsi yang memaksa, atau niat pamer—bukan adatnya. Nilai asli yang luhur harus terpisahkan dari perilaku yang menyimpang.

Ketiga, menggunakan tolok ukur kesalingan. Apakah tradisi ini memberi manfaat yang adil untuk semua pihak? Ada ruang untuk bernegosiasi tanpa tekanan? Apakah tujuan akhirnya maslahat bagi kedua belah pihak?

Dengan pembacaan mubadalah, uang panai’ bukan sekadar warisan budaya yang kita pertahankan, tetapi mekanisme sosial yang bisa memperkuat relasi kesalingan. Memperbaiki praktiknya jauh lebih bijak daripada terus meneruskan menstigmanya, karena di balik nominalnya tersimpan nilai penghormatan dan perlindungan yang jika kita jalankan dengan benar, selaras dengan prinsip keadilan Islam. []

Tags: adatMubadalahNusantaraperempuanpernikahanRelasiTradisiUang Panai
Ismi Rezki Amaliah

Ismi Rezki Amaliah

Ismi Rezki Amaliah adalah guru pesantren sekaligus penulis lepas dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ia aktif di dunia literasi, organisasi IPPNU, dan kajian keislaman. Selain itu ia juga alumni Ma’had Aly Kebon Jambu al-Islami, Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Minat utamanya pada isu pendidikan, budaya, dan gender dengan semangat menghadirkan perspektif mubadalah yang menekankan kesalingan dan keadilan.

Terkait Posts

Merayakan Hari Ayah
Keluarga

Selayaknya Ibu, Merayakan Hari Ayah Pun Layak Kita Lakukan

13 November 2025
Perempuan Menjadi Pemimpin
Publik

Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Pemimpin dan Hakim

13 November 2025
Perempuan menjadi Pemimpin
Publik

Perempuan Menjadi Pemimpin Politik, Mengapa Tidak?

13 November 2025
Itsbat Nikah
Keluarga

Tadarus Subuh: Kelindan Itsbat Nikah, Antara Kemaslahatan dan Kerentanan

11 November 2025
silent revolution
Aktual

Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia

11 November 2025
Alimat
Aktual

Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

10 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kosmetik Ramah Difabel

    Kosmetik Ramah Difabel Ternyata Masih Asing di Pasar Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Romo Mangun dan Spiritualitas Membumi: Pahlawan tak Bergelar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Menjadi Pemimpin Politik, Mengapa Tidak?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Pemimpin dan Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Soeharto dan Situasi Epistemik Bangsa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Selayaknya Ibu, Merayakan Hari Ayah Pun Layak Kita Lakukan
  • Rahmah El Yunusiyah: Pahlawan Perempuan, Pelopor Madrasah Diniyah Lil-Banat
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Pemimpin dan Hakim
  • Romo Mangun dan Spiritualitas Membumi: Pahlawan tak Bergelar
  • Perempuan Menjadi Pemimpin Politik, Mengapa Tidak?

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID