Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang metode interpretasi qira’ah mubadalah, maka interpretasi ini ditawarkan untuk membaca teks-teks sumber ajaran Islam mengenai relasi gender.
Tawaran ini bertujuan agar perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi subjek pembaca atas teks-teks Islam. Sehingga, di hadapan teks sumber, keduanya adalah setara sebagai orang yang diajak dan diberi pesan.
Dalam premis filosofis metode qira’ah mubadalah, teks sumber tidak merekomendasikan superioritas yang hierarkis antara para pembaca, di mana yang satu tidak boleh menggunakan teks untuk menguasai dan menghegemoni yang lain.
Dari sisi praksis interpretasi, metode tafsir qira’ah mubadalah ini berakar pada tradisi interpretasi klasik Islam mengenai pencarian dan penyesuaian makna antara yang muhkam dan mutasyabih, amm dan khash, muthlaq dan muqayyad, begitu pun yang qath, dan zhanny.
Dalam dualisme makna ini, para ulama berabad-abad mencari formulasi interpretasi yang lebih integral. Sehingga makna-makna yang terkandung dalam muhkam, amm, muthlaq, dan qath’i tidak menjadi hilang. Terutama saat dalam pernyataan-pernyataan yang mutasyabih, khash, muqayyad, dan zhanny.
Dalam upaya yang sama, qira’ah mubadalah ingin mencari formulasi agar teks-teks berbahasa laki-laki, pesan utamanya juga bisa mencakup subjek perempuan.
Begitu pun teks-teks berbahasa perempuan, pesan utamanya tetap bisa mencakup subjek laki-laki. Sebab, secara prinsip, keduanya adalah subjek yang setara di hadapan teks-teks tersebut.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.