Mubadalah.id – Nizar Qabbani, penyair Arab Kontemporer yang mendapat julukan ”Raja Penyair” ini karyanya banyak mewakili perasaan dan problematika perempuan Timur Tengah. Nizar Qabbani lahir di Damaskus, tepatnya di sebuah kawasan bernama Mundzinah Syahm pada tanggal 21 Maret 1923 dan wafat di London 30 April 1998. Awalnya ia adalah seorang diplomat, Ia sempat bertugas di Kairo, Ankara, Peking, London, dan Madrid lantas berhenti pada 1966 dan mendirikan penerbitan sendiri di Beirut.
Nizar Qabbani telah menjadi penulis yang produktif sepanjang hidupnya. Sebagian besar karya-karyanya bernuansa perempuan dan feminisme. Latar belakang yang mempengaruhi ia menjunjung tinggi hak-hak perempuan adalah ia telah menyaksikan sendiri bagaimana kakak kandungnya yang seorang perempuan bunuh diri sebab dijodohkan secara paksa. Peristiwa tersebut memantik empati seorang Nizar Qabbani.
Penyair berdarah Arab totok ini mengabdikan hidupnya untuk menulis beberapa karya yang membuat dunia Sastra Arab bangga kepadanya. Para aktivis perempuan sepakat jika beliau adalah tokoh feminis. Namun karya-karya tersebut dianggap sangat kontroversial, banyak pihak-pihak yang tidak setuju bahkan sampai menyerang Nizar. Salah satunya Syeikh Ali Musthafa al-Tanthawi. Beliau menyerang Nizar dan juga puisi-puisinya yang berbeda dari penulis-penulis pada masanya.
Salah satu kritikan Syekh Ali Musthofa al-Tanthawi terhadap Nizar yang dimuat dalam majalah Al-Risalah edisi 661 (1964).
“Di Damaskus terdapat satu buku kecil yang baru terbit, sampulnya elok, halus, dan buku itu berhiaskan pita layaknya pinggang-pinggang penari dan penyanyi semasa jajahan Prancis. Di dalamnya memuat kata-kata semacam puisi yang mengandung gambaran-gambaran tolol, busuk dan mengesankan kekafiran. Sebuah buku sonder imajinasi karena penulisnya berontak tumpul dan tak berpendidikan”. Tulis Tanthawi.
Puisi Nizar Qabbani
Memang puisi-puisi karya Nizar menggunakan bahasa ‘ammiyah (lokal), karena bukan tanpa alasan Nizar tidak menggunakan bahasa Arab fusha, penggunaan diksi yang terkesan ekstrem bertujuan untuk menimbulkan efek kejutan bagi masyarakat Timur Tengah terhadap realitas yang menyudutkan para perempuan.
Menurutnya, budaya yang menyebabkan kesengsaraan sudah tidak relevan lagi. Dengan bahasa yang terkesan vulgar inilah harapannya para pembaca mulai menyadari kekeliruan mereka dan kembali menghargai setiap privasi perempuan dengan bahasa yang banyak diketahui masyarakat di sana.
Di antara puisi-puisinya yang terkenal adalah Puisi ”Asyhadu An La Imra’ata Illa ‘Anti” yang merupakan puisi tentang perempuan. Perempuan dalam puisi ini tertuang berdasarkan pandangan penyair terhadap relasi suami istri terutama keistimewaan yang sang perempuan miliki.
Dalam puisi terebut Nizar Qabbani ingin mendeskripsikan sosok perempuan yang ada di sampingnya. Di mana ia selalu menemani di berbagai dinamika persoalan krusial di Timur Tengah pada masa penjajahan. Berikut adalah sebagian bait dari Asyhadu An La Imra’ata Illa Anti
Aku bersaksi tiada perempuan selain engkau
Yang melepaskan diriku dari
belenggu
Yang mengayomi tubuhku
yang berbicara denganku seperti berbicara dengan gitar
Peran Penting Perempuan
Pada bait ini sosok perempuan memiliki peran yang penting, karena sosok perempuan dapat melepaskan belenggu atau ikatan, dapat mengayomi ataupun melindungi, dan mampu berbicara atau bertukar gagasan. Ibarat gitar yang menjadi harmoni untuk melengkapi pembicaraan dengan pasangan.
Tidak hanya itu, ada banyak sekali karya yang ia hasilkan dari produktivitasnya itu. Seperti Republic of Love (membahas cinta dan sejarah wanita dalam budaya Arab). Arabians Love Poems (membahas puisi romantis), I Write the History of Women Like So (membahas sejarah wanita), dan sebagainya.
Anak-anak muda menyambut dengan positif karya-karya Nizar. Bagi mereka puisi-puisi tersebut menggemakan protes atas penderitaan yang mereka alami. Tujuannya agar perempuan mampu menyuarakan pendapat dan haknya yang terbelenggu oleh adat.
Membebaskan Melalui Puisi
Di Jazirah Arab, budaya patriarki ini sudah ada sejak zaman Arab Jahiliyah. Di mana perempuan tempatnya pada posisi yang kurang menguntungkan. Perempuan Arab harus menghadapi sebuah kondisi di mana kehadirannya tidak lebih baik daripada laki-laki.
Pada saat itu, patriarki yang menimbulkan ketidakadilan gender masih menjamur di sana yang relasinya digambarkan dengan istilah “suargo nunut, neroko katut” dan peranannya seperti istilah “konco wingking“. Masyarakat Timur Tengah mendistraksi perempuan demikian, sama seperti di Indonesia. Mereka menganut hegemoni patriarki. Di mana kekuasaan berada dalam tangan suami di segala peran.
Salah satu puisi yang sempat terkenal dan berubah menjadi lagu adalah “Asbaha Indi al-Ana Bunduqiyah” (Telah Ada di Sisiku Sepucuk Senapan) yang terbit di tahun 1968 dan pernah Ummi Kultsum sang diva legendaris Timur Tengah senandungkan.
Muhammad Abdul Wahab seorang musisi Timur Tengah yang terkenal di masa itu mengaransemen puisi tersebut menjadi sebuah lagu. Kemudian menyanyikan lagu tersebut dengan nuansa sendu. Namun di akhiri dengan nuansa penuh semangat bangsanya untuk terus melawan ketidakadilan.
Dengan demikian, Nizar ingin memberitahu masyarakat, bahwa puisi dapat dijadikan wasilah untuk membuka tabir yang telah tertutup dalam suatu fenomena dan memberikan solusi agar Timur Tengah lebih baik ke depannya dengan mengatakan
“Cinta di Arab seperti penjara, dan saya ingin membebaskannya. Saya ingin membebaskan tubuh, rasa, dan jiwa Arab menggunakan puisi,” ungkap Qabbani. []