Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan hadis, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan apabila dalam pernikahan terjadi permasalahan hingga membuat pasangan suami istri berujung pada perceraian, maka suami istri tersebut berhak memutus kontrak pernikahan yang telah mereka buat saat awal pernikahan.
Kebolehan suami dan istri memutuskan kontrak pernikahan itu merujuk pada salah satu hadis dari Shahih Bukhari. Isi hadis tersebut sebagai berikut:
Ibnu Abbas Ra meriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais datang mengunjungi Rasulullah Saw. Ia berkata, “Tidak ada yang aku kecam dari agama maupun moral Tsabit, tetapi aku tidak ingin ada kekafiran dalam keislamanku (dengan satu rumah bersama Tsabit).”
Rasulullah Saw bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya (yang diberikan sebagai maskawin)?”
“Ya, mau.”
“Terimalah kebun itu, dan ceraikan ia,” kata Nabi Muhammad Saw kepada Tsabit. (Shahih al-Bukhari).
Teks ini, menurut Faqihuddin Abdul Kodir, seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, memiliki semangat mengenai hak perempuan atas dirinya, bahwa pernikahan adalah kontrak sosial antara dua pihak, laki-laki calon suami dan perempuan calon istri. Keduanya, harus masuk dalam keadaan nyaman, rela, dan tanpa paksaan.
Begitupun, ketika dalam pernikahan itu mengalami ketidak nyamanan, tekanan, dan kekerasan, maka kedua belah pihak memiliki hak yang sama untuk memutuskan kontrak tersebut.
Jika laki-laki yang melakukannya disebut thalaq (cerai), jika perempuan melalui mekanisme khulu’ (cerai tebus).
Mekanisme
Mekanisme penghentian ini, menjadi berbeda, karena pada awal kontrak, laki-laki memberi mahar, sementara perempuan menerimanya.
Jadi, yang menerima harta awal pernikahan ini harus mengembalikan, jika ia berinisiatif untuk menghentikan pernikahan karena ketidakpuasan darinya terhadap pasangan. Itu sebagai kompensasi atas kerugian yang mungkin akibat dari perceraian ini.
Hal ini seperti dalam teks di atas, ketidakpuasan ini bersifat subjektif dan bukan karena perilaku buruk dari pihak laki-laki.
Jika akan terjadi akibat perilaku buruk, seperti kekerasan dalam rumah tangga, semestinya perempuan tidak wajib mengembalikan harta tersebut.
Perempuan menjadi korban yang seharusnya memperoleh dukungan psikis dan kompensasi materi atas apa yang ia alami. Apalagi, si istri tidak memiliki penghasilan karena pilihannya mengurus rumah tangga, dan suaminya memiliki harta melimpah. []