• Login
  • Register
Minggu, 11 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

“Yang Etik” di Balik Mubadalah

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
11/12/2019
in Publik
0
etik, Mubadalah

Ilustrasi: Pixabay

47
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah punya semangat etik yang bersumber dari ajaran-ajaran tasawuf. Demikian kalau saya tidak salah tangkap dari paparan yang disampaikan Kang Faqih Abdul Kodir, Selasa 12 Desember 2019, kemarin siang. Mubadalah meniscayakan adanya self-reflection (refleksi diri) dalam segala upaya pemaknaannya terhadap teks dan realitas.

Dalam praktiknya, sebagai sebuah tawaran etis, Mubadalah mendatangi orang-orang tidak dengan menggugat dan mendebat, bahkan menyalahkan pandangan yang berbeda. Tapi lebih pada dialog yang membangkitkan kesadaran dari dalam individu. `

Dalam semesta mubadalah, teks dilihat dalam tiga aspek, mabadi’, qawa’id, dan juz’i. Mabadi’ adalah teks yang mengandung nilai-nilai dasar Islam seperti yang disebutkan dalam maqashid syari’ah. Mabadi’ adalah prinsip utama kehidupan seperti kemaslahatan, keadilan, keamanan, kebaikan, kehormatan, dan sebagainya.

Qawa’id adalah teks yang mengandung nilai dasar Islam yang sudah berada pada bidang tertentu seperti dalam perdagangan dan sejenisnya, ada prinsip taraadhin (saling ridho), jujur, tidak menipu, dan sebagainya.

Sementara juz’i adalah teks tentang perilaku, perbuatan, atau sikap yang spesifik seperti hubungan seks suami istri, pemberian nafkah, kepemimpinan perempuan, dan sebagainya.

Baca Juga:

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Ketiga aspek teks ini berada pada posisi hierarkis sehingga dalam pemahaman mubadalah, teks yang bersifat juz’i tidak boleh bertentangan dengan yang qawa’id. Begitupun, yang qawa’id tidak boleh bertentangan dengan yang mabadi’.

Secara terbalik kita bisa mengatakan, yang mabadi’ memayungi (menjadi prinsip bagi) yang qawa’id, dan yang qawa’id memayungi yang juz’iyyat.

Dari sini kita tahu bahwa nilai-nilai kemanusiaan, atau sebutlah “Yang Etik” dalam metode mubadalah bukan hanya soal strategi menyampaikan gagasan tapi yang lebih penting adalah tentang yang mabadi’ dan mungkin yang qawa’id di atas.

Selanjutnya saya beranggapan bahwa yang mabadi’ (dengan asumsi inilah nilai yang tetap dan universal) harus dicari qawa’id bahkan juz’iyyatnya dalam kehidupan relasional yang lain, selain relasi perempuan-lelaki. Kita pun bisa meminjam praksis interpretasi mubadalah seperti melakukan proses tabdil terhadap teks-teks yang mafhum (implisit).

Mubadalah untuk Relasi Lainnya

Kerangka di atas tadi mungkin akan bermanfaat bagi kita untuk mencari teks-teks relasional lainnya yang di tengah kehidupan kita saat ini terjadi ketimpangan, diskriminasi. Agaknya Quran sudah memberikan kita petunjuk yang amat jelas tentang relasi yang potensial terjadi diskriminasi di dalamnya.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ …

“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujarat [49:13])

Pertama, ayat tersebut bicara tentang relasi eksistensial yang bersifat primer sebagai sebuah pemberiaan (penciptaan)- khalaqa, yakni jenis kelamin. Relasi inilah yang paling banyak disorot Quran dan dibahas dalam banyak tempat. Tapi Quran juga menjelaskan tentang relasi yang merupakan konstruksi (ja’ala) seperti adanya suku dan kabilah.

Kedua, kata “an-naas” memberikan pemahaman pada kita bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya selalu mengandung relasi. Karena setiap manusia diciptakan dalam “bentuk” yang berbeda-beda.

Ketiga, sebagai sebuah konstruksi, relasi manusia yang berpotensi berlangsung secara tidak setara (diskriminatif) pada akhirnya bisa sangat banyak. Untuk menyebut beberapa misalnya, relasi antar pemeluk agama dan keyakinan, mayoritas-minoritas dalam sebuah bangsa, bangsa penjajah-koloninya, negara maju-negara berkembang, pemilik modal-buruh, borjuis-proletar, dan lain sebagainya.

Keempat, segala relasi itu akan menjadi relasi yang membahagiakan, bukan relasi yang diskriminatif, jika didasari pada prinsip “saling mengenal” (ta’aarafuu).

Pada saat menyadari ayat ini mempunyai pesan yang sangat luar biasa, saya segera bertanya kepada KH Husein Muhammad, kenapa ayat ini menggunakan kata ‘arafa bukan ‘alama? Kemudian beliau menjelaskan bahwa ‘arafa bukan hanya “mengetahui” secara dangkal seperti kita mengenal orang lain dari namanya, jenis kelaminnya, alamatnya, agamanya, bangsanya, sukunya, rasnya, atau bahasanya, melainkan lebih pada memahami betul hakikat orang itu.

Dalam upaya untuk saling memahami itu, Islam mengajarkan tentang cinta dan kasih kepada sesama manusia. Bisa dikatakan, cinta adalah semacam tali yang menghubungkan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya, juga yang menghubungkan manusia dengan sumber Cinta.

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.

“Tidak beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.” (Musnad Ahmad No. 14083)

Islam, bagi seorang muslim, adalah agama kasih (rahmat) bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tadi siang, Kiai Husein menjelaskan tiga makna kata “rahmat.” Pertama, rahmat berarti riqqotul qolbi (merasakan apa yang dirasakan orang lain/empati); kedua, al-luthfu (lembut) baik perangai maupun cara bicaranya); ketiga, maghfiroh, memaafkan atas keluputan yang telah terjadi sebelumnya.

Ketiga makna rahmat tersebut sekaligus menjadi tawaran bagi kita untuk menjawab masalah-masalah diskriminasi yang terjadi di tengah kehidupan. Baik dalam relasi kehidupan umat beragama, kehidupan antar bangsa, antar negara, antar suku, antar kelas sosial-ekonomi, antar majikan-buruh, antar rakyat-penguasa, dan sebagainya. Meski tentu saja dibutuhkan lebih banyak pencermatan lanjutan dan kajian lebih mendalam.

Mungkin akan muncul lebih banyak lagi alternatif-alternatif yang bisa diusulkan berdasarkan pada waqi’i (realitas) partikular yang berbeda-beda. Dengan tetap bersumber pada mata air yang satu: tauhid. Bahwa hanya Allah yang patut disembah. Dialah yang berada pada posisi tertinggi. Oleh karena itu, yang selain-Nya, termasuk manusia memiliki relasi yang setara antar sesamanya. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dibandingkan yang lain.[]

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia
  • Menyusui adalah Pekerjaan Mulia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version