Mubadalah.id – Polemik pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut dengan RUU PKS) seolah tak berkesudahan, dan hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan. Walaupun sudah dilakukan berbagai jenis advokasi dan berbagai macam argumen telah dilontarkan, pemahaman RUU PKS secara keliru masih beredar dimana-mana. Apa argumen kenapa RUU PKS harus disahkan?
Semisal anggapan bahwa RUU ini akan melegalkan zina dan seks bebas, mendorong suburnya LGBT, bersumber dari nilai-nilai feminis radikal (tanpa memberikan makna feminis radikal yang memadai), lekat dengan nilai-nilai barat, dan lain sebagainya.
Tulisan ini akan mengemukakan argumen mendesaknya kebutuhan terhadap pengesahan RUU PKS, mulai dari sudut pandang filosofis, sosiologis, dan yuridis, sebagai dukungan agar RUU ini segera disahkan.
Pertama, secara filosofis setiap manusia memiliki hak alamiah (natural right) yang melekat. Mengutip pendapat sosiolog kenamaan John Locke, sejak dilahirkan ke alam dunia manusia telah memiliki kebebasan penuh dan sempurna, inilah yang kemudian berkembang dan disebut hak asasi manusia. Hak ini lambat laun memainkan perannya dalam perjalanan ide sistem hukum positif, yakni sebagai pijakan dasar etis dalam pemberlakuannya.
Dalam konteks Indonesia, hak alamiah warga negara sebagai manusia yang merdeka dan bebas dari penyiksaan dijamin melalui konstitusi UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kepada setiap orang atas “perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman….”.
Adapun pasal 28G ayat (2) UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Jika Indonesia berkomitmen terhadap penegakan hukum yang berlandaskan pada konstitusi, maka perlindungan kepada warga negara yang telah disepakati sebagai konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara, yang salah satunya perlindungan dari kekerasan seksual melalui pengesahan RUU PKS, menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kedua, secara sosiologis sebagian besar masyarakat tidak menganggap kekerasan seksual—yang lebih rentan menimpa perempuan dan anak—sebagai pelanggaran HAM. Mengapa? Dalam kultur Indonesia yang masih dominan patriarkhi, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak punya otonomi, karena suamilah sebagai kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik.
Seorang perempuan yang telah menikah serta merta dianggap sebagai milik suaminya, atau jika belum menikah milik ayah atau saudara laki-lakinya. Oleh karena itu kekerasan yang terjadi terhadap istri atau anak perempuan di rumah, seperti misalnya pemukulan, penyiksaan fisik/psikis/seksual, penelantaran, pemerkosaan dalam keluarga bahkan terhadap istri sendiri (marital rape) tidak dianggap sebagai pelanggaran. Oleh karena itu, angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun terus meningkat.
Faktor inilah yang kemudian sering menghambat korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Belum lagi, korban seringkali justru dianggap melanggar nilai-nilai moral. Korban kerap disalahkan karena dianggap membiarkan kekerasan yang dialaminya; ia dianggap tidak berupaya melawan pelaku, mudah dirayu, atau mudah diiming-imingi sesuatu.
Dalam hal korban akan melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya, ia dianggap sama saja membuka aib sendiri. Kebanyakan keluarga korban akan melarang karena ketakutan dipandang negatif dan dihina oleh masyarakat di kampungnya, dan ketika korban berani melaporkan kasusnya, beragam kesulitan kembali dirasakan mulai dari proses pelaporan di ke aparatur penegak hukum, sampai pada layanan kesehatan.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Rumah yang selama ini dianggap sebagai tempat paling aman justru menjadi tempat subur terjadinya kekerasan seksual. Pelaku kekerasan juga bisa siapa saja, bahkan orang terdekat.
Data yang dirilis Komnas Perempuan pada akhir 2017 menunjukkan dari 65 kasus yang dilaporkan, sebagian besar dilakukan oeh orang dekat korban seperti pacar, mantan pacar, suami, ayah, kakak, paman, kakek, dan sebagainya. Pelaku juga kadang mempunyai posisi strategis di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan guru.
Ketiga, secara yuridis Indonesia memang telah memiliki berbagai instrumen hukum yang menjamin hak asasi manusia diantaranya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dan ratifikasi ketentuan internasional lainnya.
Adapun pengaturan kekerasan seksual sudah dirumuskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Namun demikian, rumusan kekerasan seksual di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut belum komprehensif, bahkan masih parsial. Masih banyak celah yang mendorong terjadinya impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual.
Selengkapnya baca di sini.