Mubadalah.id – Dalam dua dekade terakhir, kajian ilmu sosial tentang anak muda masih didominasi oleh topik transisi, generasi baru, pasar kerja, dunia digital, konsumsi, dan budaya populer. Studi sosial keagamaan pun terlampau fokus pada kerentanan anak muda yang terlibat dalam gerakan ekstremis—terutama pasca 9/11.
Kendati begitu, dalam rumpun kajian peace & conflict resolution, para sarjana belakangan ini menaruh perhatian pada isu anak muda dan inisiatif perdamaian dalam skala lokal. Salah satunya adalah Helen Berents yang mewedarkan risetnya lewat buku “Young People and Everyday Peace: Exclusion, Insecurity and Peacebuilding in Colombia” (Routledge, 2018). Tulisan ini akan mengulas karya tersebut.
Awal Kemunculan
Gagasan “perdamaian sehari-hari” (everyday peace) di dalam buku itu menetas dari proses panjang dalam studi peacebuilding—yang kemudian tenar disebut “the local turn” (Roger Mac Ginty & Oliver P. Richmond, 2013). Ia terlahir sebagai respons kritis atas kecenderungan pendekatan riset perdamaian dan resolusi konflik yang terkesan elitis, dari atas ke bawah (top-down).
Kini fokusnya mencoba berimbang dengan menelisik hal-hal yang lebih membumi. Yakni upaya-upaya bottom-up yang melibatkan aktor-aktor lokal, pendekatan alternatif, suara-suara pinggiran (subaltern), dan berbasis peristiwa-peristiwa konkret di lapangan sesuai konteks kehidupan sehari-hari di masing-masing waktu dan tempat.
Lewat pendekatan etnografis yang telah tersesuaikan, Helen Berents mencoba menyajikan potret semacam itu dengan subjek spesifik: anak muda. Berents memandang bahwa anak muda memainkan peran vital dalam negosiasi kehidupan sehari-hari di komunitas mereka. Tapi jarang sekali tersorot dan dihargai. Terlebih di Kolombia (tepatnya di Los Altos de Cazucá, sub-urban dekat wilayah Bogota), sebuah area yang beberapa dekade mengalami konflik, kekerasan, dan ketidakamanan.
Sejumlah pertanyaan utamanya antara lain, bagaimana anak muda di sana membangun ketahanan (resilience) dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari mereka? Pengalaman kekerasan dan tantangan kompleks seperti apa yang mereka kenyam? Cara pandang dan narasi seperti apa yang generasi muda miliki mengenai perdamaian? Semua pertanyaan itu tersajikan secara terpadu dengan data narasi dan analisis.
Kenapa “Sehari-hari”?
Secara teoretis dan konseptual, “ruang keseharian” telah menjadi topik yang santer. Baik dalam lingkup sosiologi, antropologi, maupun studi hubungan internasional dan perdamaian. Ia terpicu oleh, salah satunya, kesumpekan tema-tema riset yang hanya meneliti suara mayor. Yakni, isu-isu besar dengan orang-orang besar juga, dan kegagalan banyak penelitian dalam memotret realitas dari hari ke hari (day-to-day/everyday) di kalangan orang-orang biasa (ordinary people).
Ini penting sebab dalam ruang keseharian-lah banyak interaksi sosial terbentuk, kultur bergulir, dan roda ekonomi politik berputar dan berdinamika. Dalam keseharian pula medan pertukaran gagasan, percampuran, dan gesekan antar-entitas terjadi. Beberapa akademikus yang ikut meramaikan tema keseharian ini, dalam konteks peacebuilding, antara lain Roger Mac Ginty, Oliver P. Richmond, Gearoid Millar, Siobhan McEvoy-Levy, SungYong Lee, dan tentu termasuk Helen Berents.
Berawal dari komitmen dirinya selaku peneliti yang juga punya semangat seorang feminis, Helen Berents ingin merekognisi suara-suara minor, pinggiran, tidak viral, dan mungkin tertindih keriuhan berita-berita besar seputar mereka yang berkuasa. Ia mengajak pembaca untuk berpikir secara berbeda mengenai perdamaian, dengan melampaui definisi ‘kedamaian liberal yang mandek’. Dan hal itu ia gali dari anak-anak muda di komunitas Cazucá selama dua kali kunjungan pada September-Desember 2010 dan 2016.
Yang Menubuh: Perdamaian dan Kekerasan
Setelah mengkritisi konsep perdamaian liberal, Berents menawarkan ruang konseptual pada perdamaian ala lokal dan lanjut memformulasi sebuah gagasan yang mengaitkannya dengan tubuh: “embodied-everyday-peace-amidst-violence”.
Ini bertumpu pada ide “the everyday” sebagai situs yang orang-orang di dalamnya terdampak konflik, ketidakamanan, mereka juga harus berurusan dengan pusparagam kesulitan dan tantangan yang akan datang dan terus ada dalam rutinitas mereka. Contoh dampak kekerasan tersebut dapat diamati pada kenaikan harga bahan pokok, kerentanan pangan, kurangnya air bersih, ruang aman untuk pendidikan, kesehatan, psikologis, dan konflik bersenjata.
Gagasan yang dinamainya dengan panjang itu diajukannya sebagai produk refleksi atas pengalaman anak muda dalam bernegosiasi dengan kekerasan yang lekat di lingkungannya. Kemudian mereka berhasil bertahan, sembari mengupayakan perdamaian sehari-hari lewat permainan, pekerjaan, menghadiri sekolah, dan kegiatan lainnya yang mungkin tampak rutin, berulang, dangkal, dan seolah tak berdampak.
Semua itu membentuk suatu resiliensi, sikap, cara pandang, dan narasi mereka tentang hidup—terutama mengenai perdamaian dan kekerasan—yang terpendar dari sorot mata, tangan, fisik, dan ketubuhan yang lainnya.
Mengingat konteks yang Helen teliti adalah Kolombia, dengan sejarah panjang kekerasan di dalamnya, tidak aneh apabila banyak generasi terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bab khusus “Half a Century of Struggle for Peace” ia menjabarkan sejarah ringkas kekerasan, aneka dampaknya, serta proses rekonsiliasi. Lalu, Perjanjian Damai 2016 yang diteken oleh Presiden Juan Manuel Santos. Dari serangkaian jejak hitam itu, gerakan perdamaian dan anak muda bermunculan. Mereka mulai menuntut hak atas keamanan di tempat mereka hidup dan tumbuh.
Contoh Kasus
Dalam kasus di Cazucá sendiri, wilayah ini tidaklah unik dari daerah lainnya di Kolombia. Beberapa area urban (disebut comuna) di Cazucá termasuk kategori termiskin di Kolombia. Kemiskinan dan perpecahan bisa tampak pada mata telanjang dengan melihat kurangnya aspal jalan, rumah gubuk, sampah berserak, malang-melintangnya kabel-kabel listrik, dan kurang perhatiannya akan area publik yang sehat. Belum juga menyangkut orang terlantar dan stigmatisasi.
Area seperti itulah yang menjadi tempat Sofia (nama samaran, usia 15 tahun), salah satu narasumbernya, hidup dan bersaksi, “Saya hidup dengan kakek-nenek. Saat saya berusia 9 tahun, ayahku dibunuh dan ibuku….saya gak tau. Tapi sebelum itu, kami terusir dari [sebuah tempat] dan datang ke sini karena kerabatku bisa bangun rumah di sini. Jadi aku sudah di sini selama lima tahun.” [hal. 92. | terjemah bebas penulis]
Beberapa anak muda sepertinya, terutama yang tinggal di area la loma (tepi bukit) di Cazucá juga kerap mengalami stigmatisasi. Karena pada masa lalunya di area itu sering terjadi kekerasan dan konfrontasi dengan polisi sejak urbanisasi digulirkan 1970-an. Anak muda lainnya, Felipe (16 tahun), berujar: “banyak orang mengira kalau Cazucá…[membuang napas dengan desah]…jika kamu datang ke sini, kamu akan dibunuh, kalau kamu tiba di Cazucá, mereka akan merampokmu atau menyerangmu, atau apalah… padahal kalau mereka beneran ke sini tentu mereka akan sadar kalau itu gak bener.” [hal. 108. | terjemah bebas penulis]
Menilik Peran Pemerintah
Kekecewaan dan pengalaman kekerasan semacam itu juga tampak dalam diri Maria (15 tahun). Ketika Helen menanyainya soal peran pemerintah, Maria sudah menjawab sekalipun belum selesai pertanyaannya:
“Ya, karena… hmm… Saya telah mendengar dan melihat banyak hal. Saya telah melihat bahwa pemerintah gak bantu orang-orang. Mereka bilang mereka akan bantu, tapi semua itu bohong. Pemerintah memberi polisi uang jutaan untuk membantu tapi ke mana uang itu? Menurutku, mereka simpan sendiri. Mereka membagi ke kelompok mereka sendiri ketika seharusnya itu mereka gunakan membantu orang-orang…tapi mereka malah gak melakukan apa-apa.” [hal. 126-127]
Dari uraian semacam itu, pengalaman kekerasan anak-anak muda di sana, rasa geram, kekecewaan, dan frustrasi, terakumulasi dan pada akhirnya membenihkan inisiatif perdamaian di kalangan mereka. Hal itu tumbuh dan terpendar pada ketahanan diri dan resistensi mereka. Yakni melalui berkomunitas, sekolah, organisasi, perayaan hari besar seperti Natal, dan diskusi di antara mereka. Di ruang-ruang seperti itulah mereka dapat saling bertukar keresahan, berefleksi, menabur optimisme, rencana perubahan gradual, dan bayangan akan masa depan. Seperti tampak dalam kalimat Camila Andrea (14 tahun):
“Menurutku Cazucá kekurangan banyak hal. Terkadang di sini di Cazucá itu kejam… [tapi] ia juga, terkadang, ada kebahagiaan. Seperti yang akan sebentar lagi tiba, Hari Natal, dan semuanya akan bahagia, semua orang akan berdansa…” [hal. 176]
Kesadaran Gender dalam Upaya Perdamaian
Anasir menarik dalam buku Berents lainnya adalah kemampuannya menangkap gejolak emosional para narasumber. Itu bukan semata kepakaran dan kepiawaian analitis yang ia butuhkan. Lebih dari itu, ia juga menuntut kepekaan batin akan penderitaan orang lain. Tidak aneh jika ia banyak mengutip sudut pandang yang emansipatoris dan lebih empatik dalam meneliti anak muda.
Selain itu, Helen Berents juga tidak luput menyoroti dimensi gender di dalam bukunya. Itu ia sandarkan pada fakta ketidakseimbangan kuasa di lapangan sosial. Terutama mengenai perempuan dan anak-anak. Ia mengutip Bina d’Costa, yang menilai bahwa ‘perempuan dan anak-anak tetap menjadi kelompok marginal secara sosial, politik, dan ekonomi, hanya karena gender dan usia mereka. Ironisnya, kedua golongan itu juga terpinggirkan dalam lingkup akademik, proses-proses perdamaian (peace-making) dan pembangunan negara’.
Berents ikut memperkaya diskusi akademik seputar kajian anak muda dan upaya perdamaian, serta kehidupan sehari-hari. Lewat bukunya ini, ia memberikan argumentasi bahwa upaya merekognisi peran anak muda perlu dipergencar karena selama ini mereka kerap kita pandang sebagai masalah dan dimasukkan ke dikotomi dua laci “pasif-nakal”.
Pendekatan riset yang lebih emansipatoris ia ajukan untuk memberi ruang anak muda sebagai agen yang kompeten dan berkontribusi. Terutama dari kalangan mereka yang terpinggirkan dan tinggal di area yang terdampak kekerasan. Aspek keseharian yang menubuh perlu tersoroti agar pemahaman kita tidak semata-mata dari cara kita memandang mereka, tetapi juga dari narasi yang anak muda artikulasikan sendiri.
Sebagai komentar kritis, uraian Helen Berents masih terkesan samar-samar dalam menjelaskan apa saja contoh konkret dari embodied everyday peace. Lalu, membuat pembaca akan sedikit kesulitan menangkap. Meski begitu, buku ini patuti mereka konsumsi, terutama oleh pembaca yang punya perhatian pada generasi muda dan isu perdamaian, serta kajian sosial-antropologi tentang keduanya. []