“…Mereka melihat orang Rimba dari sudut yang kurang tepat. Dan dengan rasa kasihan. Apa dasarnya? Orang Rimba disebut orang Kubu yang bodoh dan primitif. Menurut Saya mereka lebih punya rasa pengertian terhadap lingkungan dibanding kita dalam banyak hal. Orang Rimba lebih maju dibanding kita…”
Mubadalah.id – Nukilan percakapan dari film Sokola Rimba begitu apik, bahasa yang terucapkan pun memberikan cambukan bagi kita semua. Bahwa setiap manusia di muka bumi ini, tak boleh kita nilai dengan sebelah mata.
Walaupun sejauh mata memandang maka hanya sejauh itulah melihat kenyataan. Oleh karena itu, sering kali menyimpulkan apa pun dengan begitu cepat sesuai dengan penglihatan, padahal memiliki suatu batasan.
Sokola Rimba merupakan salah satu film yang menceritakan, ihwal biografi seorang perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat anak suku dalam di Indonesia, yang Riri Riza sutradarai. Film ini adalah kisah nyata dari seorang perempuan yang punya kegigihan, mimpi, dan harapan terhadap pendidikan anak suku dalam di Indonesia.
Butet Manurun, dialah aktor utama dari film Sokola Rimba; dan orang-orang Rimba adalah masyarakat suku dalam di film tersebut. Mereka tinggal di hulu sungai Makekal, hutan Bukit Duabelas wilayah Sumatra Tengah, khususnya Jambi.
Mengabdikan hidupnya di hutan belantara untuk mengajar baca, tulis, dan berhitung, yang punya tujuan membuat orang-orang Rimba tak terkelabui dan direkayasa oleh konstentasi politik perusahaan kelapa sawit yang merusak hutan.
Sang Guru bagi Orang Rimba
Film ini menceritakan gerbang kehidupan Butet Marunung sebagai guru. Ia mengambil lowongan kerja sebagai fasilitator bagi masyarakat suku dalam dari salah satu LSM yang bergerak di bidang konvservasi.
Sebagai lulusan Antropologi dari Universitas Padjadjaran, pekerjaan itu sungguh mengairahkan. Bagi dia pekerjaan yang sempurna apabila melibatkan otot, otak, dan hati. Hal tersebut tidak terlepas dari kegemaran bertualang ke alam bebas, sehingga baginya terjun ke lapangan adalah salah satu anugrah. Diterima kerja sebagai fasilitor, Butet langsung terjun ke hutan untuk bersua dengan orang Rimba.
Ia melakukan pendekatan dan penelitian kurang lebih 7 bulan, untuk benar-benar memahami karakter orang Rimba dan diterima oleh mereka. Walaupun selama 7 bulan Butet harus besabar hidup di hutan yang berdampingan dengan orang Rimba.
Di mana kadang kala serangga menggigitnya, dituduh berselingkuh dengan lelaki Rimba hingga keberadaannya menjadi ancaman bagi orang Rimba. Akan tetapi, bagi Butet itu hanya kerikil yang hendak menyamarkan tujuan awal Butet.
Ibu guru yang rendah hati itu, tetap berusaha untuk mendekati orang-orang Rimba. Yakni mencoba mengikuti segala aktivitas yang orang Rimba lakukan. Seperti memakai baju ala mereka, memakan makanan yang mereka makan, hingga berbahasa bahasa mereka. Baginya berkomonikasi dengan bahasa mereka adalah salah satu kunci tercapainya tujuan Butet.
Pendidikan yang Membebaskan
Kesabaran perempuan yang lahir pada 21 Febuari 1972 memberikan hasil yang menakjubkan, ia berhasil mendekati mereka. Pada akhirya, Butet dapat mengajar orang-orang Rimba. Ibu Guru Butet melakukan pengajaran ia sesuaikan dengan pola kehidupan orang Rimba. Baginya pendidikan itu membebaskan, jika tidak, artinya pendidikan tersebut adalah penjinakan atau industrialisasi.
Butet menggunakan metode pengajaran yang ia sesuaikan dengan pola hidup mereka, supaya materi pelajaran yang ia berikan kontekstual, hingga waktu belajar bisa menyesuaikan dengan rutinitas harian mereka.
Selain itu Butet membagi-bagikan alat tulis, berupa buku bergaris, pensil, dan pena untuk anak didiknya. Butet Manurung juga memberi pengajaran kepada anak didiknya dengan kreatif. Apabila tidak kebagian alat dapat ia ganti dengan ranting dan mencoret-coretkannya di atas tanah sebagai pengganti kertas.
Menurut perempuan berdarah Batak itu, membaca, menulis, serta berhitung adalah upaya membantu orang Rimba untuk sadar akan hak mereka. Selain itu dapat pula untuk menjaga hutan sebagai salah satu sumber kehidupan mereka; sebab selama ini, mereka hanya terbuai oleh orang luar yang ingin merampas hutan mereka dan dinikmati oleh segelintiran orang saja.
Belajar dari Orang Rimba
Tak hanya mengajar, tetapi Butet juga belajar dengan orang Rimba. Butet melihat bahwa orang Rimba juga lebih hebat nan cerdik dibandingkan orang luar pada umumnya. Mereka lihai memanjat pohon, berburu hewan, dan menjaga hutan.
Hutan yang mereka tempati, memberikan kehidupan baginya. Kebutuhan yang mereka ambil dari hutan tak sampai mengeksploitasi hutan tersebut. Seyogianya, mereka lebih paham dibandingkan kita. Mereka paham sesuatu yang harus mereka ambil dan tidak boleh diambil. Bahkan hal tersebut telah tertuang dalam aturan mereka. Apabila melanggar akan mendapatkan hukum yang sesuai dengan perbuatannya.
Bagi mereka, jika hutan rusak mereka tak dapat tinggal di sana. Segala kebutuhan mereka gantungkan di hutan tersebut. Dengan demikian, menjaga hutan adalah hal yang wajib untuk mereka. Akan tetapi, kita amat lincah untuk memberangus hutan dengan dalih pembangunan berkelanjutan. Padahal ada nyawa manusia yang hidupnya bergantung dengan hutan tersebut.
Gambaran realitas yang telah saya utarakan di atas, memberikan kesimpulan bahwa setiap manusia yang lahir di alam ini, memiliki keunggulan masing-masing. Dan kata bodoh hanyalah asumsi yang kokoh bersifat egosentris, bahwa pintar miliki orang yang mampu menguasai kurikulum pendidikan formal. Padahal pintar tatkala dia bebas melakukan sesuatu pada diri hingga mampu memberikan manfaat bagi orang di sekitarnya.
Namun naas, pendidikan di Indonesia tidak membekali seseorang menjadi diri sendiri. Malah mengubah diri mereka menyerupai orang lain, dan keunikan yang dimiliki tak pernah timbul ke permukaan.
Lebih parahnya, pendidikan Indonesia tidak memberikan pengajaran cakap untuk menyelesaikan masalah, serta dapat memanusikan manusia. Sebab metode pengajaran hanya berkompetisi bukan memperhalus hati dan mempertajam pikiran. Lantas, apakah itu yang kita namakan pendidikan yang adil dan berkamunisaan sebagaimana konstitusi tertulis?
Pendidikan Berkemanusiaan
Tutur perempuan dua anak itu, pendidikan seharusnya harus memberi manfaat buat kehidupan seseorang, mampu menjadikan aktualisasi pada diri. Dengan demikian, paham kebutuhan yang harus terpenuhi. Bukan malah sebaliknya, membuat seorang seperti terpenjara, dan terabaikan kebutuhan serta titah hidupnya.
Melihat kenyataan orang Rimba, Butet menyimpulkan bahwa setiap pendidikan mesti menyesuaikan dengan cara pandang orang-orang lokal. Bukan malah sebaliknya, menyamakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Itu tidaklah pendidikan berkemanusiaan, tapi liberalisme pendidikan. Proses kebudayaan serta national and character building terabaikan.
Situasi tersebut lah, yang membuat Butet Manurung menggagas berdirinya Sokola Rimba pada 2003. Sesuai namanya, Sokola Rimba tersebut menghadirkan pendidikan bagi orang-orang Rimba yang bertempat tinggal di hutan Bukit Duabelas Jambi waktu itu. 20 tahun telah berlalu, kini Sokola Rimba telah berubah nama menjadi Sokola Institute.
Setelah beralih nama, sekolah yang Butet Manurung gagas tersebut telah berhasil menjangkau sedikitnya 17 komunitas adat di seluruh Indonesia. Selain itu memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk dapat mengenyam pendidikan formal.
Mimpi perempuan yang memiliki nama lengkap Saur Marlina Manurung mulai tercapai. Ia mendambakan pendidikan Indonesia yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Walaupun masih tetap memperjuangkan hingga saat ini, perihal pendidikan kearifan lokal sebagai pendidikan kemanusian. []