Pertanyaan penting dalam isu Jilbab ini adalah mengapa perempuan perlu mengenakan Jilbab?
Ayat al-Qur’an tersebut sesungguhnya telah menyebutkannya secara eksplisit. Yakni
ذلك ادنى ان يعرفن
“hal itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali”,
dan dengan demikian
فلا يؤذين
“maka mereka tidak akan dilecehkan/ atau disakiti.”
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dikenali dari apa atau sebagai siapa? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikaji dari penjelasan atas latar belakang ayat ini diturunkan.
Ada sejumlah riwayat yang disampaikan para ahli tafsir mengenai latar belakang turunnya ayat ini. Satu di antaranya disampaikan oleh Ibnu Sa’d dalam bukunya al-Thabaqat dari Abu Malik. Katanya: “Para isteri Nabi SAW pada suatu malam keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu kaum munafiq menggoda dan mengganggu mereka. Mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada Nabi.
Sesudah Nabi menegur mereka, kaum munafiq itu mengatakan: ”kami kira mereka perempuan-perempuan budak.” Lalu turunlah ayat 59 al-Ahzab ini. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz III/518).
Ibnu Jarir at Thabari, maha guru ahli tafsir menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak. Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang memakai jilbab, sambil menghardik: ”Apakah kamu mau menyerupai perempuan merdeka, hai budak perempuan?” (Ibnu al Arabi, Ahkam al Qur-an,III/1587).
Dari informasi sabab nuzul ayat di atas sangatlah jelas bahwa Jilbab diperlukan hanya sebagai ciri pembeda antara perempuan merdeka dari perempuan budak, bukan pembeda antara perempuan muslimah dari perempuan non muslimah. Ciri tersebut diletakkan di atas kain kepala atau kerudungnya dan atau dengan menyelimuti tubuhnya sebagian.
Jika tidak demikian, maka pertanyaan penting kita adalah apakah sebelum Ayat Jilbab diturunkan, perempuan-perempuan Arabia saat itu telanjang kepala, tidak mengenakan penutup kepala (kerudung)?
Secara antropologis, perempuan-peremuan Arabia, muslim maupun non muslim, sebelum Islam sampai hari ini mengenakan penutup kepala. Bahkan bukan hanya perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Laki-laki juga memakai kerudung, yang disebut kafiyeh atau gutrah, dll. Ini adalah pakaian tradisi mereka. Pemakaian kerudung bagi perempuan dan laki-laki Arab adalah wajar dan sangat sesuai dengan kondisi geografis mereka yang umumnya panas dan berdebu pasir.
Ukuran Kesalehan Manusia
Paling tidak ada dua catatan yang mungkin perlu disampaikan dari uraian di atas. Pertama bahwa ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata hijab dan kata jilbab, bicara soal pembagian/pemisahan ruang sosial laki-laki dan peremuan dan tentang pakaian. Ini merupakan mekanisme dan etika sosial. Kedua ayat tersebut tidak menyebutkan sama sekali kata “Aurat”. Kata ini disebutkan dalam surah lain. Dan pembicaraan tentang batasan-batasan Aurat laki-laki dan perempuan terdapat pada tafsir surah Al-Nur, 30-31.
Saya kira perbincangan publik yang selalu heboh adalah pada soal batas-batas aurat ini. Kita mungkin perlu membaca dua ayat ini lebih dalam dan cermat.
Kedua, jika jilbab dengan pengertian di atas dimaksudkan sebagai identitas atau ciri seorang perempuan merdeka yang membedakannya dari seorang perempuan budak, sementara perbudakaan sudah dihapuskan, maka apakah jilbab masih diperlukan? Ini sekadar bertanya saja. Tidak usah dijawab juga tidak apa-apa.
Jilbab Tanda Kesalehan?
Nah, terlepas dari perdebatan yang demikian luas dan beragam pandangan mengenai penafsiran atas ayat jilbab di atas, pemakaian penutup kepala dan tubuh perempuan tersebut dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap perempuan dalam tradisi dan etika sosial Arabia saat itu.
Problemnya, belakangan ini persepsi umum memperlihatkan bahwa berjilbab atau berhijab menjadi ukuran perempuan yang baik-baik, salehah dan berakhlak karimah. Ini problem krusial. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan bahwa perempuan berjilbab/berhijab/berkerudung rapat adalah pasti seorang perempuan yang baik, saleh dan berakhlak mulia?
Demikian pula sebaliknya, apakah perempuan yang tidak berjilbab/berhijab/berkerudung rapat pasti perempuan yang berakhlak rendah, bukan perempuan saleh?
Realitas sosial memperlihatkan kepada kita bahwa banyak perempuan yang tak berjilbab/berkerudung ketat justeru lebih saleh dari perempuan yang berjilbab/berkerudung ketat. Bahkan pada masa lalu, selama berabad-abad, di negeri ini, ibu-ibu dan para isteri ulama besar hanya mengenakan kerudung dengan membiarkan sebagian rambut dan leher tetap terbuka?
Para suami mereka yang ulama itu tidak pula memasalahkannya. Tetapi tidak juga menolak kenyataan bahwa banyak pula perempuan yang berjilbab berakhlaq mulia dan salehah. Ini sesuatu yang relatif saja.
Saya kira menarik sekali pandangan Dr. Muhammad al-Habasy, direktur Pusat Kajian Islam Damaskus, Siria ini. Ia mengatakan:
“Seorang perempuan dapat memilih pakaiannya sendiri untuk berbagai keperluan dan keadaan. Akan tetapi ia bertanggung jawab atas pilihannya itu di hadapan masyarakatnya dan di hadapan Allah. Ia punya hak sosial dengan tetap menjaga kesopanan dan kehormatan dirinya. Akan tetapi mewajibkannya untuk semua perempuan dalam segala situasi atas nama agama, sebagaimana yang berkembang di sejumlah Negara Islam dewasa ini adalah tidak realistis dan menyalahi petunjuk Nabi dan keluwesan dan keluasan fiqh Islam”. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”, Dar al-Ahbab, Damaskus, Cet. V, 2001, hlm. 67-68).[]