Mubadalah.id – Dalam al-Qur’an, berbuat baik kepada orangtua adalah wajib bagi anak, laki-laki maupun perempuan.
Perintah ini seperti di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 36, QS. al-An’am (6): 151. QS. al-Isra’ (17): 23: dan QS. al-Ahqaf (461: 15).
Selain al-Qur’an, banyak sekali teks-teks Hadis yang mewajibkan seorang anak untuk berbuat baik kepada orangtua, melayani, dan merawat mereka ketika sakit.
Apalagi kepada orangtua yang serumah. Bahkan kepada sesama Muslim kewajiban menjenguk ketika sakit dan melayat ketika wafat, adalah kewajiban yang nyata dan terang benderang.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Kewajiban seorang Muslim kepada Muslim yang lain ada lima: menjawab salamnya, menjenguknya ketika sakit, mengantar jenazahnya (ketika wafat), memenuhi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin.” (Shahih al-Bukhari, no. 1251).
Dalam kajian matan, banyak kejanggalan dalam kisah di atas, Salah satunya, bagaimana seseorang yang tinggal di lantai atas memenuhi kebutuhannya tanpa turun ke lantai bawah.
Pada masa Nabi Saw., rumah-rumah terbuat dari tanah liat. Kebanyakan dari masyarakat, bahkan keluarga Nabi Saw. sendiri, buang hajat ke tanah lapang di luar rumah pada malam hari.
Bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidup, seperti makan, minum, memasak, dan buang hajat, tanpa ke lantai bawah terlebih dahulu?. Apakah dia turun ke bawah tetapi tidak menemui ayahnya, tidak menjenguk, dan tidak melayat?.
Atau dia berpuasa penuh demi perintah suami, sehingga tidak perlu buang hajat? Bagaimana juga ia menyuruh seseorang bertemu Nabi Saw. berkali-kali tanpa turun ke lantai bawah mencari orang yang bisa disuruh?
Norma Dasar
Dengan kejanggalan-kejanggalan ini, ditambah dengan pertentangannya dengan norma-norma dasar yang ditegaskan al-Qur’an maupun Hadis.
Kisah istri taat suami tidak mengunjungi ayah yang sedang sakit di atas harusnya gugur sebagai dasar rumusan ajaran Islam mengenai relasi suami istri. Apalagi secara sanad ia juga lemah.
Ketaatan istri kepada suami hanya bisa diterima jika terkait kebaikan-kebaikan rumah tangga, yang memperkuat hubungan suami istri.
Ketaatan ini juga harus bersifat resiprokal dengan merujuk pada lima pilar berumah tangga: menjaga pernikahan sebagai ikatan kokoh (mitsaqa ghalizha), berperilaku sebagai mitra satu sama lain (zawaj).
Lalu, saling berbua baik satu sama lain (mu’asyarah bi al-ma’ruf), saling bermusyawarah (tasyawur), dan saling rida (taradh). []