Mubadalah.id – “Jangan tanyakan apa yang telah bangsa berikan padamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan untuk bangsa.”
Sebuah quote yang sering jadi pemantik untuk membakar semangat anak muda khususnya calon aktivis mahasiswa. “kita adalah agen of change, kita adalah generasi perubahan, kita adalah pejuang, kita adalah, kita adalah dan kita adalah….” walaupun ujug-ujug tetap susah cari kerja. Ya namanya juga usaha langkah awal membentuk jati diri.
Dari quote pemantik ini, saya mencoba cocoklogi dengan realitas yang mengantarkan kita pada proses self love, dan pembentukan karakter pribadi. Sejak dalam pikiran karakter kita terkonstruksi untuk terus memberi.
Alih-alih menjadi nasionalis, Tapi makin ke sini kok generasi muda makin ke sana. Bukannya semakin cinta tanah air, malah jadi pribadi dengan karakter yang mudah frustasi soal hidup sampai tak punya semangat juang untuk bertahan hidup.
Quarter Life Krisis
Kalau sudah jenuh, tiba-tiba muncul pertanyaan “Memangnya apa sih yang sudah kamu berikan untuk dirimu.” Sebuah pertanyaan pembuka overthinking yang muncul tiba-tiba di kepala anak muda. Kalau sudah begini pertanyaan akan berlanjut dengan “apa makna hidup? Apa tujuan hidup? Kemana hidup ini akan kubawa?…”
Perkenalkan inilah fase quarter life krisis. Di mana ini menjadi fase krisis kepercayaan dan jati diri. Merasa rendah diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak ada progres dan perubahan, tidak tahu arah hidup. Intinya merasa tidak self love. Kok Aku gitu-gitu aja ya, ujungnya sudah pasti membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Kalau ini terus terjadi, lama-lama anak muda bisa depresi bahkan rentan kena gangguan psikologi
Pesatnya perkembangan laju dan arus informasi, mengantarkan kita pada kemudahan untuk mengakses dan bertransaksi informasi. Menurut beberapa sumber, Indonesia menjadi negara dengan peringkat 10 tertinggi penggunaan internet di dunia.
Dan 95.5 persen antaranya aktif mengakses platfrom sosial media. Sehingga tidak mengherankan mengapa kita dengan mudah dapat mengakses pencapaian orang-orang yang tak pernah lupa update story dan postingan. Lalu membandingkannya dengan pencapaian diri sendiri.
Kegiatan membandingkan proses dan pencapaian diri sendiri dengan orang lain sepertinya sudah menjadi ritual rutinan generasi yang baru beranjak dewasa. Konon katanya ini langkah yang paling efektif untuk mencari inspirasi dan mengambil pembelajaran.
Slogannya “kita belajar dari prosesnya orang sukses”. Kalau memang demikian kenapa generasi kita banyak yang frustasi bahkan sampai depresi hingga muncul istilah generasi strowberi
Generasi strawberry
“Generasi strawberry” kata-kata yang populer akhir-akhir ini, menggambarkan kondisi anak muda masa kini. Menurut Prof Rhenald Kasali dalam buku Strawberry Generation, generasi strawberry adalah generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreatifitas tinggi.
Tetapi yang menjadi masalah adalah generasi ini memiliki pribadi yang mudah menyerah, mudah sakit hati, lamban, egois, dan pesimis terhadap masa depan. Intinya generasi strowberi adalah generasi yang terlihat kuat, kokoh dari luar padahal lunak seperti strawberry sehingga rentan mengalami gangguan psikologi
kerentanan psikologi terhadap generasi strawberry tentu tidak serta merta terjadi hanya karena perkembangan teknologi. Tetapi yang paling mendasar adalah pola asuh dan budaya sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini kita terdidik untuk memenuhi ekspetasi sosial, menjadi sukses yang orang banyak definisikan, manusia bermanfaat versi masyarakat. Harus baik yang begini dan begitu, pintar yang harus bisa ini bisa itu, dan semua harapan yang terkonstruksi dalam masyarakat.
Tidak jarang orang tua juga ambil andil memotivasi anak dengan mantra membanding-bandingkan anaknya dengan anak tetangga. Mungkin mereka kira ini efektif untuk memacu adrenalin kompetisi menjalani hidup, biar jadi anak sukses versi mereka dan masyarakat.
Secara tidak sadar kita terdidik menjadi kompetitor yang harus mampu memenuhi ekspetasi dan tuntutan sosial. Kita terlatih untuk terus memberi tanpa pernah belajar menerima, berorientasi pada hasil yang harus terbaik. tuntutan sosial mendorong kita menjadi pribadi yang sulit menghargai proses “harus baik, harus sukses, harus pintar dan keharusan lainnya.”
Sementara kita tidak pernah belajar sampai batas mana keharusan itu harus terpenuhi. Kita tidak mendapatkan kesempatan untuk memaknai dan meredefinisikan kesuksesan maupun kebahagiaan. Semua harus sesuai dengan konstruksi sosial, kita harus menjadi apa yang diharapkan masyarakat sosial.
Sukses harus begini, bahagia harus begitu, harus jadi anak pintar, hebat, serba bisa dan sebagainya. kalau sudah begini lalu kapan waktunya berdialog untuk menerima dan mengenal diri sendiri? Di sinilah ruang kosong yang membuat kita luput mengamati diri sendiri.
Refleksi Kemerdekaan dengan mencintai diri sendiri
Dampaknya tidak main-main, kita akan menjadi pribadi yang tidak bisa menghargai diri sendiri. Merasa tidak pernah puas dan tidak menghargai proses. Kika kita biarkan akan menjadi pribadi yang tidak mencintai diri sendiri.
Mereka bisa menjadi pribadi yang ambisius dan kompetitif, banyak pencapaian tetapi tidak pernah merasa cukup. Tidak banyak dari kita yang sadar akan pentingnya self love, atau mencintai diri sendiri. Jika ini terus terabaikan maka generasi strawberry menjadi wabah yang memberi dampak psikologi.
Menurut data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), setidaknya ada sekitar 82,5 persen masyarakat pada tahun 2022 mengalami gangguan psikologi. Fenomena ini tentunya jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan data tahun 2020 yang mencapai 70,7 persen.
Namun berapa pun data yang tersaji, intinya semuanya tetap sama-sama tinggi dan berisiko sekali untuk keberlangsungan generasi muda. Untuk itu perlunya perhatian khusus terhadap generasi muda jangan sampai bonus demografi yang harusnya jadi potensi malah jadi petaka.
Lah terus apa hubungannya self love dengan kemerdekaan? Ya jelas berhubunganlah. Denotasi kemerdekaan sendiri adalah terbebas dari kesengsaraan, menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Kalau menurut singkatnya pemikiran saya, bagaimana anak muda bisa berdampak terhadap bangsa dan negara jika mereka belum selesai dengan dirinya.
Merdeka bukan hanya persoalan bangsa dan negara, tetapi juga bagaimana pribadi masyarakatnya. masyarakat dalam konteksnya generasi muda menjadi aset penerus pembangunan bangsa. Jika anak muda mampu menyelesaikan persoalan dalam dirinya, dengan mudah pula mereka mampu meningkatkan kapasitas dirinya.
Nah jika termaksimalkan bukankah ini bisa jadi sumbangsih untuk bangsa dan negara? Ya, kalau-kalau negara mampu memaksimalkan.
Di sini saya tegaskan kembali pentingnya makna self love. Yakni mencintai diri sendiri, merdeka dari insecurity agar tertebas dari belenggu konstruksi. Menjaga kesehatan mental, bertahan mencintai diri sendiri sama pentingnya dengan menjaga keutuhan NKRI dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Kalau konsep mencintai diri sendiri sudah ditemukan, maka dengan kesadaran mencintai tanah air akan muncul sebagai suatu keharusan. []