Mubadalah.id – “Presiden yang datang ke Kediri, maka akan lengser atau turun dari jabatannya”. Kira-kira begitu, bunyi mitos ramalan joyoboyo yang kita dengar dari masyarakat Kediri. Beberapa masyarakat setempat masih mempercayai akan terbuktinya mitos tesebut. Karena mitos ini sudah mengakar di masyarakat sana.
Salah satu media informasi, CNN Indonesia, mengatakan literatur yang berbicara mitos tersebut. Yaitu manuskrip kuno yang isinya menceritakan kejayaan Raja Kediri, Babad Khadiri karya Mas Ngabei Purbawidjaja.
Namun Purnawan Basundoro, salah seorang pengamat ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unversitas Airlangga (UNAIR) Surabaya memandang mitos tersebut belum tentu mengandung kebenaran. Sebab ia sendiri belum pernah menemukan kitab atau catatan sejarah yang membenarkan Kediri adalah Kota kutukan bagi penguasa.
Mitos di atas dalam kajian sejarah, termasuk bersifat post-factum. Artinya, setelah kejadian barulah kemudian orang-orang mencari referensi yang terdapat di masa lalu. Purnawan mengatakan, logika masyarakat kita memang seperti itu, setelah memiliki kepercayaan, kemudian mengamati dan apabila kejadian itu benar terjadi, maka orang tersebut jadi percaya.
Namun Purnawan tetap menghargai dan menghormati kultur Masyarakat jawa yang sangat teguh memegang kepercayaan, karena mereka juga memiliki alasan kuat hingga mempertahankan tradisinya. Menghormati adalah etika yang harus setiap insan miliki, kepada siapapun, tanpa memandang latar belakang maupun status sosial. Terlebih jika orang tersebut memiliki kedudukan tinggi di mata manusia.
Pada dasarnya semua agama dan kepercayaan mengajarkan untuk saling menghormati. Karena menghormati adalah salah satu bentuk nilai tertinggi yang manusia miliki. Visi utama Nabi Muhammad saw sendiri ialah agar umat manusia memiliki moral dan dapat saling menghormati satu sama lain.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan budaya, memiliki antusiasme tinggi dalam melestarikan kebudayaan lokal. Mereka sangat menghargai dan menghormati warisan budaya dari nenek moyang.
Upacara Satu Suro di Petilasan Prabu Sri Aji Joyoboyo
Setiap satu suro, atau dalam penanggalan bulan hijriyah disebut satu muharam, warga Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri rutin menggelar upacara ritual satu suro di Petilasan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Peserta tradisi itu tidak hanya dari warga sekitar kediri, banyak dari luar daerah kediri yang antusias dengan upacara ritual satu suro tersebut. Antusias yang besar dari masyarakat mencerminkan bagaimana tingginya reputasi sang raja pada saat itu. Salah satu yang kita ketahui adalah tetang ramalannya yaitu Jangka Joyoboyo.
sebelum memulai upacara, sesepuh desa tersebut memimpin doa bersama di Balai Desa Menang. Kemudian prosesi selanjutnya, ialah kirab budaya dengan berjalan menuju petilasan atau tempat moksa yang diistilahkan dengan Pamekasan Prabu Sri Aji Joyoboyo tanpa menggunakan alas kaki.
Para peserta upacara melakukan prosesi hening cipta di Pamekasan Prabu Sri Aji Joyoboyo, setelah itu prosesi munjuk atur ke loka moksa, untuk mengutarakan maksud dan tujuan kehadiran para peserta di hadapan petilasan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Kemudian mereka melanjutkan dengan prosesi tabur bunga, yang dilakukan dengan 16 remaja putri yang belum haid, sebagai rasa syukur dan tanda penghormatan atas kehadiran tamu agung dan para leluhur.
Acara selanjutnya ialah Caos Dahar di tiga tempat, yaitu loka moksa, loka busana dan loka mahkota. Kemudian prosesi peletakkan pusaka tongkat di loka moksa. Setalah itu pembacaan doa sebagai bentuk syukur atas terlaksananya upacara dan tahun baru satu suro. Acara selanjutnya yaitu menuju sendang Tirto kamandanu untuk melakukan prosesi upacara selanjutnya, yang kurang lebih sama seperti yang ada di petilasan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Simbol Etika dan Pendidikan
Dalam prosesi upacara satu suro di petilasan Raja Kediri ini, memiliki simbol-simbol yang sarat akan ajaran beretika. Ajaran-ajaran ini telah ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Kita dapat melihat dari pemberian tugas upacara yang hanya khusus untuk anak-anak dan para remaja.
Pada proses tabur bunga, pihak yang bertugas ialah khusus untuk anak-anak perempuan yang belum haid atau masih dalam keadaan suci. Makna yang terkandung di dalamnya ialah sebagai bentuk penghormatan terhadap raja atau orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Maka dari itu petugasnya adalah orang yang masih suci jiwa dan raganya.
Setelah proses doa di Balai Desa Menang, para peserta upacara berjalan menuju Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, setelah itu menuju Sendang Tirto Kamandanu. Pada perjalanan tersebut, peserta upacara tidak boleh menggunakan alas kaki. Dalam kacamata adab, melepas alas kaki merupakan simbol ketawadhuan dan penghormatan.
Petugas upacara dalam tradisi tersebut, ialah anak-anak dan remaja yang belum menikah. Aturan ini merupakan bagian dari pendidikan karakter, untuk mengenalkan adat dan kearifan lokal kepada generasi muda, yang harapannya dapat melanjutkan tradisi ini. Mereka memiliki motto budaya daerah adalah sumber budaya nasional. []