Mubadalah.id – Tak terasa sudah hampir sudah seminggu kita melewati dan merayakan euforia peringantan HUT kemerdekaan RI ke-78 dengan penuh suka cita.
Sebagaimana telah menjadi tradisi, berbagai wilayah di berbagai pulau-pulau nusantara dengan meramaikan kemerdekaan dengan menggelar kegiatan semarak tradisi dan budaya masyarakat. Semacam karnaval, upacara kemerdekaan, kirab budaya, perlombaan, dan kegiatan semarak lainnya.
Keberagaman Indonesia mewarnai masyarakat merayakan peringatan dengan tetap mengikuti keputusan dan kesepakatan pemerintah desa dan masyarakat.
Akan tetapi, selain suka cita menyambut, kita perlu melihat dan merefleksi sekian momentum kemerdekaan yang kita rayakan. Momen kemerdekaan yang diikuti ingar bingar perayaan kebudayaan tampaknya bergeser esensinya yang seakan hanya menyisakan huru hara kesenangan saja.
Fenomena yang Terjadi
Beberapa kali saat saya scroll beranda facebook, saya melihat keresahan salah satu teman dan respon komentar orang-orang yang prihatin merespon video perayaan agustusan tersebut.
Beberapa video itu menampilkan perayaan festival kebudayaan masyarakat dengan mengenakan pakaian adat nusantara. Permasalahannya adalah mereka mengenakan pakaian adat cekak dengan bergoyang yang kurang etis dan diiringi music DJ.
Selain itu ada fenomena penggunaan sound system yang tampaknya intoleran dirasakan. Dengungan sound system yang berlebihan merubah pola kehidupan masyarakat dan menimbulkan dampak negatif. Misalnya peserta didik melakukan bolos sekolah karena sound system yang diputar tidak mengenal waktu yakni malam hingga dini hari.
Terkadang tidak pula mempertimbangkan keberadaan orang tua di sekitar dan bayi yang masih sangat sensitif gendang telinganya. Bahkan penjoget yang memakai pakaian minim bergoyang dengan jogetan yang tidak seharusnya. Penampilan ini seolah menciderai pakaian adat yang mereka kenakan.
Barangkali masyarakat kita menganggap bahwa agenda tersebut bermaksud menyulut solidaritas sosial. Padahal terkadang tanpa kita sadari ada etika buruk, pemborosan, hingga pembodohan yang dampaknya akan meresahkan masa depan generasi anak muda.
Geli rasanya jika kita hanya melihat perayaan tersebut hanya sebagai momentum kebahagiaan menyambut kemerdekaan tetapi melupakan nilai-nilai baik yang semestinya dilakukan.
Festival karnaval dengan sound system keras tersebut bisa saja lebih mengajarkan dampak buruk seperti berfoya-foya, bersuka ria dengan kekonyolan dan kebodohan, atribut yang hedon, hingga hilangnya kepekaan sosial.
Oleh sebab itu, pada akhirnya mengakibatkan dampak buruk signifikan yang menjalar ke berbagai aspek. Di antaranya seperti praktik intoleransi, etika yang kurang baik, polusi udara, dan suara.
Pentingnya Refleksi Agustusan dari Sekedar Euforia Perayaan
Keanekaragaman menjadi kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya. Baik tradisi dan kebudayaan nusantara pasti mengisi dan mewarnai momentum acara besar masyarakat kita. Termasuk peringatan agustusan yang baru kita rayakan ini.
Namun, seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat menghadapi tantangan eksistensialisnya.
Tabroni dalam Relasi Kemanusiaan dalam Keberagaman mengungkapkan bahwa unsur globalisasi masuk tak terkendali merasuki kebudayaan nasional yang merupakan jelmaan dari kebudayaan lokal yang ada di setiap daerah dari sabang sampai Merauke.
Budaya karnawal dengan sound system awalnya bukan budaya nusantara tetapi berasal dari barat dengan gaya hedonismenya. Begitu juga dengan karnaval kebudayaan yang membawa baju adat dengan berjoget yang tak semestinya.
Mengenakan atribut adat dapat dianggap menghargai keberadaannya dan melestarikannya. Akan tetapi jika penggunaannya keliru maka lunturlah nilai-nilai adat nusantara yang melekat.
Kiranya pemangku adat bersama pemerintah daerah dapat melihat fenomena ini untuk nantinya merefleksi sekaligus evaluasi yang penting.
Sebab, jika hanya karena keseruan perayaan tanpa menimbang esensi dari kebudayaan, maka sangat disayangkan. Masyarakat juga akan menganggap bahwa model karnaval tersebut asalnya dari budaya kita.
Mempertahankan Esensi Nilai untuk Kebaikan Umat
Pentingnya refleksi ini seharusnya membuat kita semua semakin mengerti bahwa perkembangan dari tantangan zaman tidak menjadikan esensi kebudayaan itu luntur.
Generasi muda bangsa Indonesia harus memiliki rasa kebanggaan terhadap budaya nasional. Sehingga ada semangat dan kemauan mewarisi pengetahuan dan penjagaan atas tradisi serta budaya untuk tetap lestari.
Modernisasi dapat menjadi satu jalan untuk tetap melestarikan tanpa menciderai kebudayaan. Seperti ungkapan Nur Kholik Ridwan dalam esainya berjudul Gus Dur Tentang Tradisi dan Modernitas bahwa setiap tradisi pasti berhadapan dengan tantangan pengembangan.
Sebagaimana pula Gus Dur juga menekankan pentingnya dinamisasi dalam tradisi. Supaya tradisi dan budaya terus hidup, dan pada saat yang sama dapat menjadi alat untuk menggerakkan perubahan dan meresponnya.
Maka dari itu, setidaknya perayaan festival atapun karnaval yang berpadu dengan serba-serbi modern seyogyanya tetap menjaga nilai-nilai kemurnian tradisi.
Selain itu, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengeksplorasi momentum dengan memperhatikan etika. Pernak-pernik pakaian adat, segala peranti, serta penampilan harus memperhatikan unsur-unsur kesopanan dan kepantasan, serta hal-hal penting yang menyangkut tradisi dan budayanya.
Begitu juga perkara sound system penting memperhatikan dan mempertimbangkan kepekaan sekitar. Agar nilai-nilai (ma’ruf) dan toleransi melingkupi segala kebudayaan kita.
Nilai-nilai kebaikan inilah yang nantinya menghantarkan pada ta’ashur bil ma’ruf (saling memperlakukan sesama secara baik) dalam prinsip-prinsip mubadalah. Baik laki-laki maupun perempuan dapat bekerja sama untuk dapat menggelar momentum kebudayaan dengan meluhurkan nilai dan etika yang baik. []