Mubadalah.id – Siapa yang tidak mengenal sosok Ibn Arabi? Seorang sufi besar yang bergelar Syaikh al-Akbar dan Muhyid al-Din ini tidak kalah tenar dengan Imam Ghazali. Bahkan Muhammad al-Fayyadl dalam penelitiannya menyebut pemikiran Ibn Arabi mampu melampaui sekat-sekat ideologis, baik di sunni maupun syiah.
Sampai-sampai ia menyebutnya sebagai orang yang mampu menandingi dominasi pemikiran Ghazali, yang hanya memiliki mempengaruhi di kalangan sunni. (Mohammad Fayyad: 2012)
Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang penyair agung yang lihai merangkai kata-kata dahsyat berupa puisi. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya yang sarat akan ekspresi rasa cintanya pada Sang Pemilik Cinta, khususnya dalam Tarjuman al-asywaq.
Menurut catatan C. Brockelmann bahwa karya Ibn Arabi tidak kurang dari 239 karya; Osman Yahia juga menyebut terdapat 846 judul dan menyimpulkan di antaranya hanya 700 yang asli, dan dari yang asli itu hanya 400 yang masih ada; A.A. Affifi dalam “Memorandum by Ibn ‘Arabi of his Own Works” juga menyebutkan bahwa karya Ibn Arabi mencapai 289 judul.
Beberapa lainnya menyebut lebih dari 350 karya buku dan risalah. Betapa pun jumlah angka yang muncul kian berbeda, produktifitasnya jika seumpama dibandingkan manusia sekarang akan sulit menemukan tandingannya.
Ibn Arabi membahas hampir semua pokok permasalahan dengan sangat cemerlang dan gagasan-gagasannya pun begitu memukau. Mulai dari ontologi-metafisikanya, epistemologi hingga aksiloginya senada dengan kandungan Alquran dan Hadits sebagai sumber pengetahuan dan kebenarannya, tidak pernah sekalipun menegasikan keduanya.
Buku yang paling penting dan tersohor adalah Kitab Fusush al-Hikam dan Kitab Futuhat al-Makkiyah fi Ma’rifat al-Asrar al-Malakiyyah wa al-Mulkiyyah, selanjutnya lebih dikenal dengan Futuhat al-Makkiyah. Hingga kini pun kajian kedua kitab ini masih banyak dilakukan oleh para akademisi yang tertarik dengan gagasan-gagasan Ibn Arabi. Seolah samudera gagasan Ibn Arabi bak mata air yang tidak pernah kering dan selalu menemukan relevansi dan signifikasinya dengan kehidupan kita saat ini.
Wahdat al-Wujud
“Wahdat al-Wujud” begitulah gagasan masyhurnya. Seperti halnya ahli metafisika lainnya Ibn Arabi pun mempertanyakan yang ada. Ibn Arabi bertanya tentang wujud, apa yang dimaksud dengan wujud? Apa hakikat dari wujud? Apa seseorang benar-benar dapat mengerti perihal wujud itu sendiri?
Dan pada puncaknya ia berkesimpulan bahwa yang wujud adalah realitas ketuhanan, yang dalam hal ini adalah Allah. Baginya wujud yang hakiki dan sejati Allah itu sendiri. Tidak ada wujud selain wujud-Nya, dengan kata lain, segala sesuatu yang selain Allah, alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bukan wujud. Lanjut Ibnu Arabi menyatakan dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah:
“فهو الوجود كله، و فقده ما هو له”
Maka Dia lah yang “wujud” seutuhnya, dan ketiadaan “wujud” tidak ada bagi-Nya.
Meski begitu, Ibn Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menunjukkan kepada sesuatu yang selain-Nya tapi dalam pengertian yang metaforis atau majaz. Agar tetap konsisten mempertahankan wujud yang sejati yakni, tetaplah Allah dan wujud itu hanya milikNya.
Sementara wujud alam fenomenal beserta segala sesuatu yang beraneka ragamnya ini adalah manifestasi (tajalli) dari diri-Nya. Terjadinya tajalli Tuhan pada alam karena dasar cinta untuk dikenal dan manusia melihat diriNya melalui alam. Dengan demikian Alam bagi Ibn Arabi adalah cermin dari Allah (wujud).
Secara singkat dapat kita pahami bahwa alam dan seisinya memang wujud dari cerminan (tajalli) Allah, termasuk pada manusia, pun merupakan tajalli-Nya. Kesemuanya adalah cerminan-Nya. Dengan kata lain, semua yang aneka, berasal dari Yang Esa.
Mengenal Etika Sufi
Gonjang-ganjing ihwal etika terus saja bergulir meski pembahasannya telah ada sejak manusia mewacanakan agenda hidupnya. Socrates, Plato, dan Aristoteles selaku senior para filosof pun telah mempertanyakan problem kehidupan yang juga mengarah pada etika.
Jika kita melihat klasifikasi etika termutakhir dalam dunia Islam, maka akan menemukan empat tipe. Sebagaimana klasifikasi yang Majid Fakhry lakukan; pertama, moralitas skriptural; kedua, etika teologis, ketiga, etika filosofis; dan keempat, etika religius.
Etika sufi ini sebenarnya secara tidak langsung merupakan sub kecil dari pembagian etika religius. Namun mengapa menjadi tipe etika yang berdiri sendiri adalah untuk membedakan dengan tipe etika lainnya.
Sebab, menurut Dr. Mukhlisin Sa’ad dalam bukunya menjelaskan bahwa etika sufi berakar dari pengalaman ruhaniyah dan konsepsi keagamaan para sufi hingga menyebut bahwa asumsi yang lahir dari ajaran kaum sufi sedikit banyak memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral sehingga memiki gaya, corak dan tipologinya tersendiri, dan itu berbeda dengan keempatnya. (Mukhlisin Sa’ad, 2019: hal. 42)
Selanjutnya, puncak dari etika jenis ini adalah pencarian Tuhan. Kemudian muncul varian pencarian untuk menapaki tangga-tangga menuju Tuhan, seperti halnya ittihad, hulul, wahdat al-wujud dan lainnya. Yang tersebut di akhir “wahdat al-wujud” inilah merupakan palung gagasan Ibn Arabi yang menjadi dasar pijakan dari setiap gagasannya.
Ibn Arabi sendiri memang tidak menuliskan buku mengenai etika secara khusus. Tidak seperti Ghazali dengan Mizan al-A’mal dan Ihya Ulumiddin-nya atau Ibn Miskawaih dengan Tahdzibul al-Akhlaq-nya.
Meski demikian, jejak pemikiran etika Ibn Arabi terekam dalam beberapa karya utamanya Futuhat al-Makkiyyah, Fushul al-Hikam, dan karya lainnya yang berupa risalah pendek yang bertajuk al-Anwar fima Yumnah Sahib al-Khalwat min Asrar dan Kunh Ma La Budd li al-Murid Minhu (Mukhlisin Saad: 2019, Hal, 69).
Pro Kontra Wahdat al-Wujud
Sebagaimana kita bahas di muka, yang tersohor dari Ibn Arabi adalah gagasan-gagasannya berupa konsep wahdat al-wujud yang menjadi basis setiap lini pemikirannya. Ada yang menganggap bahwa corak tasawufnya bersifat unitarian, di mana konsep ini memandang makhluk identik dengan khalik, cenderung eksesif dan mengabaikan hukum-hukum keagamaan, beberapa lainnya menganggap antinomian yang tidak mengindahkan realitas.
Bahkan pemikirannya cukup memanas hingga menjadi perdebatan pemikiran (ghazwat al-fikri) dalam tradisi keilmuan Islam. Alhasil beberapa lainnya menghukumi Ibn Arabi dengan sebutan kafir, mulhid dll. Meski beberapa lainnya kerap mendukung dan membelanya sebagai gagasan yang ciamik nan brilian. Bahkan di antaranya mengutarakan bahwa wahdat al-wujud ini merupakan ekspresi paling tinggi tentang tauhid menurut pendekatan kaum sufi.
Betapapun demikian, Mukhlisin Sa’ad berkesimpulan dari tuduhan demi tuduhan miring yang tersemat pada Ibn Arabi sebagai corak tasawuf yang antinomian adalah hal yang mengada-ada dan tidak berdasar. (lihat, hal: 271) Sebab kesemua gagasan Ibn Arabi tidak sedikit pun menegasikan prinsip keaqidahan dan syariah. Ia menjadikan tertera Alquran dan sunnah sebagai sumber pengetahuan dan kebenarannya.
Hal ini juga tampak bagaimana Ibn Arabi mendefinisikan pengertian tasawuf sebagaimana tertuang dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah (2: 267 & 128) menurutnya berakhlak dengan akhlak Allah adalah tasawuf. Bagaimanapun jalan terjal yang ditempuh melalui tasawuf tiada lain hanya untuk bertaqarrub pada Allah swt.
Terlepas dari kontroversinya, gagasan wahdat al-wujud Ibn Arabi inilah menjadi cikal-bakal gagasannya yang mewujud dalam kerangka etika sufi, kemudian menemukan beberapa relevansi dengan problematika moral saat ini. (Bersambung)