Mubadalah.id – Saat melihat keragaman yang ada di Indonesia. Etika sufi Ibn Arabi dapat menjelma dalam bentuk etika kerukunan untuk melanggengkan kehidupan bersama secara harmoni.
Selain memiliki keragaman suku, bahasa, dan budaya. Indonesia juga memiliki agama yang beragam, ada enam yang negara akui secara formal. Hanya saja banyak juga keyakinan-keyakinan lokal lain yang tumbuh subur di saentero Indonesia ini.
Tidak sedikit yang berpolemik lantaran perbedaan yang dimiliki. Kadang bersitegang karena perbedaan ras dan etnis yang berebut superioritas, terlebih isu-isu sensitif menyangkut agama. Isu agama mayoritas minoritas masih terus bergema dan kerap terjadi gesekan. Entah itu berupa pembubaran akitivitas peribadatan hingga penolakan pendirian tempat ibadah.
Bahkan atas nama agama, umatnya rela melakukan tindakan-tindakan anarkis dengan dalih membela Tuhannya. Misalnya nih agama Buddha yang disebut-sebut mengidealkan keseimbangan kosmis juga turut terlibat, Kristen yang menjunjung tinggi cinta kasih juga sama, begitu pula Islam yang mengidealkan keadilan. Semuanya pernah mengalami peristiwa berdarah-darah. Bahkan agama samawi (monoteis) mengukirkan tinta sejarah sebagai agama yang paling berdarah-darah ketimbang agama-agama non-monoteis.
Memang benar kehidupan yang damai dan tentram bukanlah kehidupan yang tanpa konflik. Tapi bagaimana manajemen konflik itu dikelola sebaik mungkin. Nah dari ragam perbedaan itu pula, etika sufi Ibn Arabi dapat menjadi media alternatif untuk meredam ketegangan yang ada melalui konsep inti gagasannya, Wahdat al-Wujud.
Wahdat al-wujud yang menjadi poros pemikirannya bertitik pijak pada pandangan “segala yang ada adalah lokus penampakan (majla) dari Allah”. Dengan kata lain, paradigma ini menitiktekankan pada aspek kesepahaman (kalimatun sawa’) dan kesamaan (musawah) dalam kehidupan bersama. Di mana segala yang ada dipandang berasal dari Allah dan akan kembali padaNya.
Puncak dari etika sufi ini adalah melahirkan pemahaman akan pentingnya kemanusiaan yang adiluhung dan kesadaran bahwa semua manusia berasal dan akan kembali pada-Nya.
Semua Adalah Saudara
Senada dengan itu, Alquran juga menyinggung ihwal semua keragaman yang ada adalah niscaya sekaligus kehendakNya.
Mari cek QS. Al-Hujarat: 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…”
Allah saja menghendaki manusia yang beraneka dengan ragam rupa budayanya dan tidak pernah memaksa dalam beragama, (silahkan lihat Al-Baqarah: 256). Andai kata Dia mau menjadikan seluruh manusia beriman, tentu bukan perkara yang sulit bagiNya.
Sekali lagi saya tekankan bahwa keragaman adalah kehendak-Nya. Baik itu yang berkulit hitam atau putih, dari suku Madura, Jawa, atau Sunda, yang memeluk Islam atau agama lainnya adalah kehendak-Nya dan status kita adalah sama-sama sebagai mahlukNya.
Terkadang dari ragam perbedaan ini, kemudian muncul keegoisan yang melahirkan rasa lebih superior atas yang lain. Berkulit hitam diinferiorkan seolah yang berkulit putih lebih superior, saling mencela antar ras satu dengan yang lain. Dalam hal agamapun kerap lahir keegoisan yang merasa paling benar atas agama lain. Merasa paling salih yang paling berhak masuk surga, sementara yang lain tidak. Sungguh betapa merasa lebih baik itu cobaan yang paling berat.
Bahkan yang lebih parah lagi, memicu pertikaian bahkan perpecahan yang saling pukul. Hal ini justru akan mengacaukan tatanan kehidupan bersama yang majemuk. Memang perbedaan adalah hal niscaya, tapi bukan berarti kita bebas mencela, sebab sejatinya kita semua sama.
Terdapat ungkapan menarik dari Ali ibn Abi Thalib: “Ada dua jenis Manusia: saudara mu dalam iman dan saudara mu dalam penciptaan (kemanusiaan).”
Berbuat baik untuk yang lain tanpa melihat latar belakang ras, suku, dan agama adalah perbuatan yang berjalan seiring dengan ajaran agama dan etos kemanusiaan. Justru merasa paling benar hingga menyalahi yang lain dengan memvonisnya pantas di neraka hingga berbuat yang tidak-tidak. Malah seperti itu yang berseberangan dengan syariat. Seolah-olah yang mengatainya telah bergelimang kesalihan iman dan telah memiliki garansi masuk surga.
Saling memahami dan berbuat baik satu sama lain itu seirama dengan syariat dan prinsip universal kemanusiaan, atau kita menyebutnya dengan istilah “mu’asyarah bi al-ma’ruf”. Setidaknya yang perlu kita garisbawahi adalah menyadari bahwa kita sama-sama manusia yang memiliki hak yang sama, ingin dimengerti, dan dicinta kasih sayangi.
Pengejawantahan Wahdat al-Wujud
Salah satu keunikan Ibn Arabi adalah gagasan demi gagasannya yang begitu koheren dan konsisten, yakni tetap berpangkal dari wahdat al-wujud-nya. Berpegang teguh pada kesatuan yang beragam bahwa “segala sesuatu berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan”. Pandangan ontologis Ibn Arabi ini untuk memberikan pemahaman bahwa keragaman yang ada adalah tangkai-tangkai yang beragam dari akar yang satu.
Dengan adanya keragaman itu, Ia ingin menyiratkan sesuatu yang mesti terus kita gali. Menciptakan mahluk-Nya yang beragam berarti memiliki tujuan dan maksud tertentu. Tiada lain adalah untuk menyingkapkan diri agar mereka mengenalNya melalui segala yang ada. Ini pun sesuai dengan hadits qudsi berikut:
“كنت كنزا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق فبي عرفونى”
Konsep wahdat al-wujud berupaya memberi jawaban ihwal keragaman sebagai lokus penampakan dari Yang Esa. Hal ini memberikan penegasan kuat kepada kita untuk bersifat inklusif. Dan memberikan penekanan akan perlunya harmoni antar sesama, menyokong tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesalingpahaman (kalimatun sawa’), kesetaraan (musawah), dan toleransi (tasamuh).
Justru dari keragaman agama itulah sebagai bukti bahwa rahmatNya lebih mendahului murkaNya dan anugerahNya yang tidak terbatas tersedia bagi manusia yang membutuhkan petunjuk. Keragaman agama menurut Ibn Arabi sebagai akibat dari adanya kausalitas di dalam alam.
Ketika semua umat beragama tidak lagi meributkan soal siapa yang pantas di neraka dan surgaNya. Tidak lagi mempersoalkan siapa yang paling benar dan berpijak pada titik temu sebagaimana tadi. Maka kehidupan harmonis akan terjalin, sikap saling menghargai perbedaan akan tumbuh, sikap toleransi dan saling bekerja sama untuk membangun kemaslahatan bersama akan turut membiak.
Hal semacam ini kalau dalam perspektif termasuk level cinta teratas, dia menyebutnya sebagai Agape (cinta ilahiah). Dengan kata lain, tumbuh kasih sayang bukan lagi karena kalkulasi lagi, bukan karena ini dan itu. Akan tetapi kesemuanya bermuara pada dalih ” aku menyayangi mu lantaran ada ruh Tuhan yang bersemayam dalam dirimu.
Dengan begitu, etika sufi berupaya menjadikan perbedaan agama tidak lagi menjadi soal. Kesemua akan sampai pada “Segalanya berasal dariNya dan kembali pada-Nya.” Wallahu A’lamu bi al-Shawab. []