Mubadalah.id – Di Indonesia, kita mengenal sejumlah perempuan ulama. Beberapa di antaranya ialah Rahmah el-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang.
Nama perempuan ulama ini begitu populer, bukan hanya di negaranya, Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Ia memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo.
Rahmah belajar di Diniyah School, sekolah milik kakak sulungnya, sebuah sekolah agama yang menggunakan sistem koedukasi. Siswa laki-laki dan perempuan berada dalam ruang kelas yang sama. Saat itu, masih sangat sedikit perempuan yang belajar di sekolah.
Ia merasa gelisah melihat perempuan di daerahnya belum mendapatkan pendidikan yang sama seperti laki-laki, terutama pendidikan agama. Padahal, menurutnya, Islam tidak pernah membedakan perempuan dan laki-laki untuk menuntut ilmu.
Rahmah sadar benar bahwa hanya dengan pendidikanlah, ia bisa memajukan kaumnya, dan bisa mengeluarkan kaumnya dari kebodohan serta keterbelakangan.
Ia menyampaikan kata-kata yang sangat mengesankan, “Saya harus mulai sekarang. Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Ya, saya harus mulai, meski saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya.”
Kata “pengorbanan”, boleh jadi bermakna resistensi atau stigmatisasi dari komunitasnya. Ini terkait dengan cara pandang (perspektif ) patriarkis yang masih sangat kuat di dalam masyarakat. Apalagi, perspektif bias gender itu mendapat legitimasi dari pandangan keagamaan.
Nyai Khairiyah Hasyim
Nyai Khairiyah Hasyim adalah perempuan ulama Indonesia. Beliau merupakan putri kedua pendiri NU dan guru para ulama Indonesia, Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur.
Ia lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1906. Sejak kecil, Nyai Khairiyah dididik ayahnya mengaji al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman dasar.
Pada usia 13 tahun, ia menikah dengan santri KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga Pesantren Maskumambang, Gresik. Pada 1921, KH. Maksum Ali kemudian membuka Pesantren Seblak.
Selanjutnya, pada 1933, KH. Maksum Ali wafat. Kepemimpinan pesantren beralih ke Ibu Nyai Khairiyah. Ini berlangsung hingga 1938. Ia kemudian menikah lagi dengan Kiai Muhaimin.
Nyai Khairiyah dikenal perempuan cerdas dan rajin. Tidak ada orang meragukan kadar intelektualitasnya. Selain memperoleh ilmu keislaman dari ayahnya, ia juga belajar kepada paman-pamannya yang merupakan para ulama besar.
Suami pertamanya, Kiai Ma’shum Ali adalah pengarang kitab Amtsilah at-Tashrifiyah, buku babon ilmu sharaf. Nyai Khairiyah aktif mengaji kepada mereka dan kemudian menguasai sejumlah kitab kuning.
Kemudian, bersama suaminya, Kiai Muhaimin, Nyai Khairiyah berangkat haji, lalu tinggal bermukim di kota suci itu selama lebih dari 10 tahun. Ada yang mengatakan sampai 20 tahun.
Di Makkah, ia belajar lagi kepada para ulama, antara lain Syekh Yasin al-Padani, seorang ahli hadits terkemuka, kelahiran Padang, Sumatera Barat. Ia kemudian mendirikan Madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan.
Setelah kembali ke tanah air, ia aktif dalam dunia pendidikan, mengasuh para santri di pesantren, dan terlibat aktif dalam Bahtsul Masail, suatu forum kajian ilmiah ala pesantren dan Nahdlatul Ulama. []