• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Emang Boleh, Ingin Anak Jadi Religius tanpa Pendidikan Inklusif?

Toleransi adalah kunci untuk menjaga kesalehan agama tanpa mengorbankan inklusivitas

Fatwa Amalia Fatwa Amalia
18/10/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Pendidikan Inklusif

Pendidikan Inklusif

2.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebuah survei dari King’s College London menyatakan bahwa “Orang tua Indonesia Ingin Anak Paham Agama, Tapi Kurang Peduli Toleransi dan Menghormati Satu Sama Lain.” Para responden ditanya hal-hal apa saja yang paling penting diajarkan kepada anak-anak di rumah?

Sebanyak 75 persen responden menyatakan bahwa agama penting diajarkan untuk anak-anak. Namun hanya 45 persen yang menganggap bahwa toleransi dan pendidikan inklusif itu penting.

Toleransi adalah sikap mental atau perilaku yang mencerminkan kemampuan seseorang atau kelompok untuk menerima, menghormati, dan mengakui perbedaan-perbedaan dalam keyakinan, budaya, nilai-nilai, atau pandangan orang lain.

Toleransi memiliki level yang tipis, sebatas menghargai perbedaan, kalau kata Mbak Iim Fahima Jachja. Saya sepakat dengan Mbak Iim. Toleransi memang menjadi dasar pendidikan religius anak, tapi tidak cukup hanya dengan itu untuk mendidik anak menjadi religius dan memangkas penyebab terjadinya bullying yang mengudara saat ini.

Yang dibutuhkan dalam parenting agama agar anak menjadi religius sekaligus menanggulangi penyebab kasus bullying bukan hanya toleransi, namun juga keikut sertaan, inklusivitas atau pendidikan inklusif

Baca Juga:

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

Seseorang bisa kita sebut inklusif ketika memahami perbedaan sebagai fitrah, mau belajar dari sudut pandang berbeda, dan mampu mencari kesamaan yang universal demi tujuan lebih besar.

Inklusif hadir untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada orang yang memiliki perbedaan, sehingga tidak sampai memiliki perasaan terpinggirkan.

Lawan dari inklusif adalah eksklusif. Membatasi, menutup diri, memandang buruk perbedaan. Jika pada level paling tipis saja gagal, apalagi mengejar lingkungan yang inklusif?

Orang tua dan pendidik kerap mendidik anak-anak agar menjadi individu yang kuat dalam nilai-nilai agama. Namun seringkali lupa bahwa inklusivitas adalah bagian dari beragama.

Apakah Pendidikan Agama Kita Masih Ekslusif?

Kalau masih ingat, ada berita viral tentang guru Sekolah Dasar Negeri yang melakukan tindak diskriminasi kepada salah satu siswinya karena pemaksaan pemakaian jilbab. Guru juga tidak mempedulikan agama yang dianut oleh siswanya.

Kasus pembullyan juga kerap terjadi pada siswa yang menganut agama minoritas. Bahkan pada siswa penyandang disabilitas.

Tidak hanya itu, satu bulan yang lalu saya mendapat aduan bahwa teman kuliah teman saya, tidak mendapatkan nilai agama yang baik hanya karena dia beragama minoritas. Jangankan nilai, akses soal pendidikan agamanya saja dia tidak dapatkan.

Melihat fenomena di atas, kita perlu mempertanyakan kembali apakah pendidikan agama kita masih eksklusif? Apakah masyarakat kita belum siap dan mampu untuk mengakui dan menghormati keragaman keyakinan agama?

Agaknya terlalu sering program pendidikan agama cenderung memprioritaskan satu agama atau pandangan agama tertentu tanpa memberikan wawasan yang seimbang tentang berbagai keyakinan agama lainnya.

Tidak adanya fasilitas dialog antar kepercayaan merupakan masalah lain dalam pendidikan agama yang eksklusif. Padahal dialog antar pemeluk agama berbeda adalah cara penting untuk mengatasi prasangka dan mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai keyakinan agama.

Selain itu, kebijakan sekolah yang tidak inklusif juga menjadi alasan mengapa anak-anak tidak mengenal inklusifitas. Sekolah kerap mengikuti kurikulum pendidikan agama yang mengabaikan keragaman agama atau tidak memberikan ruang bagi siswa yang memiliki keyakinan agama berbeda.

Jadi, apakah pendidikan agama kita masih eksklusif?

Inklusivitas Bagian dari Beragama

Kebijakan ketat dalam pendidikan agama seringkali meninggalkan inklusivitas. Orang tua  dan guru lebih fokus mengajarkan ibadah-ibadah yang sesuai ajaran agama mereka. Namun jarang, bahkan tabu untuk memberikan pemahaman tentang keberagaman agama, dan keyakinan lainnya.

Responden orang tua yang sangat ingin anak-anak mereka menjadi agamis mungkin cenderung sulit menerima perbedaan dalam keyakinan agama karena kebijakan agama yang sangat ketat. Hal ini tentu bisa membuat anak-anak merasa bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah keyakinan orang tua mereka.

Padahal, tetidakmampuan orang tua dalam menerima perbedaan ini dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak untuk menjadi inklusif dalam hubungan mereka dengan orang lain.

Religiusitas adalah jalan spiritual yang membentuk dasar bagi banyak manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan keyakinan, praktik keagamaan, dan hubungan dengan Sang Khaliq. Inklusivitas adalah aspek yang esensial dalam beragama.

Mempraktikkan Toleransi

Salah satu ciri khas utama dari inklusivitas dalam beragama adalah penerimaan terhadap keragaman individu dan keyakinan beragama. Ketika seseorang menganut religiusitas inklusif, mereka mengakui bahwa ada keragaman individu dan keyakinan agama yang berbeda di bumi ini.

Tidak hanya menerima perbedaan, tetapi juga menghormati dan merangkul yang berbeda. Inklusivitas mendukung gagasan bahwa berbagai keyakinan adalah bagian dari warisan kemanusiaan yang harus dihargai.

Religiusitas inklusif sering mencakup misi sosial yang meluas. Ini berarti bahwa individu dan kelompok yang menganut pandangan ini bersedia untuk bekerja sama dengan semua orang. Terlepas dari latar belakang agama mereka, dalam usaha membantu orang yang membutuhkan.

Kita juga perlu mengajarkan pendidikan agama yang gencar dalam toleransi dan cinta kasih terhadap sesama. Memberi contoh anak-anak untuk menghormati hak orang lain, merangkul yang berbeda dan lemah, juga memahami perbedaan adalah fitrah. Ini penting untuk memperlakukan orang lain secara adil.

Toleransi adalah kunci untuk menjaga kesalehan agama tanpa mengorbankan inklusivitas. Orang tua, guru dan lingkungan perlu jadi contoh dalam praktek toleransi terhadap keragaman agama, kepercayaan, suku, budaya, fisik, dan keragaman lainnya.

Siapapun kita, kita perlu menunjukkan kepada anak-anak bahwa perbedaan adalah hal yang alami dan bahwa menghormati orang lain adalah nilai yang sangat penting dalam agama mereka sendiri. Kita bisa menjadi religius dengan pendidikan yang inklusif. []

 

 

Tags: Hak anakkeberagamanpendidikanPendidikan Inklusiftoleransi
Fatwa Amalia

Fatwa Amalia

Fatwa Amalia, pengajar juga perempuan seniman asal Gresik Jawa Timur. Karya-karyanya banyak dituangkan dalam komik dan ilustrasi digital dengan fokus isu-isu perempuan dan anak @komikperempuan. Aktif di sosial media instagram: @fatwaamalia_r. Mencintai buku dan anak-anak seperti mencintai Ibu.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • KDRT

    3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID