Mubadalah.id– Tafsir yang adil itu kriterianya apa sih, salingers? Selama ini kita memahami ajaran agama lewat tafsir-tafsir yang disuguhkan oleh para ulama dan pemikir keagamaan, mulai dari yang klasik hingga kontemporer.
Namun, apakah kita menyadari bahwa sebagian dari kita seringkali menelan mentah-mentah tafsir agama tanpa melihat konteks penafsiran yang mungkin sudah berbeda jauh dengan masa kita. Sehingga, ada kalanya sebuah pemahaman memang relevan pada masa tertentu, tapi tidak sesuai dengan masa selanjutnya.
Sebagai contoh kasus nusyuz dalam surah an-Nisa ayat 34. Dalam potongan ayat tersebut, al-Qur’an menggunakan kata وَاضْرِبُوْهُنَّ yang seringkali dipahami dengan makna memukul. Makna ini tentu sudah tidak relevan dengan zaman, expired knowledge. Pemukulan sebagai solusi penyelesaian problem rumah tangga bertentangan dengan hak asasi manusia.
Al-Qur’an dan Visi Rahmatan Lil ‘Alamin
Al-Qur’an turun pada masyarakat yang budaya patriarkhinya sangat keras. Perempuan mengalami banyak diskriminasi dan ketidakadilan yang terpampang nyata dalam realitas kehidupan sehari-hari. Adapun laki-laki mempunyai banyak keistimewaan dan hak untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Relasi yang ada saat itu adalah dominasi patriarkhi.
Al-Qur’an membawa visi Rahmatan lil Alamin, rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga bagi perempuan. Secara perlahan al-Qur’an menekankan prinsip keadilan dan kemanusiaan pada audience pertamanya tersebut. Al-Qur’an menghapus sistem poligami tak terbatas dan menekankan ajaran monogami. Al-Qur’an juga meniadakan sistem perempuan sebagai barang warisan. Perempuan adalah subyek yang juga berhak menerima warisan.
Al-Qur’an menekankan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama subyek kehidupan yang mengemban amanah sebagai khalifah fil ardh. Keduanya berkewajiban untuk menebarkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan di bumi ini.
Salah satu upaya untuk mengimplemantasikan prinsip rahmatan lil alamin adalah dengan mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang adil gender dan menghadirkan narasi tafsir kegamaan yang ramah gender.
Tafsir Adil vis Tafsir Zalim I; Antara Pihak Kuat dan Pihak Lemah
Pihak kuat yang saya maksud di sini adalah mereka yang umumnya mempunyai kuasa atas pihak lemah, seperti penguasa atas rakyat, orang tua atas anak, dan suami atas istri.
Nur Rofiah bil Uzm dalam ngaji KGI menjelaskan bahwa sebuah tafsir dikatakan adil jika;
Pertama, menjadi anugerah bagi semua pihak di setiap relasi, baik laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, muda maupun tua. Hal ini sesuai dengan prinsip rahmatan lil alamin. Jika sebuah tafsir menjadi anugerah hanya bagi salah satu pihak, dan menjadi musibah bagi pihak yang lain, maka tafsir seperti itu bisa masuk pada kategori tafsir zalim.
Misalnya, Qs. an-Nisa ayat 1 tentang penciptaan perempuan pertama. Kata “نَفْس” menjadi titik tekan pembahasan. Sebagian mufassir merujuk kata tersebut kepada “Adam”, dan sebagian yang lain memaknai kata tersebut sebagai “jenis”. Kedua tafsir ini mempunyai konsekuensi pemahaman terhadap relasi laki-laki dan perempuan.
Makna yang pertama terkesan mengakui bahwa Hawa berasal dari laki-laki, yakni Adam. Pemahaman ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang istimewa dan perempuan sebagai makhluk kedua (relasi patriarkhi). Tafsir seperti ini tentu saja merugikan perempuan.
Adapun makna kedua menekankan bahwa tidak ada perbedaan unsur penciptaan laki-laki dan perempuan. Keduanya berasal dari jenis yang sama. Maka, posisi keduanya sebagai makhluk adalah sama. Tidak boleh ada yang merasa lebih unggul atau istimewa daripada yang lain.
Kedua, mendorong semua pihak untuk berakhlak mulia, terutama pihak kuat kepada pihak lemah. Jika sebuah tafsir hanya mendorong pihak lemah untuk berakhlak mulia kepada yang kuat, maka bisa dikategorikan tafsir zalim.
Perintah muasyarah bil ma’ruf dalam Qs. an-Nisa ayat 19 berlaku bagi kedua pihak. Suami dan istri berkewajiban untuk sama-sama bergaul secara ma’ruf dengan pasangan.
Maka akan masuk kategori zalim jika suami menuntut istri untuk bersikap lembut, sigap melayani kebutuhan lahir batin, menjaga perasaan suami, dan lain sebagainya, tanpa mengimbanginya dengan perbuatan yang sama.
Tafsir Adil vis Tafsir Zalim II
Ketiga, mendorong semua pihak untuk taat kepada Allah dan pada nilai kebaikan bersama. Sebaliknya, jika ada tafsir yang melegitimasi pihak lemah untuk taat mutlak kepada pihak yang kuat, maka bisa masuk pada kategori tafsir zalim.
Hadis tentang laknat malaikat pada perempuan yang menolak melayani kebutuhan seksual suami misalnya, tidak boleh dipahami secara literal saja. Karena pemahaman yang terbentuk bisa bias dan memposisikan perempuan sebagai pihak lemah yang harus selalu taat pada suami.
Baik suami maupun istri wajib mematuhi komitmen rumah tangga dan taat menjalankan perintah Allah. Tidak boleh hukumnya menekankan pentingnya ketaatan mutlak seorang istri pada suami.
Keempat, mendorong pihak yang kuat untuk memberdayakan pihak yang lemah. Bukan sebaliknya, mendorong dan bahkan menormalkan pihak kuat melakukan kezaliman pada pihak yang lemah.
Selama ini, titik tekan pemahaman tentang haid dalam Qs. al-Baqarah ayat 222 lebih pada larangan berhubungan badan dengan istri yang haid karena darah yang keluar adalah penyakit. Yang dituju adalah kebutuhan seksual laki-laki. Titik.
Tafsir seperti ini tidak mempertimbangkan pengalaman biologis perempuan. Bahwa perempuan yang menstruasi itu seringkali menghadapi rasa nyeri dan sakit yang luar biasa. Maka, harus ada inisiatif dari laki-laki untuk berkomunikasi dengan istrinya untuk saling membantu mengurus rumah tangga.
Nah, gimana nih pendapat salingers tentang kriteria tafsir adil di atas? []