Mubadalah.id – Belum lama ini, tepatnya pada 9 September 2023, BBC New Indonesia melansir sebuah berita terkait kasus kekerasan seksual yang kembali terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Semarang, Jawa Tengah.
Dalam laporannya, kasus kekerasan seksual ini dilakukan oleh Muh Anwar seorang pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi yang memperkosa enam santriwatinya.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Semarang ini, bagi saya hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren.
Misalnya, pada awal tahun 2023, setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur.
Bahkan pada November 2022, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada Moch Subchi Atsal Tsani (MSAT) alias Bechi, anak kiai ternama di Jombang yang melakukan pemerkosaan kepada 15 santriwatinya.
Dalam laporan Komnas Perempuan yang dilansir dari Kompas.com menyebutkan bahwa per 27 oktober 2021 ada sekitar 51 aduan kasus kekerasan seksual.
Dari 51 aduan kekerasan seksual itu, pesantren menduduki urutan kedua dengan presentasi 19%, setelah kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kampus dengan presentasi 27%.
Selalu Bermunculan
Rentetan demi rentetan kasus kekerasan seksual yang di pondok pesantren seperti tidak ada hentinya. Selalu ada kasus baru yang bermunculan dari beberapa pondok pesantren.
Artinya, hingga saat ini, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama masih belum aman dari para predator kekerasan seksual.
Namun, ada salah satu hal yang perlu saya tegaskan di sini, bahwa pelaku hanyalah oknum bejat yang memanfaatkan posisinya di pesantren. Oknum ini yang memanfaatkan relasi kuasanya untuk melakukan perbuatan bejat kepada para santrinya.
Semua yang dilakukan oleh oknum bejat, baik yang mengaku anak kiai, pendiri pesantren, atau pengurus, bahkan ustad adalah bukan orang pesantren. Karena sesungguhnya pesantren itu, bagi saya, itu merupakan tempat yang mulia, tempat yang didirikan oleh para leluhur kita untuk belajar ilmu agama. Bukan tempat yang menjadi sarang kekerasan seksual.
Sehingga sangat tidak mungkin tempat yang mulia untuk belajar ilmu agama ini justru menjadi sarang terjadinya kekerasan seksual. Di pesantren, para santri diajarkan untuk melakukan kebaikan, mencegah semua keburukan, dan banyak praktik baik yang para santri pelajari.
Jadi sangat tidak mungkin, kemuliaan dan ajaran untuk melakukan kebaikan di pesantren justru melakukan tindak kekerasan seksual.
Oleh sebab itu, kalaupun ada pesantren yang menjadi sarang kekerasan seksual itu hanya dilakukan oleh para oknum bejat yang ada di pesantren untuk memanfaatkan relasi kuasanya kepada para santri. Mereka adalah orang yang tidak paham arti sebuah pesantren yang mulia ini.
Dua Cara Mencegah Kekerasan Seksual di Pesantren
Oleh karena itu, dengan maraknya praktik kekerasan seksual yang terjadi di lingkup pesantren. Saya sebagai santri, penting untuk menyuarakan dan menghentikan agar kasus kekerasan seksual ini bisa untuk diminimalisir.
Dalam hal ini, setidaknya ada 2 cara yang dapat kita lakukan agar tidak terjadi kembali para santri yang menjadi korban kekerasan seksual di pesantren. Kedua cara tersebut sebagai berikut:
Pertama, orang tua harus selektif dalam memilih pesantren. Penting bagi orang tua yang akan memondokkan anak-anaknya di pesantren untuk mencari tahu terlebih dahulu informasi terkait pesantren yang akan dituju.
Informasi itu, seperti siapa pemimpinya, apakah ajaranya sesuai atau tidak. Serta bagaimana masyarakat memandang pesantren tersebut sebagai tempat yang direkomendasikan atau tidak.
Karena banyak sekali kasus kekerasan di pesantren yang di latar belakangi atas penyelewengan kuasa yang dilakukan oleh oknum kiai.
Sehingga dengan cara inilah, kita dapat mengetahui latar belakang pesantren, sistem pembelajaran dan kiai atau pengasuh dari pesantren tersebut. Artinya, kita dapat lebih selektif dalam memilih pesantren alias tidak asal-asalan.
Kedua, membekali pendidikan kesehatan reproduksi dan sistem proteksi diri sebelum anak-anak kita pergi belajar di pesantren.
Kedua hal ini, bagi saya menjadi penting agar anak-anak kita tahu bahwa mana saja anggota tubuh mereka yang boleh tersentuh dan tidak boleh orang lain sentuh.
Sehingga ketika ada oknum pesantren yang berani memegang anggota tubuh yang tidak oleh mereka pegang, dapat langsung melakukan proteksi diri. Misalnya, dengan cara melaporkan kepada orang tua, pihak yang berwajib, komunitas pendamping, atau bahkan kabur dari pesantren tersebut.
Dengan cara inilah, menjadi cara yang strategis untuk bisa keluar dari lingkungan yang bahaya, tidak aman dan tidak sehat. Bahkan, kita dapat memutus atau memperingati bahwa pesantren tersebut banyak oknum predator kekerasan seksual.
Menjadi Pendamping Bagi Korban Kekerasan
Selain melakukan pencegahan, kita juga harus memperhatikan dan memberikan dukungan dan perlindungan kepada para santri yang menjadi korban kekerasan seksual.
Mengutip tulisan Menjadi Pendamping Korban yang ditulis oleh Helga Inneke Worojitan di Jalastoria.id ada beberapa hal yang dapat dilakukan saat mendampingi korban kekerasan seksual.
Pertama, berikan kepedulian. Langkah ini menjadi yang paling utama, karena korban kekerasan, butuh sosok yang bisa memberikan rasa aman. Juga siap mendampingi mental dan psikisnya menjadi pulih kembali.
Kedua, butuh kepekaan. Bagi orang yang mendampingi korban, harus memeliki prinsip bahwa pendampingan adalah memberdayakan korban kembali. Pendamping korban memiliki peran untuk mengembalikan fungsi kontrol diri korban yang pelaku rampas saat kejadian kekerasan.
Pendamping koban juga perlu menjelaskan apa saja pilihan yang dapat ia ambil. Bagaimana caranya, dan apa saja konsekuensi yang akan muncul.
Ketiga, pemulihan. Lakukan konseling atau pemulihan berkala bagi diri sendiri. Hal ini, untuk melatih kita saat melakukan pendampingan agar tetap awas dan berjarak dengan masalah orang lain. Orang yang menjadi pendamping, harus selalu menghindari dari energi negatif yang kelak akan membebani kesehatan mentalnya.
Dengan ketiga cara dalam melakukan pendampingan pada santri korban kekerasan seksual. Maka setidaknya kita bisa hadir untuk memulihkan trauma yang ia rasakan dan turut mendukung para korban untuk kembali pulih. Bahkan dengan cara di atas juga, artinya kita sudah memutuskan rantai kekerasan yang akan terjadi pesantren. []