• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Gitu Aja Kok Repot: Ajaran Kesederhanaan Gus Dur dalam Beragama

Dalam hal kesederhanaan, Gus Dur juga mengkritik perilaku beragama yang glamor dan mengabaikan pokok ajaran Islam

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
13/12/2023
in Tak Berkategori
0
Ajaran Gus Dur

Ajaran Gus Dur

911
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Desember bulan Gus Dur. Begitu cara para pecinta Gus Dur mengenang bulan haulnya. Pada 2023 ini sudah masuk tahun ke-14 Gus Dur berpulang di sisi Tuhan yang Maha Kasih. Sosoknya mungkin tidak lagi bersama kita. Namun, ajaran-ajaran Gus Dur masih terus hidup membersamai perjuangan para pecintanya.

Satu dari sekian ajaran Gus Dur adalah soal kesederhanaan. “Gitu aja kok repot,” merupakan sentilan ikonik Gus Dur yang menggambarkan kesederhanaan dalam bertingkah laku. Termasuk dalam hal ini adalah kesederhanaan dalam laku beragama.

Antara Muslim Repot-repot dan Malas-malas

Bicara seputar diskursus “gitu aja kok repot”, saya jadi ingat dengan peristiwa di kampung saya sekitar tahun 2014-an. Di mana, kehadiran beberapa jemaah Salafi dengan gerakan puritannya, kala itu, membuat masyarakat jadi cukup heboh.

Gerakan salat menjadi salah satu hal yang jemaah Salafi masalahkan. Dalam hal ini, mereka banyak merujuk kitab Sifat Salat Nabi karya Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani. Sedekap di atas dada merupakan salah satu ajaran dalam kitab itu. Cara sedekap yang agak beda dari cara salat kebanyakan masyarakat di desa saya yang sedekapnya di antara dada dan pusar atau di atas pusar.

Sebenarnya tidak ada salahnya sih, ketika ada golongan yang memilih bersedekap di atas dada. Sebab, setiap Muslim punya kemerdekaan dalam memilih cara salat dari pendapat ulama mana yang mau dia ikuti.

Baca Juga:

Humor Kritis di Layar Televisi: Menjaga Ruang Demokrasi

Hifdh An-Nafs, Al-‘Aql dan An-Nasl dalam Interpretasi Gus Dur

Konsep Al-Ushul Al-Khamsah dalam Tafsir Gus Dur

Andaikan Gus Dur Masih Ada, Revisi UU TNI Tak Perlu Ada

Namun, problemnya adalah ketika pilihan itu malah berbarengan dengan sikap fanatik golongan, ngotot sebagai si paling benar, dan memandang cara salat golongan lain yang berbeda itu keliru bahkan sesat. Kondisi demikian sempat menghebohkan jemaah masjid di kampung saya waktu itu.

Muslim awam banyak yang jadi bingung akibat gerakan puritanisme salat. Mereka kaget, sebab cara salat yang sudah mereka lakukan sejak kecil katanya salah. Katanya, “Sedekap harus di atas dada, bukan di antara dada dan pusar.”

Padahal, mau sedekap di atas dada atau di antara dada dan pusar masing-masing ada pendapat ulamanya. Sehingga, mau pilih yang mana pun ya silahkan saja. Tidak perlu repot-repot menjadi panitia surga yang meng-screening salat siapa yang Allah terima. Itu hak prerogatif Allah bukan hamba.

Muslim “repot-repot” memang sering kali memperumit amal dan keadaan. Salah satu sikap perumitan itu dengan cari-cari kesibukan sebagai panitia surga yang menghakimi cara berislam golongan lain. Oiya, ada juga loh Muslim “malas-malas” yang suka men-selow-kan amal. Idealnya Islam menghendaki sikap pertengahan. Dalam kondisi ini, sentilan Gus Dur; “gitu aja kok repot” dapat menjadi kaidah kesederhanaan dalam laku beragama.

Kaidah Gitu Aja Kok Repot

Nur Kholik Ridwan dalam Ajaran-ajaran Gus Dur menjelaskan, “Sentilan ‘Gitu aja kok repot’ yang sering diungkapkan Gus Dur bisa dilihat sebagai bagian dari cerminan jati dirinya, yaitu ingin menyelesaikan persoalan dengan lugas, dan sederhana, tidak perlu diperumit. Sesuatu jika bisa diselesaikan dengan mudah, maka tidak usah diperumit.”

Misalnya, dalam hal salat, kita cukup melaksanakan salat pada waktu dan jumlah rakaat sesuai ketetapan. Tidak usah “repot-repot” menambah di luar ketentuan. Juga jangan sampai “malah-malas” jadi mengurangi ketetapan. Jika ada perbedaan dalam hal gerakan, itu khilafiyah (perbedaan). Ya, jalankan sesuai mazhab pilihan masing-masing. Substansi amalnya adalah mendirikan salat, bukan mempertengkarkan salat, kan? Jadi, “gitu aja kok repot”.

Ajaran kesederhanaan dalam beragama tidak menghendaki sikap berlebihan, dan juga bukan jalan membenarkan sikap malas apalagi apatis. Melainkan, ajaran untuk beragama dengan mengedepankan substansi amal.

Laku beragama ini, sebagaimana penjelasan Nur Kholik Ridwan, merupakan ajaran Gus Dur yang berangkat dari keyakinannya kalau kesederhanaan dalam menjalin hidup dapat menegakkan martabat kemanusiaan, dan menyambung hubungan dengan Tuhan.

Jadi, dalam ajaran kesederhanaan Gus Dur, beragama itu secara substantif, tidak berlebihan dan berkekurangan, cukup beragama dengan wajar.

Muslim yang Substantif

Dalam hal kesederhanaan ini, Gus Dur juga mengkritik perilaku beragama yang glamor dan mengabaikan pokok ajaran Islam. Hal ini tergambar dari kritik Gus Dur dalam Melawan Melalui Lelucon:

“…kegairahan membangun Masjid Istiqlal, yang tidak disertai kepekaan yang cukup terhadap penderitaan sesama manusia, dalam kerajinan memelihara ritus keagamaan tanpa merasa malu memperagakan kemewahan hidup di tengah-tengah merajalelanya kemeralatan dan kemiskinan, dalam kepongahan para pemuka agama untuk mengerahkan massa mereka bagi tujuan-tujuan duniawi yang bersifat pribadi.”

Dalam kritik ini, Gus Dur bukan pada posisi menolak pembangunan masjid-masjid agung mewah yang hari ini merebak di berbagai daerah, melainkan lebih kepada pengingatan alangkah bagusnya jika kegairahan keislaman lahiriah dibarengi dengan kesadaran substansial dari ajaran Islam.

Sebab, pamer kemewahan bukan subtansi dari ajaran Islam. Yang menjadi tugas utama agama, sebagaimana menurut Gus Dur, “…mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan.” Artinya, inti berislam salah satunya adalah perjuangan kemanusiaan.

Jadi kesederhanaan dalam ajaran Gus Dur tidak sekadar ajaran hidup yang sewajarnya atau tidak galamor. Namun, lebih dari itu merupakan ajaran untuk mengedepankan substansi dalam beragama.

Oleh karena itu, puncak ajaran ini bukan pada upaya menjadi muslim repot-repot, bukan pula muslim malas-malas, melainkan pertengahan yaitu muslim substantif yang beragama secara wajar dan tidak mengabaikan pokok ajaran. Dan, dalam ajaran Gus Dur, pokok ajaran agama tidak hanya peribadatan, adalah termasuk substansi beragama juga hal-hal yang menyangkut urusan kemanusiaan. []

 

Tags: Ajaran Gus Durbulan gus durdesember Gus DurGitu aja kok repotgus durKesederhanaan dalam beragama
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tuhan Menyayangi Perempuan: Melihat Maksud Tuhan Di Balik Kodrat Haid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version