Mubadalah.id – Saat salah satu orang tua meninggal dunia, tidak jarang timbul perselisihan di antara anak-anak dan orang tua. Terutama yang masih hidup selaku ahli waris dalam hal pembagian tanah atau rumah sebagai harta peninggalan pewaris. Tidak sedikit anak yang tidak pernah terlihat semasa hidup pewaris, tiba-tiba muncul datang menagih bagiannya dari harta warisan.
Pertikaian akibat perselisihan ini terkadang berhasil terselesaikan melalui jalur musyawarah. Namun tidak sedikit pula yang berujung pada gugatan dari anak kepada orang tua yang masih hidup. Orang tua yang telah membesarkannya terpaksa untuk angkat kaki dan pergi dari rumah objek sengketa warisan dan harus mencari tempat tinggal baru.
Sangat ironis, ahli waris terkadang mengingat haknya atas bagian harta warisan. Namun melupakan kewajibannya untuk menafkahi ahli waris lain dan pewaris di masa hidupnya.
Dalam konsepsi fikih terdapat dua hal yang menyebabkan seseorang menjadi ahli waris yang juga menjadi sebab seseorang wajib atas nafkah. Yaitu adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan. Para ulama sepakat Ayah, Ibu, Anak dan Istri adalah orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan juga berhak atas nafkah.
Madzhab Hanbali bahkan dengan tegas menyatakan bahwa nafkah hukumnya wajib untuk setiap keluarga dekat yang memperoleh warisan. Menjadi kerabat atau memiliki hubungan perkawinan tidak hanya menimbulkan hak untuk menerima harta warisan. Namun juga menimbulkan kewajiban untuk memberi nafkah kepada pewaris di masa hidupnya.
Timbulnya Kewajiban Nafkah
Selain kekerabatan waris, menurut ulama hanafiah pemberian nafkah juga wajib disebabkan adanya kekerabatan mahram. Setiap orang yang masih tergolong sebagai mahram seperti saudara kandung wajib untuk kita nafkahi.
Namun, hubungan kekerabatan mahram dan kekerabatan waris memang tidak serta merta menimbulkan wajibnya pemberian nafkah. Terdapat dua sebab lain yang harus terpenuhi untuk menimbulkan kewajiban nafkah, utamanya nafkah kepada kerabat.
Pertama, adanya keadaan miskin, tidak memiliki cukup harta, tidak pula berkemampuan untuk bekerja karena belum cukup umur, telah lanjut usia, atau memiliki keterbatasan lainnya yang menghalangi seseorang untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Kerabat yang mengalami kondisi-kondisi tersebut berhak untuk memperoleh nafkah. Sebaliknya, jika kerabat tersebut berkecukupan, maka Ia tidak perlu kita nafkahi.
Kedua, seseorang yang dalam kondisi berkecukupan dan mempunyai kelebihan harta maka Ia wajib memberikan nafkah kepada kerabatnya yang miskin. Jika Ia sedang tidak dalam keadaan mempunyai kelebihan harta atau harta yang Ia miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, maka Ia tidak wajib untuk memberikan nafkah kepada kerabatnya yang miskin.
Syarat-syarat tersebut berbeda dari kewajiban nafkah terhadap istri dan anak. Karena kewajiban pemberian nafkah kepada istri dan anak tidaklah gugur meski suami/ayah dalam kondisi ekonomi yang sulit. Kiranya hal inilah yang menjadi sebab dimakruhkannya menikah ketika seorang laki-laki tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan anaknya.
Perempuan Berpenghasilan
Jika memperhatikan uraian di atas, kewajiban nafkah kepada ahli waris tidak mensyaratkan pemberi nafkah adalah seorang laki-laki. Bahkan dalam kondisi di mana seorang ayah tidak mampu bekerja karena adanya kelemahan pada diri, maka menurut ulama syafi’iyah nafkah seorang anak dapat tertanggung oleh Ibunya.
Menurut Ibnu Hazm Azh-Zahiri, dalam hal suami sedang mengalami kesulitan ekonomi, seorang istri dapat memberikan nafkah kepada suaminya tanpa perlu mengganggapnya sebagai hutang (Az-Zuhaili, 2011).
Besaran kewajiban pembayaran nafkah juga terkadang disesuaikan dengan besaran bagian waris dari seorang ahli waris. Seperti dalam hal seorang anak yang yatim atau ayahnya tidak memiliki kemampuan menafkahi, namun masih memiliki kakek dan ibu. Maka kakek berkewajiban memberi nafkah sebesar dua pertiga dan ibu sebesar sepertiga kepada anak.
Pendapat-pendapat tersebut tentunya menimbulkan konsekuensi logis berupa bolehnya seorang istri untuk bekerja dan mencari penghasilan. Tanpa adanya pekerjaan dan penghasilan, sangatlah sulit bagi istri untuk dapat memberikan nafkah kepada anak, kerabat dan juga suami.
Jaminan Pemenuhan Nafkah
Kewajiban pemberian nafkah merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian hukum keluarga di Indonesia. Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak meskipun perkawinan keduanya putus.
Dalam Pasal 46 Undang-Undang a quo juga ditegaskan bahwa jika anak telah dewasa, maka Ia wajib untuk memelihara kedua orang tuanya. Anak dan orang tua tidak hanya saling mewarisi, namun juga terikat dalam hubungan untuk saling menafkahi.
Dalam konteks pentingnya kewajiban untuk menafkahi anak, telah dilahirkan sejumlah terobosan hukum di lingkungan peradilan agama Indonesia. SEMA 1 Tahun 2022 misalnya memberikan petunjuk untuk menunda pelaksanaan pembagian harta bersama di antara suami dan istri yang telah bercerai. Jika harta tersebut merupakan satu-satunya rumah tempat tinggal anak.
Penyediaan tempat tinggal merupakan salah satu bentuk nafkah yang menjadi kewajiban kedua orang tua kepada anak. Perceraian dan proses pembagian harta bersama di antara mantan suami dan istri tidak boleh menjadi penghalang terpenuhinya nafkah kepada anak.
Menjamin Nafkah Orang Tua
Dengan logika yang sama, dalam konteks menjamin nafkah bagi orang tua yang sudah tidak mampu, maka pembagian harta secara fisik kepada anak-anak sebagai ahli waris sepatutnya dapat tertunda pelaksanaannya.
Hal ini kita lakukan ketika salah satu orang tua meninggal dunia dan meninggalkan harta berupa rumah yang menjadi satu-satunya tempat tinggal orang tua yang masih hidup. Sementara pembagian harta berupa rumah tersebut kita yakini dapat membuat orang tua yang masih hidup kehilangan tempat tinggal.
Penundaan pembagian harta berupa rumah tempat tinggal orang tua sejatinya merupakan bentuk kepastian pemenuhan kewajiban nafkah anak atas orang tua yang masih hidup. Meski tertunda, tidak berarti bahwa rumah tersebut tidak dapat diatasnamakan kepada anak dan orang tua yang masih hidup sebagai ahli waris.
Melainkan fungsinya sebagai tempat tinggal orang tua tidak kita alihkan. Tentu saja, pembagian fisik atas harta waris dapat kita lakukan setelah tersedia tempat tinggal yang layak bagi orang tua yang masih hidup.
Pengabaian nafkah secara sengaja oleh salah seorang anak terhadap orang tuanya, dalam keadaan di mana syarat-syarat timbulnya nafkah telah terpenuhi, memang tidak mengakibatkan seorang anak terhalang menjadi ahli waris. Akan tetapi negara perlu menjamin bahwa pembagian waris tersebut tetap diikuti dengan pemenuhan kewajiban nafkah antar ahli waris, khususnya nafkah antara anak dan orang tua.
Bahkan pengabaian oleh anak atas nafkah orang tua seharusnya dapat menjadi dasar dituntutnya ganti nafkah oleh orang/anak lain yang secara nyata merawat dan menafkahi orang tua. Sebagaimana dimungkinkannya-dalam konsep fikih-kakek dan ibu yang menafkahi anak untuk meminta ganti nafkah kepada ayah dari anak. []