Mubadalah.id – Mengisi pergantian tahun ini, sepertinya film dokumenter bisa menjadi opsi menantang. Tidak hanya menyajikan hiburan sensorik lewat audiovisual, ia juga mengajak benak penonton untuk merenung. Terutama isinya membahas perihal “maut”.
Tapi tenang saja, kontennya tidak menyodorkan gambar-gambar mayat, adegan horror, ataupun kengerian. Melampaui itu, film dokumenter ini membersamai penonton untuk bertanya perihal hidup. Juga bagaimana ketakutan akan mati bisa membuat manusia sedemikian obsesif terhadap banyak hal.
Homo Mortalis, Kita Semua Fana
Dalam narasi pembukanya, tercantum kutipan dari seorang antropolog Ernest Becker: “the idea of death, the fear of it, haunts the human animal like nothing else.”
Kengerian akan maut telah menghantui umat manusia melebihi apa pun. Mau beragama maupun atheis, kematian adalah absolut dan fakta empiris kehidupan. Berbekal rasa takut implisit ini, baik disadari atau tidak, manusia membangun banyak hal.
Sebagai (mungkin) satu-satunya makhluk yang “hidup dan sadar” bahwa dirinya ada, kita menanggung berkah sekaligus kutukan. Kita sadar bahwa kita sekarang eksis di sini—dan karenanya—suatu saat kelak akan tidak di sini lagi. Menjadi tiada (mati). Dan kesadaran itu membuat manusia menjadi gusar.
Karena takut mati dan terlupakan inilah kita ingin memiliki keturunan. Kita juga ingin menulis buku-buku hebat, membangun peradaban, budaya, mendirikan piramid, Burj Khalifa, candi Borobudur, dan lembar-lembar cerita yang menjadi sejarah.
Dalam puisi saya, pernah kerisauan eksistensial sebagai debu kosmik ini saya ilustrasikan demikian:
semesta berdansa
cakrawala menyusut
bintang-bintang menari
menuju mati
: satu penyatuan yang
menghancurkan segala belum
menjadi sudah
dan kelak hanya akan terkenang
sebagai pernah
Manusia, Organisme Kemaruk: Sebuah Paradoks
Film dokumenter ini berjudul lengkap Greed – A Fatal Desire: Money, Happiness & Eternal Life. Karya besutan Jörg Seibold ini isinya multifragmen, bergulir dari satu topik ke topik lainnya. Lewat film ini, Seibold mengajak seorang psikolog sosial sebagai narator ulung.
Namanya Sheldon Solomons. Darinya, arus cerita mengalir mulai isu kecemasan, narsisisme, obsesi pemilikan, neurosains tentang keserakahan, krisis lingkungan, hingga konsumerisme, musik, spiritualitas, serta betapa peliknya organisme bernama manusia.
Tayangan ini mempotret manusia sebagai individu yang paradoks. Manusia peduli dan penuh kasih sayang. Tapi mereka juga egosentris dan sembrono. Manusia memberi dan menciptakan. Mereka juga membunuh dan menghancurkan.
Selain itu, di sepanjang karir kesejarahan dan kebudayaan manusia, keserakahan begitu menonjol. Sifat kemaruk ini, ironisnya, justru mengantarkan manusia kepada “tragedi raja midas”. Sebuah alegori di mana apa pun yang disentuhnya akan menjadi emas, dan imbasnya, ia jadi tak bisa makan dan mati kelaparan plus dahaga akut.
Keserakahan itu tak lain adalah sempilan dari aktivitas menjauhi kematian. Manusia mengumpulkan aneka sumber daya untuk mempertahankan hidup. Hampir semua aktivitas kita sejatinya adalah menunda kemusnahan diri.
Salah satu wujud eskpresi menjauhi kematian antara lain adalah narsisisme. Kita gandrung pada diri sendiri dan mengaku sebagai pusat dunia. Istilah ini diambil dari mitologi Yunani, tokoh Narcissus. Cerminan watak kecanduan akan ego dan pantulan dirinya sendiri.
Narrator membunyikan suaranya secara puitis: “We too, like to see ourselves as the center of the world…. Are we like narcissus, addicted to our own egos?”
“Apakah kita seperti Narcissus, candu akan ego kita sendiri?”
Tiga Obsesi Manusia: Uang, Kebahagiaan, dan Hidup Abadi
Manusia selalu termotivasi untuk memiliki banyak hal. Ini tertanam juga di bagian otak secara evolusioner. Bagi spesies homo sapiens, mengumpulkan sebanyak mungkin sumber daya adalah siasat bertahan hidup. Karenanya di era sekarang pun banyak manusia terobsesi menumpuk kekayaan. Bicara secara psikologis, ini menamsilkan bahwa dengan mengumpulkan sebanyak mungkin memberi kesan seolah-olah mereka dapat hidup selamanya.
Di tahap ini persoalan merembet ke budaya konsumerisme. Sheldon Solomons, selaku psikolog sosial, menjelaskan kalau tidak ada salahnya dengan menjadi konsumen. Untuk tetap hidup, seseorang tentu butuh mengonsumsi. Namun demikian, akan menjadi masalah jika manusia sudah “terkonsumsi oleh konsumsi” (consumed by consumption).
Manusia tetap membeli sesuatu sampai tetes terakhir napas hidupnya. Di sinilah sepatu-sepatu branded menumpuk di rak, koleksi pakaian berlebihan di lemari, aneka riasan wajah, pajangan dinding, hingga kendaraan yang jumlahnya lebih dari ukuran pantat dan luas tubuhnya.
Mulai muncul masalah baru: ketimpangan. Menjadi kaya memang bukan sebuah dosa. Akan tetapi, seperti ujar Filsuf dan Musisi Afrika di film ini, “jika kamu menyetir Mercedez Benz atau Rolls-Royce di sebuah lingkungan di mana tetangga miskin dan orang-orang kelaparan hingga nyaris mati, maka itulah hal terburuk yang dapat dilakukan manusia.”
Dokumenter ini secara apik dan halus mengajarkan penontonnya pada gaya hidup sederhana dan merasa cukup (content). Dalam Islam banyak orang sudah tahu konsep syukur dan qana’ah. Ini berjalan seiring tantangan global agar melestarikan lingkungan. Bahwa untuk menggapai hidup berkelanjutan (sustainable development goals), kita perlu belajar pada banyak tradisi orang rimba, ajaran spiritualitas yang tidak kemaruk, dan mengantarkan pada kebahagiaan.
Memaknai Kematian
Dan salah satu cara untuk menjadi bahagia, adalah dengan memaknai kematian. Pepatah Latin kuno mengajarkan memento mori. Ingatlah bahwa suatu saat jasadmu akan lapuk. Dan kau mungkin kelak terlupakan. Karena itu, maknai hidup dengan mengerjakan hal-hal baik yang membuatmu tenang, damai, dan syukur-syukur jika beruntung, bisa pula dikenang orang banyak.
Sastrawan Albert Camus pernah menulis: “there is only one liberty, to come to terms with death, therafter anything is possible.” Dengan sadar akan kematian, seseorang dapat bebas, dan menjadikan segalanya mungkin.
Paribahasa Latin juga mempertegasnya dengan carpe diem (Inggris: seize the day). Lebih spesifik lagi, Nabi Muhammad pun menggarisbawahi ciri orang paling cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal menghadapinya.
Dari dokumenter ini, banyak anasir nilai yang menyusup ke relung batin. Ia juga menyentuh empati penonton agar juga tidak berbuat kerusakan di muka bumi, tempat anak cucu kita tinggal kelak. Sebab sebagaimana ujar teolog Jerman, Dietrich Bonhoeffer, bahwa “puncak ujian moral masyarakat terlihat dari dunia seperti apa yang akan diwariskan pada anak cucunya”.
Ihwal demikian pun tampak kecil namun tegas di film. Jörg Seibold menyiratkan pesan itu secara tersembunyi lewat kalimat akhirnya: “dedicated for my kids and all other children”.
Melalui film dokumenter ini, yang sudah tersedia secara terbuka di kanal Youtube DW Documentary, seolah ingin mengajarkan kita untuk lebih sadar pada kematian dan mengisi hidup agar lebih bermakna dan manfaat. []