Pernahkah anda memperhatikan sebuah senar gitar yang dipetik dan senar lainnya ikut bergetar? Atau mungkin pernah melakukan sebuah percobaan sederhana di sekolah dulu dengan sebuah garpu tala? Saat bagian kanan digetarkan, bagian kiri ikut bergetar dan berbunyi. Ya, ini namanya hukum resonansi.
Resonansi merupakan sebuah proses dimana sebuah benda bergetar karena benda lainnya bergetar. Fenomena ini bisa terjadi pada senar gitar, garpu tala, bangunan bermenara dan juga hati manusia. Hati manusia? Ya, kali ini di hari keempat shortcourse hati saya bergetar karena keindahan sebuah kota yang terletak 340 km dari Teheran yaitu kota Isfahan. Mau tahu seperti apa? Simak yuuk!
Berangkat dari Qom menuju Isfahan pukul 06.00 pagi. Kami bersebelas ditambah panitia yaitu Agha Varas sebagai penanggung jawab program Shortcourse di Al-Hikmah MIU, juga supir. Supir kali ini masih muda dan tentu saja lebih ganteng dari supir yang biasa membawa kami berkeliling di Qom. Rasanya hampir semua laki-laki Iran saya lihat mirip. Tidak ada yang ganteng, yang ada ganteng banget hehe..
Kami sarapan di rest area di perjalanan menuju Isfahan setelah dua jam berangkat dari Qom. Di sini untuk pertama kali di Iran, saya bertemu dengan salju. Setelah sarapan, perjalanan menuju Isfahan masih dua jam lagi. Sampai di Isfahan hampir pukul 10 pagi dan destinasi pertama adalah sebuah menara Jonban.
Menara ini dibangun pada abad ke 14 pada saat Dinasti Safawi berkuasa. Menara ini dibangun di atas pusara seorang Sufi yang berpengaruh pada saat itu yaitu Amu Abdollah Soja. Hal yang menarik dari menara ini selain nilai sejarahnya yang tinggi, juga arsitekturnya yang unik.
Bangunan menara ini bergaya mongolia yang sangat indah, dengan ubin kecil kecil biru berwarna pirus dalam bentuk bintang bersayap empat yang menghiasai dua lengkungan disetiap sisinya. Bangunan dasarnya setinggi 10m dan memiliki dua menara kembar setinggi 7,5m yang sejajar dan simetris.
Bila salah satu menara digoyangkan, maka menara sebelahnya juga ikut bergoyang dan yang unik, bangunan bawahnya tidak ikut bergoyang. Untuk membuktikannya Agha Varas naik ke atas menara dan menggoyangkan salah satunya. Kami semua menyaksikan menara yang sebelahnya juga ikut bergoyang dan lonceng yang ada di situ ikut berbunyi.
Konstruksi bangunan yang unik seperti inilah yang menciptakan resonansi di antara kedua menara tersebut. Resonansi tidak akan terjadi apabila beberapa syarat ini tidak dipenuhi. Diantaranya terdapat media atau ruang di mana gelombang getar atau suara bisa terjadi. Ukuran dan jarak harus akurat agar terjadi frekuensi yang sama.
Bila memiliki frekuensi yang sama, tentu saja sebuah benda yang bergetar akan menggetarkan benda yang lain. Demikian pula dengan hati manusia dan juga alam semesta. Bila kita berfikir dan berniat baik, maka kita akan mengirimkan pikiran dan niat baik ini ke seantero semesta. Sebaliknya bila kita berpikir dan berniat jahat, maka kita menggetarkan pikiran serta niat jahat ke seluruh semesta.
Saya berpikir inilah rupanya kenapa saya menjadi bagian dari peserta yang mengikuti program shortcourse ini. Kumpulan pikiran dan niat baik seluruh peserta menggetarkan seluruh bagian dalam program ini, tersambung dengan niat dan pikiran baik penyelenggara shortcourse. Sehingga kami dilayani dan didampingi oleh ulama-ulama shalih dan tulus dan semua program berjalan dengan lancar. Menyibak cakrawala intelektual juga spiritual kami.
Setelah mengunjungi menara Jonban kami menuju jembatan Si-o se Pol yang memiliki 33 lengkungan. Jembatan ini disebut juga jembatan Allah-Verdi Khan. Jembatan yang memiliki panjang 295 meter dan lebar 14 meter ini dibangun pada tahun 1599 M dengan desain jembatan Safawi. Jembatan ini melintas di sungai Zayandeh.
Jembatan Si-o Pol merupakan salah satu jembatan dari 11 jembatan yang dibangun oleh Syah Abbas II untuk mengembalikan kejayaan Isfahan sebagai ibu kota Dinasti Safawi. Ada jembatan lain yang lebih megah yaitu jembatan Khaju. Namun kami hanya melintasinya karena waktu yang terbatas.
Kunjungan ke Isfahan ini bertepatan dengan hari libur masyarakat Iran yaitu hari Jum’at. Sehingga di sekitar jembatan dan taman, dipenuhi penduduk sekitar. Posisi kami berkunjung berada di sebelah barat jembatan sehingga pengambilan gambar jembatan kurang begitu baik karena backlight. Tapi beberapa foto di dalam jembatan terlihat cukup baik.
Menjelang duhur, kami bergegas menuju mesjid Jami Isfahan. Mesjid ini mulai dibangun pada masa kekhalifahan Umayyah tahun 771. Masjid ini terus direkontruksi dengan penambahan dan perluasan sampai ahir abad ke-20. Ditetapkan sebagai warisan dunia UNESCO sejak tahun 2012.
Sebelum menjadi mesjid, konon tempat ini merupakan rumah ibadah bagi penganut Zoroastrianisme. Menurut mahasiswa Indonesia yang saya temui di sana yaitu Zaki, mimbar tempat beribadahnya tetap diabadikan. Namun kami tidak bisa memasukinya, sehingga tidak bisa mendokumentasikan.
Ada beberapa titik yang tidak mengalami rekontruksi, masih seperti aslinya sehingga tiang-tiang yang ada sudah miring dan disangga oleh balok-balok kayu. Tempat ini diberi kaca etalase sehingga kita hanya bisa melihat dan mengabadikannya dari luar.
Waktu menunjukan pukul 13.30 dan kami semua sudah sangat lapar. Kami makan siang di restoran di tengah kota Isfahan. Ikan adalah menu yang paling mahal yang disajikan di sini dibandingkan dengan ayam, sapi dan kambing. Namun bila di kurskan rupiah yaitu Rp. 20.000 saya pikir cukup murah untuk menyantap ikan sebesar itu dan nasi yang sangat banyak. Di sinilah pertama kalinya saya meminum minuman khas Iran yaitu dook. Yoghurt asin yang diberi daun mint sehingga rasanya seperti meminum air odol yang asem dan asin hehehe..
Setelah itu kami semua berangkat menuju istana Chihil Sutun yang berarti 40 tiang. Sebenarnya istana ini memiliki 20 tiang, hanya saja tiang-tiang ini seolah bertambah menjadi 40 karena penerangan memantul dari kolam ketika malam hari. Kami datang siang hari tentu saja tidak menyaksikan fenomena ini. Kami memperoleh keterangan ini dari Zaki yang memandu kami.
Istana Chihil Sutun dibangun oleh Dinasti Abbas II. Istana ini dibangun di atas lahan 67 ribu meter persegi bukan untuk kediaman keluarga raja melainkan sebagai tempat penyambutan tamu dan utusan kerajaan yang datang dari berbagai belahan dunia. Arsitektur istana ini terdiri atas delapan bentuk tradisional, di antaranya ada tiang, kubah, taman, teras, gerbang, menara dan ruang melengkung.
Hal yang membuat saya terkesima adalah aksesori yang menonjol pada bangunan ini berupa karikatur yang menyimbolkan keadaan dalam istana yang mewah. Karikatur motif manusia ini merupakan hasil karya seorang seniman pada era dinasti Safawi yaitu Rezza Abbasi.
Saya sempat mengabadikan beberapa lukisan yang ada di sana, dimana setiap lukisan mengungkapkan peristiwa sejarah dinasti Safawi. Misalnya menggambarkan adegan sejarah spesifik seperti perjamuan Emir Bukhara pada tahun 1611. Perang Chalderan melawan sultan Ottoman, Selim II pada tahun 1514.
Ada juga kisah Mughal, Humayun yang berlindung di Iran pada tahun 1544. Lukisan yang menggambarkan kemenangan Nadir Shah melawan tentara India di Karnal pada 1739 ini juga masih telihat jelas meski pernah mengalami kebakaran. Saat saya mengabadikan berbagai lukisan yang ada saat itu hanya bisa menerkanya saja, untuk memperjelas saya membaca beberapa referensi tentang istana ini.
Pada beberapa bagian istana Chihil Sutun sedang direnovasi, bahkan dua puluh tiang yang ada dibagian depan pun masih disangga oleh besi-besi kecil, sehingga kesan mewah bangunan ini kurang tampak. Termasuk di bawah kaki-kaki tiang yang berbentuk singa yang sebetulnya ada kolam air mancur dan masih ditutupi terpal. Hal ini tentu saja tidak mengurangi kekaguman saya akan majunya peradaban yang pernah ada di tanah Persia ini.
Destinasi terahir di Isfahan hari ini adalah alun-alun Imam Square (Naqsh-e Jahan square atau Meidan Emam). Alun-alun ini dihiasi air mancur, barisan pepohonan serta hamparan rumput. Menurut Agha Varas di dunia hanya alun-alun Tien an men di Beijing yang mengalahkan luasnya alun-alun ini. Meskipun untuk keindahannya alun-alun Imam Square ini tentu saja juaranya. Saya sependapat karena pernah berkunjung ke Tien an men pada tahun 2013 lalu.
Sekeliling alun-alun ini, kita bisa menjumpai bazar yang menjual berbagai produk khas Isfahan. Mulai dari karpet, sajadah, pakaian, aksesoris, perlengkapan rumah tangga yang unik, cinderamata, penjual makanan khas Isfahan dan lain-lain. Bila saya bandingkan dengan harga empat kota yang saya kunjungi di Iran, harga di Isfahan ini termasuk cukup tinggi. Mungkin karena Isfahan merupakan kota kosmopolitan yang menjadi destinasi wajib wisatawan yang mampir ke Iran.
Selain bazar, di sekeliling alun-alun juga terdapat kantor pemerintahan, istana, mesjid, pemandian tradisional dan tempat menarik lainnya. Ingin sebenarnya menjelajahi semua tempat itu, namun waktu yang sangat terbatas, selain kaki saya juga sudah sangat lelah karena seharian ini berjalan cukup lama.
Lewat waktu magrib sedikit, kami shalat di mesjid kecil di kota Isfahan sebelum pulang kembali ke Qom. Entah mesjid apa namanya, namun mesjid ini setelah shalat Magrib menayangkan filem dokumenter bagaimana hancurnya Syiria oleh Salafy. Menurut saya, rupanya memerangi paham Islam radikal dalam bentuk Salafi dan ISIS menjadi program negara Iran saat ini.
Demikian catatan perjalanan hari keempat. Dari refleksi ini saya semakin percaya bahwa hati kita berbicara lebih keras dari mulut kita. Meski memiliki keterbatasan komunikasi karena kendala bahasa, namun hati kita bila satu frekuensi akan memiliki keterikatan dan saling menggetarkan. Meresonansikan kebaikan kepada semesta. Separuh dunia sudah saya saksikan di Isfahan.