Mubadalah.id – Dalam buku at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Imam al-Ghazali, sering juga disebut Hujjah al-Islam, menulis, “Sejarah dunia telah mencatat bangsa Majusi yang menyembah api di Persia pernah menguasai dunia, empat ribu tahun lamanya. Mengapa bisa begitu lama bertahan?.” Lalu, Imam al-Ghazali menjawab sendiri pertanyaannya tersebut, “Karena bangsa itu (Majusi) diperintah dan dipimpin oleh tangan-tangan yang adil dan orang-orang yang menginginkan kesejahteraan bangsanya, rakyatnya.”
Hujjah al-Islam itu tampak sekali ingin menegaskan bahwa keadilan adalah kunci sukses sebuah bangsa, dan kezhaliman menjadi sumber kehancurannya.
Siapa pun penguasa atau pemimpinnya, tidak peduli apa agamanya, apa suku bangsanya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya, siapa keturunannya, asalkan ia mampu bertindak adil dan membenci kezhaliman. Maka negara dan rakyatnya akan berjaya dan makmur.
Dan sebaliknya, siapa pun ia, jika memimpin dengan cara-cara despotis. Maka akan menciptakan kebangkrutan negara dan kesengsaraan rakyatnya.
Imam al-Ghazali lantas mengutip wahyu Tuhan untuk Nabi Daud As, “Jangan kamu biarkan kaummu mencaci-maki orang-orang asing, karena mereka berhasil memakmurkan dunia dan menyejahterakan hamba-hamba-Ku.”
Apa yang ia maksud “orang-orang asing” (the others) boleh jadi orang-orang non-muslim atau mungkin juga bangsa asing.
Al-Mawardi
Al-Mawardi dalam salah satu kitabnya, Adab ad-Dunya wa ad-Din mengatakan dengan tegas, “Jika keadilan adalah salah satu pilar dunia dan dunia tidak akan mungkin tegak tanpanya. Maka hendaklah masing-masing orang memulai untuk bertindak adil.”
Mengutip kata-kata orang bijak (al-hukama). Al-Mawardi kemudian mengatakan, “Al-Mulku la yabqa ‘ala azh-zhalim.” (Negara tidak akan langgeng/eksis, jika dipimpin oleh orang yang zhalim).”
Adalah menarik untuk dicermati bersama bahwa Kiai Sahal Mahfudh pun dalam salah satu tulisannya agaknya menyetujui pernyataan Al-Mawardi tersebut. Ia juga mengutip pandangan Ibnu Taimiyah.
Katanya, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zhalim meskipun (negara) muslim. Maka, dalam kerangka berpikir ini, seandainya ada produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya keadilan di masyarakat. Maka harus kita tinggalkan.”
Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Ibnu Taimiyah memang tidak bicara soal keyakinan orang. Biarlah keyakinan pribadi orang, ia serahkan kepada Tuhan. Mereka sedang bicara tentang realitas sosial-politik. Realitas sosial politik yang berlangsung di dunia hari ini juga memperlihatkan pandangan tersebut. []