Mubadalah.id – Jika kita menemukan penafsiran-penafsiran ayat yang mengatakan bahwa kepemimpinan hanya hak kaum laki-laki dan bukan hak kaum perempuan, maka hal tersebut adalah interpretasi yang sarat dengan muatan sosiol, politik dan budaya.
Apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan kontekstual, maka terbuka suatu kemungkinan terjadinya proses perubahan.
Dengan kata lain, menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan terjadinya perubahan pada waktu sekarang. Karena mengingat format kebudayaannya yang sudah berubah.
Dengan cara pandang demikian, setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang harus selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan kebudayaan patriarkhi.
Pada saat yang sama, kita juga tidak selalu dan terus menerus menganggap salah ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggungjawab, pelindung dan pengayom bagi komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan dan kemaslahatan atau kepentingan masyarakat luas.
Penafsiran dengan paradigma seperti ini bukan terbatas pada hubungan laki-laki-perempuan dalam ruang domestik (suami istri). Tetapi juga berlaku untuk semua masalah-masalah hubungan kemanusian yang lebih luas atau persoalan-persoalan partikular lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya.
Persoalan paling signifikan dalam hal ini adalah bagaimana mewujudkan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan atau al-akhlak al-karimah dan hak-hak asasi manusia dalam relasi kehidupan laki-laki dan perempuan.
Akhlak termanifestasi dalam terma-terma kesetaraan manusia, kebebasan, saling menghargai, penegakan keadilan dan kemaslahatan (kebaikan). Memang, terma-terma ini memiliki arti yang relatif.
Namun relatifitas ini justru menjadi dasar bagi kita untuk bisa merumuskan secara bersama-sama persoalan-persoalannya secara tepat dalam konteks dan situasi sosial kita masing-masing secara dinamis di bawah prinsip-prinsip kemanusiaan di atas.
Hal ini terlihat dengan jelas pada saat kira membaca ayat yang membicarakan relasi suami-istri. Atau lebih umum lagi tentang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga). Di situ al-Qur’an hampir selalu menyebu kata-kata bi al-ma’ruf, dengan cara yang baik atau patut. Misalnya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (para istri-mu) dengan cara yang baik dan patut”. (QS an-Nisa, 4: 19). []