Mubadalah.id – Braaa…k!! – Ilustrasi suara terjungkalnya sahabat Abu Hurairah ketika Sayyidina Umar membogem dadanya lumayan keras. Lantarannya jelas. Abu Hurairah menyampaikan kalimat Lā ilāha Illa Allāh.
Kalimat Lā ilāha Illa Allāh merupakan inti dari ajaran Islam yang merepresentasikan tauhid. Dan tauhid salah satu pijakan yang fundamental untuk kesetaraan relasi dan kebebasan dalam hidup menurut kerangka keislaman.
Tapi alasan Sayyidina Umar bukan karena Lā ilāha Illa Allāh yang menciptakan kesetaraan, kebebasan dan menjanjikan surga, bukan itu. Melainkan khawatir para muslim hanya meyakini Lā ilāha Illa Allāh secara pasif, beku, bahkan mati – layaknya agama-agama mengambil alih Tuhan dalam pandangan Karen Armstrong.
Kronologis Pemukulan Abu Hurairah Oleh Sayyidina Umar
Singkatnya, kronologis peristiwa tersebut bermula ketika Abu Hurairah berinisiatif menyusul (mencari) Nabi yang meninggalkan perkumpulan bersama sahabat. Ia bergegas hingga tiba di parit dari sebuah sungai. Tanpa pikir Panjang, ia melewati parit seraya berjongkok layaknya rubah berjalan.
Akhirnya Abu Hurairah menjumpai Rasulullah yang sedikit kaget dan refleks Nabi bertanya,
“Apakah itu Abu Hurairah?”, yang langsung mengiayakannya.
Lalu Nabi menambahkan, “Ada apa Abu Hurairah?”.
Segara Abu Hurairah menceritakan situasi dan kecemasan para sahabat perihal pemimpinnya: Nabi Muhammad. Jadi, “saya mencari sampean yang kujumpai di taman ini. Untuk sampai ke sini, saya rela berjongkok menerobos parit yang sempit layaknya rubah”. Tegas Abu Harairah pada Rasulullah mengenai perjuangannya.
Mendengar cerita Abu Hurairah, Nabi memberikan dua sandalnya dan menyuruh balik seraya berpesan:
قَالَ: اذْهَبْ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ، فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Baliklah kau Abu Hurairah dan bawa dua sandal saya dan beri tahu siapa pun yang kau temui di luar taman ini, jika mereka bersaksi bahwa (Lā ilāha Illa Allāh) tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan benar-benar memiliki keyakinan di hati mereka akan hal ini, maka sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu surga.”
Mendapat instruksi demikian penting yang mengembirakan, Abu Hurairah langsung mengeksekusinya. Umar yang pertama ia jumpai, maka segeralah ia sampaikan pesan Nabi tersebut. Sayangnya, alih-alih bahagia Sayyidina Umar justru geram kepada Abu Hurairah.
Sehingga beliau membogem dada Abu Hurairah sampai terjungkal ke belakang – sebagaimana di awal tulisan. Lalu Umar menyuruh untuk mengkonfirmasi pada Nabi. Keduanya pun sepakat menemui Nabi yang mana Abu Hurairah hampir saja menangis lantaran bogeman Umar.
Sesampainya, Abu Hurairah langsung mengadukan kelakuan Umar. Maka Nabi Muhammad menyuruh dia pulang lebih dulu. Sementara Nabi mengkonfirmasi kebenaran tersebut berikut alasannya kepada Sayyidina Umar. Tapi, lagi-lagi Umar bertindak kontroversi, alih-alih menjawab pertanyaan Nabi, Sayyidina Umar justru bertanya balik.
Ketika Umar Mensomasi Nabi prihal “Lā Ilāha Illa Allāh”
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Demi ibu dan ayah saya! Apakah sampean mengirim Abu Hurairah dengan sandal jenengan dan mengatakan kepadanya untuk memberikan kabar gembira berupa surga kepada orang yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah; orang yang berpegang dengan kalimat Lā ilāha Illa Allāh?’”.
Tanpa menunggu jawaban Nabi, Umar langsung mengajukan ketidak-setujuannya untuk menyebarluaskan “Kalimat Lā ilāha Illa Allāh kala itu” kepada khalayak ramai dan orang-orang awam. Bahkan sedikit mensomasi, beliau matur pada Nabi,
“Mohon jangan sebarkan kalimat Lā ilāha Illa Allāh seperti itu Nabi. Karena saya khawatir orang-orang hanya akan mengandalkan hal ini. Oleh karena itu, lebih baik membiarkan mereka terus melakukan perbuatan baik dan menjalankan perintah agama sehingga mereka menjadi mukmin sejati.
Jika tetap menyebarkannya, maka mereka akan bersandar pada pernyataan “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah: Lā ilāha Illa Allāh”. Dan menganggapnya cukup bekal untuk masuk surga tanpa amal dan kesalehan-kesalehan sosial dan ritual lainnya”. kata Umar yang kemudian Nabi meng-Acc-nya serta menarik kembali perintah sebelumnya, (Sahih Muslim, 1/44 hadis ke 31/52).
Memahami Dialektika di Balik “Lā Ilāha Illa Allāh”
Dari sini kita memahami dealektika ajaran Lā ilāha Illa Allāh tersebut – yang sekarang disampaikan secara cuma-cuma oleh banyak para dai dan minim menceritakan konteks historis dan prinsip ajarannya.
Padahal, Lā ilāha Illa Allāh adalah ajaran tauhid yang sakti karena akan membebaskan dan membangun relasi yang setara antara makhluk. Baik laki-laki maupun perempuan. Inilah makna kalimat “lā ilāha illallāh” yang hendak Nabi sampaikan kepada seluruh mahkluk. Tentu saja, secara konsekuensi logis surga pula ia dapatkan.
Meminjam alur pikir ushul fiqh, pesan di balik keyakinan “lā ilāha illallāh” memang adalah tiket surga. Hanya saja pesan tersebut bersifat tab’an (pemahaman sekunder yang tegas dari teks). Sedangkan spirit dari pesan “lā ilāha illallāh” yang asasi adalah kesetaraan dan kebebasan. Inilah yang dikenal dengan makna ashalatan (pemahaman primer yang tandas dari teks).
Sayangnya, tidak semua orang Islam bahkan tidak semua sahabat yang mampu menangkap makna ashalatan (primer) tanpa perenungan mendalam. Justru logikanya bagi kebanyakan orang, kalau sudah mengimani kalimat “lā ilāha illallāh” sudah dapat tiket surga.
Implikasinya, acap kali mereka lalai pada ibadah-ibadah sosial lainnya. Inilah sesungguhnya yang dikhawatirkan Umar sehingga mensomasi Nabi untuk tidak menyebarluaskan pesan tersebut – kala itu. Umar khawatir ajaran “lā ilāha illallāh”diyakini secara beku dan pasif. Layaknya tumbuhan herbal yang menyehatkan hanya jadi keindahan taman.
Proklamasi “lā Ilāha Illallāh”: Antara Keesaan, Kebebasan dan Kesetaraan
Harusnya, kalimat “Lā Ilāha Illallāh” dipahami sebagai proklamasi tentang keesaan Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan memproklamasikan ketauhidan: “lā ilāha illallāh”, menurut Kang Faqihuddin, berarti menyatakan dua hal.
Pertama, pengakuan akan keesaan Allah Swt sebagai Tuhan. Kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tiada tuhan selain Allah Swt, berarti sesama manusia tidak boleh ada yang menjadi tuhan terhadap yang lain.
Lebih jauh, Kang Faqih menandaskan, “Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya. Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal di mana keduanya adalah setara, sesama hamba-Nya dan sama-sama sebagai manusia bermartabat”.
Namun hanya segelintir sahabat yang memahami ajaran tauhid demikian mendalam. Sahabat yang sadar bahwa ajaran tersebut merupakan pembebasan dan kesetaraan di antara makhluk-makhluk Tuhan. Antara lain adalah sahabat Mu’ad bin Jabal – selain pembesar sahabat lainnya.
Oleh karena itu, dalam suatu perjalanan bersama Mu’ad, Nabi menyampaikan ajaran sakti tersebut: “Lā Ilāha Illa Allāh”. Ajaran yang mengunci neraka dan membuka pintu surga. Dan tentu, Nabi tak merestui bila Mu’ad menyampaikan ajaran tersebut kepada khalayak ramai yang memahami ajaran itu secara pasif, (Sahih Muslim, 1/45 hadis ke 32/53).
Segelintir sahabat itu – yang Nabi ajarkan tauhid – konsekuen betul dengan kalimat “Lā Ilāha Illa Allāh” dan memanifestasikan dalam nilai kesetaraan dan pembebasan. Logikanya, bagi mereka, dengan meyakini dan menghayati kalimat “Lā Ilāha Illa Allāh” tersebut, justru mendorong seorang hamba untuk lebih giat lagi melakukan amal-amal ibadah lainnya.
Salat, puasa, haji, dan amal-amal ibadah sosial lainnya, suka berderma, rukun tetangga dan kesetaraan dalam semua relasi, adalah hal yang esensi. Karena ibadah-ibadah tersebut merupakan cakupan dan implementasi dari mengimani kalimat “Lā Ilāha Illa Allāh” itu sendiri. []