• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Al-Qur’an dan Selawat: Potret Keteladanan KH Mufid Mas’ud dalam Khotmil Qur’an Ponpes Sunan Pandanaran

Mengamalkan setiap isi kandungan dari lantunan-lantunan ayat di dalamnya adalah esensi dari perjalanan yang tidak akan pernah usai

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
28/02/2024
in Hikmah
0
Al-Qur'an dan Selawat

Al-Qur'an dan Selawat

477
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Malam kemarin, tepat pada 17 Sya’ban 1445 H, untaian selawat bergema di bumi Pesantren Sunan Pandanaran. Semacam menjadi rutinitas, lantunan sholawat tersebut seolah-olah turut menyempurnakan resepsi Khotmil Al-Qur’an yang ke-50 itu.

Al-Qur’an dan selawat, bagi KH Mufid Mas’ud merupakan dua senjata utama yang menemani perjalanan hidup manusia. Ibaratnya, Al-Qur’an di tangan kanan, selawat di tangan kiri. Artinya, bagi kiai Mufid, Al-Qur’an dan selawat adalah dua kepribadian yang tidak terpisah. Keduanya adalah “senjata” untuk menghadapi problematika umat. 

Memang dalam berbagai catatan menyebutkan, di tengah berbagai kesibukan kiai Mufid sebagai ulama Al-Qur’an, Beliau tidak pernah lalai untuk murojaah dan merapalkan selawat. Di mana puncak selawat tersebut adalah selawat Dalailul Khairat. Meski berada di dalam perjalanan sekalipun.

Keistiqomahan Kiai Mufid dalam tadarus Al-Qur’an dan merapal selawat menjadi sebuah keteladanan bagi para santrinya. Ustadz Yusuf Ahsani dalam majalah Pandanaran edisi 2015 menuturkan hal demikian.

Menurut kesaksiannya Kiai Mufid selalu menjaga keistiqomahan tersebut. Bahkan ketika dalam perjalanan sekalipun, Kiai Mufid selalu dalam keadaan terjaga. Di mana sepanjang perjalanannya, Beliau senantiasa bertadarus Al-Qur’an, membaca selawat, dan wirid lainnya.

Baca Juga:

Tujuan Utama Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an

Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an

Ada kenangan menarik dari Abdul Fattah, seorang santri asal Garut yang mondok sejak tahun 1994. Kira-kira begini ia menceritakan:

“Mobil Bapak (panggilan untuk Kiai Mufid) ada kendaraan terunik yang pernah saya dijumpai. Sebab, setiap Beliau menghadiri undangan dan mengajak santrinya, di dalam mobil tidak boleh ada AC yang menyala atau kaca mobil yang terbuka. Padahal dresscode wajib santri saat itu adalah setelan jas, sarung, baju dalam dimasukkan ke sarung. Di dalam mobil juga tidak boleh ada suara radio atau candaan. Ketika pintu mobil tertutup, hanya bacaan wirid, selawat, dan lantunan Al-Qur’an yang boleh mengiringi perjalanan beliau.”

Kiai Mufid dan Pesantren Sunan Pandanaran

20 Desember 1975 merupakan awal berdirinya Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA). Bersama istrinya, Hj. Jauharah Munawwir, Kiai Mufid memulai era baru dalam mendiseminasikan dakwah Islam.

Sebagai menantu dari Kyai Munawwir, Krapyak, seorang legenda ulama Al-Qur’an, Kiai Mufid awalnya juga ikut membantu mengajar di sana bersama sang istri.

Kemudian atas isyarat dari KH Abdul Hamid Pasuruan, dan atas izin dari keluarga Krapyak, Kiai Mufid sekeluarga kemudian berhijrah ke daerah Sleman Utara. Tepatnya di kawasan Jalan Kaliurang 12.5 KM, Candiwinangun, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Atau sebelah selatan dari Universitas Islam Indonesia (UII) sekarang ini.

Di sana Beliau membangun sebuah mushola dengan bangunan kecil di atas tanah wakaf seluas 2000 m2 dari Nyai Abdullah Umar dan H. Masduki Abdullah.

Nama “Sunan Pandanaran” sendiri beliau nisbatkan kepada leluhurnya. Kiai Mufid memang masih mempunyai garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Pandanaran, sosok wali besar murid dari Sunan Kalijaga yang makamnya terletak di Bayat, Klaten. Kiai Mufid merupakan keturunan yang ke-12.

Sejak kecil, Beliau memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Meski keluarganya hanya seorang buruh batik dengan segala keterbatasan perekonomiannya. Akan tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat Mufid kecil untuk menuntaskan rasa hausnya terhadap ilmu pengetahuan.

Sanad  Al-Qur’an Kiai Mufid sendiri berasal dari kiai sekaliber pada masa itu, antara lain: Kiai Muntaha Kalibeber, Wonosobo, Kiai Dimyati Comal, Pemalang, dan Kiai Abdul Qodir Munawwir Krapyak. 

Berkat keistiqomahan dan ketelatenan yang Beliau iringi dengan laku tirakat dan riyadlah, mengantarkan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran bisa berkembang pesat seperti saat sekarang. 

Potret Keteladanan dalam Haflah Khotmil Qur’an

Mengikuti Khotmil Qur’an, apalagi bagi yang telah selesai menuntaskan hafalannya tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Meski bukan untuk dibangga-banggakan (dan memang bukan itu tujuannya), Khotmil Qur’an adalah momen spesial yang mampu membuat haru setiap mata yang menyaksikannya.

Haflah Khotmil Qur’an Ponpes Sunan Pandanaran kerap menggelar selawat akbar bersama Habib Syekh bin Abdul Qodir As-Segaf. Hingar-bingar dari para santri dan pengunjung cukup membuat momen tersebut menjadi semakin meriah.

Ketika keluarga ndalem dalam sambutannya menyebutkan, bahwa adanya pesantren Sunan Pandanaran adalah warisan dari Kiai Mufid Mas’ud, saya kemudian tidak melihat momen tersebut sebatas seremonial belaka. Jika kita membaca sirah perjalanan kiai Mufid (dan menurut saya ini adalah kewajiban sebagai santrinya), Al-Qur’an dan selawat adalah utama senjata bagi Beliau yang harus selalu kita ingat dan kita teladani.

Lagi-lagi momen haflah Khotmil Qur’an yang dibarengi dengan acara Pandanaran Bershalawat menurut saya menjadi pengingat akan hal itu. Bahwa tidak hanya Al-Qur’an yang Kiai Mufid wariskan, tetapi selawat juga tidak boleh kita lalaikan. Apalagi momen tersebut selalu terlaksana setiap malam 17 Sya’ban. Yakni bulan penuh keagungan di mana umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak selawat di dalamnya.

Spirit kiai Mufid ini semoga selalu menjadi ruh untuk melanjutkan misi perjuangan Beliau. Al-Qur’an di tangan kanan. Selawat di tangan kiri. Tentu juga tidak berhenti di situ. Memahami, menghayati, dan mengamalkan setiap isi kandungan dari lantunan-lantunan ayat yang ada di dalamnya adalah esensi dari perjalanan yang tidak akan pernah usai. []

 

Tags: al-quranKhotmil Qur'anKiai Mufid Mas'udPandanaran BersholawatPondok Pesantren Sunan Pandanaran
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @muhnasruddin_

Terkait Posts

Oligarki

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

4 Juli 2025
Islam Harus

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Beda Keyakinan

    Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID