Kejadian itu jelas sekali memberikan pengetahuan kepada kita bahwa dia, laki-laki tadi, adalah orang kafir dalam hatinya (munafik). Dia mengucapkan kalimat Tauhid itu karena takut di bunuh. Meskipun demikian, Rasulullah Saw memerintahkan agar kita tidak menyakiti atau membunuhnya.
Mubadalah.id – Disebutkan dalam Hadis Sahih begini: Usamah bin Zaid, seorang sahabat Nabi, berkata, “Nabi Saw menugaskan kami mendatangi komunitas Juhainah. Aku lalu mendatangi seseorang dari mereka, kemudian aku hunuskan pedang.”
Orang tadi kemudian mengucapkan, “La Ilaha Ilallah. Meski dia mengucapkan kalimat tersebut aku tak peduli. Aku ayunkan pedang itu ke tubuhnya dan dia mati. Sesudah itu aku segera menemui Nabi dan menceritakan peristiwa tersebut.”
Nabi mengatakan, “Apakah kamu telah membunuh dia, padahal dia sudah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?.” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, Dia mengucapkannya hanya untuk melindungi diri.” Nabi mengatakan, “Apakah kamu sudah membelah hatinya?” (HR Muttafaq ‘alaih).
Dalam sebuah penjelasan atas Hadis ini disebutkan bahwa laki-laki yang di bunuh Usamah itu adalah orang yang dulu pernah membunuh muslim lain. Ketika Usamah menghunuskan pedangnya, dia tiba-tiba mengucapkan, La Ilaha Illallah.
Tidak Menyakiti dan Membunuhnya
Kejadian itu jelas sekali memberikan pengetahuan kepada kita bahwa dia, laki-laki tadi, adalah orang kafir dalam hatinya (munafik). Dia mengucapkan kalimat Tauhid itu karena takut di bunuh. Meskipun demikian, Rasulullah Saw memerintahkan agar kita tidak menyakiti atau membunuhnya.
Bahkan meski di kemudian hari mungkin kita sendiri terganggu akan tindakan-tindakan mereka. Ini bukti paling agung bahwa kata La Ilaha Illailah telah mengharamkan kita, darah orang yang mengucapkannya, meskipun taruhlah kita yakin bahwa dia berbohong.
Dalam kitab Hadis Syarh Misykat al-Mashabih, dikatakan, “Kesimpulannya adalah bahwa Usamah menganggap dirinya melakukan sesuatu yang dibenarkan menurut pemahamannya, tetapi Nabi melarangnya. Karena tidak ada alasan dia (untuk membunuhnya). Yakni dia tidak mengetahui isi hati orang yang dibunuh tadi.
Hal ini juga berarti sebuah pelajaran bahwa yang bisa diperintahkan kepada kita untuk menghukumi orang adalah perbuatan lahir dan pernyataan verbalnya. Sementara isi hati hanya Tuhan yang Mengetahui.
Imam Nawawi mengatakan, “Tidak ada jalan bagi kalian untuk mengetahui apa yang ada di dalam hati orang.” Nawawi kemudian melanjutkan, “Anda tidak punya kemampuan mengetahui hal ini. Maka anda hanya bisa menghukumi berdasarkan ucapannya dan jangan mencari-cari yang lain.”
Ini kemudian menjadi dasar bagi kaedah fiqh yang terkenal, ”Manusia menghukumi orang hanya berdasarkan atas fakta lahir. Hanya Allah semata yang mengetahui hal-hal yang tak kasat mata.”
Hal yang sama juga terjadi pada peristiwa yang lain. Suatu hari Umar bin Khatthab dan Khalid bin Walid melihat orang yang menentang keputusan Nabi yang sesungguhnya sudah adil. Mereka marah.
Umar mengatakan, “Biarkan kami menampar orang ini, wahai Rasulullah”. Nabi menjawab, “Jangan, siapa tahu dia masih shalat.” Khalid menguatkan Umar dengan mengatakan, “Berapa banyak orang yang mengaku shalat, Tetapi hatinya justru menentang.”
Nabi Saw mengatakan, “Aku tidak diperintahkan untuk mengamat-amati hati orang dan tidak juga disuruh membelah dada mereka. Ini merupakan kata-kata paling jelas untuk mengambil kesimpulan hukum berdasarkan fakta. []