Mubadalah.id – Ramadan tahun ini aku senang sekali bisa ikut ngaji di kampus Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Kitab yang dikajinya pun beragam, salah satunya adalah kitab Sittin al-‘Adliyah karya Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, yang dikaji oleh Ibu Nyai Nurul Bahrul Ulum.
Pada pertemuan pertama, Ibu Nurul menjelaskan bahwa kitab Sittin al-‘Adliyah merupakan kumpulan Hadis shahih yang bertujuan untuk menguatkan hak-hak perempuan dalam Islam.
Menurutku kitab ini penting sekali untuk dikaji, terutama di lingkungan pondok pesantren. Pasalnya selama ini aku sering mendengar bahwa perempuan itu kodratnya adalah mengerjakan pekerjaan domestik. Seperti mencuci, memasak, membereskan rumah, mengasuh anak dan juga melayani suami.
Karena itu, maka enggak heran kalau di kampungku, perempuan-perempuan, terutama yang sudah menikah akan bertanggungjawab sepenuhnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Termasuk di bulan Ramadan.
Kita tahu bersama bahwa selama bulan Ramadan pekerjaan rumah itu semakin banyak dan tidak ada beresnya. Karena setiap hari harus menyiapkan makanan untuk berbuka dan sahur. Di sisi lain, dengan kesibukan menyiapkan hidangan tersebut, pekerjaan yang lain seperti cuci piring, beberes rumah, cuci pakaian dan yang lainnya juga semakin banyak.
Karena itu, di bulan penuh berkah ini, perempuan di kampungku hanya akan berkutat di wilayah dapur saja. Padahal menurutku ada banyak tradisi dan kegiatan-kegiatan ibadah lain yang bisa dilakukan oleh perempuan selama Ramadan.
Bukan Kodrat Perempuan
Melihat kondisi ini, aku rasa hadis-hadis yang ada dalam kitab Sittin al-‘Adliyah ini penting untuk terus disampaikan pada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga keduanya bisa paham bahwa kodrat perempuan itu bukan terkait dapur, sumur saja.
Sebagai manusia utuh, laki-laki dan perempuan harus sama-sama bekerjasama dalam setiap kebaikan, termasuk pada hal mengerjakan pekerjaan domestik. Di sisi lain, Nabi juga dalam salah satu hadisnya telah mencotohkan bahwa laki-laki juga perlu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Bunyi Hadis tersebut ialah:
عن الأسودِبن يزيد قال: سألتُ عائشة ما كان النّبيُّ صلى الله عليه و سلم يَصْنَعُ في بَيْتِهِ قَالت كَان يَكُونُ في مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْني خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاةُ قَامَ إلى الصّلاةِ. رواه البخاري .
Artinya: Aswad bin Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah Radhiallahu Anhu. mengenai apa yang diperbuat Nabi Muhammad Saw di rumah. Aisyah menjawab, ‘beliau selalu membantu keluarganya, dan ketika datang waktu shalat, beliau bergegas pergi untuk melaksanakan shalat’. (HR. Shahih Bukhari).
Tanggungjawab Bersama
Dari hadis di atas kita bisa belajar bahwa Nabi sebagai teladan umat Islam telah mencontohkan bahwa pekerjaan domestik itu bukan semata-mata hanya tugas perempuan, tetapi tanggungjawab bersama, suami dan istri.
Sejalan dengan itu, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku 60 Hadis Shahih menyampaikan bahwa hadis tersebut merupakan gambaran relasi Nabi dengan istrinya yang jarang dipopulerkan. Padahal hal tersebut merupakan teladan yang sangat baik.
Masih dalam hal yang sama, Kiai Faqih dalam buku “Perempuan bukan Makhluk Domestik “ juga menjelaskan bahwa pekerjaan domestik harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama di dalam rumah. Segala aktivitas di dalamnya menjadi kepentingan keluarga, seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, juga menjaga, menemani, dan mendidik anak.
Oleh karena itu, mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas-tugas domestik bukan hanya tanggungjawab perempuan. Tetapi merupakan tanggungjawab bersama dalam menjalankan rumah tangga. Tentu saja hal ini dapat membuat relasi suami dan istri menjadi lebih harmonis dan romantis. []