Mubadalah.id – Hallo sahabat salingers, mari kita buka artikel ini, dengan sebuah ayat yang sangat indah mengenai Kisah Nabi Ibrahim dan Putranya Nabi Ismail.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat: 102).
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya, mimpinya para Nabi dan Rasul adalah wahyu, yang artinya wajib untuk dilaksanakan, namun istimewanya Nabi Ibrahim justru meminta pendapat anaknya, Ismail.
Inilah kemudian yang akan kita bahas, bagaimana hikmah berkurban dan Belajar Jadi Ayah yang Komunikatif Dari Nabi Ibrahim.
Nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Ibrahim
Melansir Gontornews, berikut adalah beberapa nilai pendidikan dalam QS Ash-Shaffat: 102, yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Pertama, mendidik kita menjadi hamba yang cinta kepada-Nya dan memuliakan kedua orangtua karena Allah.
Kedua, mendidik kita menjadi hamba yang lemah lembut dan sopan santun dalam bertutur kata (berkomunikasi).
Ketiga, mendidik kita agar senantiasa menyadari bahwa apa yang kita miliki itu milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Keempat, mendidik kita menjadi hamba yang sabar, patuh, Ikhlas, shalih dan taat akan perintah Allah.
Bagaimana menjadi Ayah yang Komunikatif
Hari ini, kita banyak sekali mendapati anak menjadi yatim secara sosial. Artinya apa? Mereka masih memiliki ayah, namun mereka kehilangan peran ayah tersebut. Anak-anak, kurang dekat dengan ayahnya, sehingga emosional antar keduanya tidak terpaut.
Lalu bagaimana menjadi ayah yang komunikatif merujuk pada kisah Nabi Ibrahim?
Pertama Memperhatikan hak-hak anak, baik hak pendidikan ataupun hak asuhnya. Nabi Ibrahim telah memenuhi hal ini, dengan mencintai Nabi Ismail dengan paripurna serta mengajarkan tauhid kepada sang buah hati dengan totalitas.
Kedua, Melibatkan anak dalam proyek-pyoyek kebaikan, hal ini Nabi Ibrahim contohkan juga dengan mengajak Nabi Ismail, meninggikan Ka’bah.
Ketiga, Banyak ngorbol dan diskusi dengan anak. Hal ini adalah puncak nilai komunikasi yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, yakni tatkala beliau meminta pendapat anaknya mengenai wahyu yang telah ditetapkan kepadanya melalui mimpi.
Hikmah Berkurban (1)
Karena kerelaan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah. Pengorbanan keduanya, diiringi oleh tangis para Malaikat, Hingga Allah putuskan untuk mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba yang sangat besar.
Allah SWT. berfirman mengenai peristiwa kurban ini di dalam Alquran, Surah As-Shaffat, ayat 103-109:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Selamat sejahtera bagi Ibrahim’.”
Dari Kisah Nabi Ibrahim itulah, kemudian menjadi penetapan hari raya kurban, yang kita lakukan sampai hari ini. Nama keduanya harum, dalam catatan sejarah orang-orang sholeh, yang tercatat abadi dalam kitab suci dan dalam tindakan orang-orang beriman.
Kesimpulan
Sejatinya, semua hal yang kita miliki adalah milik Allah. Maka, sewaktu-waktu, jika Allah ingin mengambilnya, hati kita harus penuh kerelaan untuk mengembalikannya. Ismail kita boleh jadi adalah rumah kita, boleh jadi adalah kendaraan mewah yang sering menemani perjalanan.
Ismail dalam diri kita, boleh jadi adalah rasa malas atau hawa nafsu yang berlebihan dalam mencintai dunia ini. Maka, dalam momentum Idul Adha ini, mari sama-sama kita sembelih, hal-hal yang tidak layak ada dalam diri ini.
Jika belum mampu untuk menyembelih, hewan kurban, maka memperbaiki diri dan terus mendekatkan diri kepada Allah, adalah pilihan yang terbaik yang kita miliki. Allahu alam. []