• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

Saya meyakini, esensi dari berkurban bukanlah hanya suatu kegiatan menyembelih hewan kurban lalu membagikan pada masyarakat setempat

Layyin Lala Layyin Lala
18/06/2024
in Personal
0
Kurban Perasaan

Kurban Perasaan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hari Raya Iduladha menjadi momen sakral bagi Umat Islam di seluruh dunia. Hari Raya Iduladha menjadi tanda  selesainya rangkaian Ibadah haji pada tahun tersebut yang kemudian terdapat kegiatan Ibadah kurban.

Kurban sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti sebagai persembahan kepada Allah (penyembelihan berupa biri-biri, sapi, unta, yang pada lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan Muslim kepada-Nya. Umumnya, kegiatan kurban merupakan memiliki aktivitas penyembelihan hewan ternak berkaki empat yang kemudian masyarakat setempat akan menerima hasil daging penyembelihan.

Jika ada pertanyaan mengenai “Kurban apa pada hari Raya Iduladha tahun ini?” tentunya jawaban yang logis untuk dikatakan adalah menjawab jenis hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, atau unta.

Ah bagi masyarakat Indonesia, kita tidak pernah berhenti mendengar candaan orang-orang yang ditanya sedang bekurban apa malah menjawab “Kurban Perasaan”. Lucu! Hebatnya, candaan ini selalu ada setiap tahun khususnya saat Hari Raya Idul Adha tiba!

Istilah Kurban Perasaan

Saya yakin, hampir Sebagian masyarakat sudah sangat familiar dengan candaan “Kurban Perasaan”. Istilah ini, seringkali terlontar dari kondisi seseorang yang belum dapat menunaikan kegiatan berkurban (membeli hewan ternak sebagai sebagai kurban) secara dzahir namun ingin memasukkan unsur “candaan” yang seringkali tertuju pada pengorbanan perasaan, kondisi hati, atau cinta.

Baca Juga:

KB dalam Pandangan Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Saya jadi teringat beberapa komentar netizen di X (twitter) mengenai jokes ini beberapa tahun lalu. Sebuah influencer (selebtwit) menanyakan “Kalian kurban apa tahun ini?” sungguh banyak jawaban yang menggelitik perut, dianaranya jawaban seperti “Masih kurban perasaan sama orang yang I can’t have, nder!”, “Kurban kali ini masih tetap…kurban perasaan!” dan masih banyak jokes lainnya.

Tapi, pada sisi lainnya banyak orang yang menganggap bahwa istilah “Kurban Perasaaan” adalah candaan lama yang cenderung “basi”. Karena setiap tahun candaan ini selalu ada, maka banyak orang yang sudah merasa “tidak lucu” lagi untuk dipakai.

Memaknai Istilah Kurban Perasaan

Bagi saya, lucu atau tidak lucunya candaan ini adalah hal yang biasa. Namun, ada satu hal yang membuat saya selalu memikirkan mengenai istilah “kurban perasaan”. Jika kita kembali pada sejarah kurban, maka kita akan kembali pada cerita Nabi Ibrahim AS.

Sebuah kisah yang Nabi Ibrahim AS mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Nabi Ismail AS yang waktu itu masih kanak-kanak. Menempatkan posisi pada kondisi mereka saat itu, tentu bukanlah suatu hal yang mudah.

Nabi Ibrahim AS sendiri sangat mendambakan putra pada usianya yang telah renta. Setelah Allah memberikan Nabi Ismail AS melalui Ibu Siti Hajar, Beliau membesarkan Nabi Ismail AS dengan cara yang tidak mudah. Masih ingatkah kita mengenai kisah Ibu siti Hajar? Peristiwa saat Ibu Siti Hajar berlarian menuju bukit Safa dan Marwa berkali-kali dengan tujuan mendapatkan air untuk Nabi Ismail yang saat itu masih bayi. Bagaimana perasaannya? Tentu sangat kalut.

Bayangkan saja, padang pasir yang tandus, cuaca yang panas, air yang jarang, namun Ibu Siti Hajar masih menghadapi kesulitan lainnya saat Nabi Ismail AS menangis karena kehasuan. Pastilah hal itu menjadi kondisi yang berat, kalut, dan mungkin saja membuat susah Ibu Siti Hajar. Namun, Ibu Siti Hajar memilih untuk berikhtiar sambal terus berdoa.

Setiap Kita adalah Ibrahim

Mari bayangkan lagi, Ketika Nabi Ibrahim AS sedang membesarkan Nabi Ismail AS, kemudian mendapatkan mimpi dari Allah untuk menyembelih putranya? Bagaimana perasaan beliau waktu itu? Pastinya resah dan kalut.

Beliau telah mendambakan putra dalam kurun waktu yang lama namun saat putranya besar, beliau medapati sebuah utusan untuk menyembelih putranya sendiri. Namun apa yang beliau lakukan? Beliau tetap menyembelih Nabi Ismail AS dan menjalankan perintah Allah.

Saya jadi teringat sebuah pesan yang saya temukan dulu di media sosial dan masih saya baca hingga saat ini  khususnya pada saat Hari Raya Iduladha

“Setiap kita adalah Ibrahim. Ibrahim punya ‘Ismail!” Ismailmu mungkin hartamu. Ismailmu mungkin jabatanmu, Ismailmu mungkin gelarmu. Ismailmu mungkin egomu, Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini. Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena hakikatnya semua adalah milik Allah.”

Iduladha adalah tentang percaya dan ikhlas, dua hal yang sungguh berat. Banyak hal-hal yang dulu biasa sekarang terasa ‘mewah’. Banyak yang kita rasa sudah jadi bagian hidup kita namun ternyata harus kita lepas.”

Esensi Berkurban dan Istilah “Kurban Perasaan”

Saya meyakini, bahwa esensi dari berkurban bukanlah hanya suatu kegiatan menyembelih hewan kurban lalu membagikan pada masyarakat setempat. Sejarah dari kurban itu sendiri menyadarkan kita mengenai bagaimana teladan Nabi Ibrahim AS dan Ibu Siti Hajar yang secara implisit juga “mengorbankan perasaan” saat menghadapi masa-masa sulit.

Jika saja beliau-beliau tidak “mengorbankan perasaannya”, bisa jadi Nabi Ismail AS akan dibiarkan kehausan hingga sakit oleh Ibu Siti Hajar atau Nabi Ibrahim AS yang menolak perintah Allah.

Ah, rasanya candaan “Kurban Perasaan” jika kita maknai secara mendalam bukanlah sebuah candaan biasa. Ada begitu makna implisit didalamnya. Ada begitu banyak pengajaran, hikmah, dan teladan pada kisah sejarah kurban itu sendiri termasuk nilai-nilai menjadi pribadi muslim yang selalu berikhtiar, bertawakkal, dan tidak egois dalam melakukan sesuatu.

Ah, namun jangan terlalu serius juga jika jawaban “Kurban Perasaan” masih mewarnai pertanyaan “Kurban apa tahun ini?” itu berarti seseorang tidak benar-benar akan menyembelih hatinya untuk digunakan berkurban. Anggap saja, sebuah jawaban untuk beragama dengan cara yang menyenangkan. []

Tags: Hari Raya Iduladha 1445 HIbadah KurbanislamKurban PerasaanNabi Ibrahim ASNabi Ismail Assejarahsiti hajar
Layyin Lala

Layyin Lala

Khadimah Eco-Peace Indonesia and Currently Student of Brawijaya University.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version