Mubadalah.id – Sebagai makhluk sosial, kita tak dapat berdiri di atas kaki sendiri. Kita pasti membutuhkan individu lain selama masih hidup, khususnya dalam memenuhi kebutuhan hidup kita. Demikian pula orang lain juga membutuhkan kehadiran kita dalam kehidupan mereka. Lalu apa kaitannya dengan seni Pagar Mangkok dalam hidup rukun dengan tetangga? Simak penjelasannya!
Sebagai manusia, konsep saling melengkapi dan saling membutuhkan satu sama lain dengan kemahiran di bidang masing-masing adalah sebuah keniscayaan. Orang lain butuh kita, kita pun butuh orang lain. Begitu kira-kira.
Sebagai contoh bahwa kita butuh orang lain, dari segi kebutuhan pangan. Misalnya, kita membutuhkan petani yang menanam padi, nelayan yang menjala ikan, pedagang yang menjual bumbu-bumbu dapur, dan seterusnya. Atau misal dari segi kesehatan, kita butuh dokter saat kita sakit; kita juga butuh pihak-pihak tertentu (biasanya saudara atau tetangga) yang menemani dan mengantarkan kita berobat ketika sedang tidak sehat.
Pada intinya, sebagai manusia biasa, kita pasti membutuhkan “bantuan” dari orang lain dalam hal atau pada saat-saat tertentu, tak terkecuali dari tetangga.
Hidup berdampingan dengan tetangga bagi masyarakat kita adalah hal yang lazim. Dalam kultur Bangsa Indonesia sendiri, sudah jamak kita ketahui bahwa masyarakat kita terkenal sebagai individu yang ramah. Punya jiwa sosial yang tinggi, dan gemar bergotong royong bersama para tetangga dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Terlebih bagi kita yang hidup di lingkungan pedesaan.
Hidup Berdampingan dengan Tetangga
Selanjutnya, hidup berdampingan dengan tetangga sendiri ditengarai bisa menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Hal ini sejatinya tergantung dan ditentukan dengan bagaimana cara kita bertetangga. Bila kita dapat hidup bertetangga secara baik, tentu kita akan banyak menuai hal baik pula. Tetangga kita akan jadi kawan. Mereka akan sangat peduli dan sayang kepada kita, bahkan melebihi saudara/ keluarga sendiri.
Namun sebaliknya, bila kita tak mampu hidup bertetangga secara baik, apalagi malah menjadi pribadi yang toksik bagi tetangga sekitar, maka hal-hal yang kurang baiklah yang akan kita rasakan dan dapatkan. Berbagai konflik dan intrik dengan tetangga akan menjadi ‘santapan’ sehari-hari. Naudzubillah.
Dari sebab-akibat yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan bertetangga sebagaimana saya sebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa untuk dapat hidup bertetangga dalam iklim yang kondusif. Tentu saja kita membutuhkan ‘strategi khusus’. Dengan kata lain, idealnya hidup bertetangga itu ya harus ada ‘seninya’. Ya, kita butuh seni tentang bagaimana cara kita dapat hidup bertetangga dalam keadaan yang rukun dan damai.
Nah, di antara sekian cara yang dapat kita tempuh untuk mewujudkan kehidupan bertetangga dalam keadaan yang rukun dan damai ialah dengan mengimplementasikan “seni pagar mangkok”. Lalu, sebenarnya apa sih maksud dari “seni pagar mangkok” ini? Kenapa “seni” ini bisa jadi opsi bagi kita dalam meraih kehidupan bertetangga dalam iklim yang kondusif? Yuk, kita bahas!
Menilik Seni Pagar Mangkok
Seni pagar mangkok ini maksudnya adalah kebiasaan baik yang harus kita lakukan, yakni berupa gemar berbagi makanan kepada tetangga kita. Dengan kebiasaan baik tersebut, kita harapkan hubungan baik dengan tetangga sekitar dapat senantiasa “terpagari” alias selalu terjaga secara apik.
Di samping itu, kebiasaan baik gemar berbagi demikian ini, atau kalau dalam Bahasa Jawa diistilahkan ‘nyah-nyoh’ (sangat dermawan), juga diharapkan mampu meredam titik-titik rentan pemicu konflik dan intrik antar tetangga yang salah satunya ialah sebab perihal ‘urusan perut’ alias makanan.
Kita tahu sendiri, masyarakat Indonesia, lebih-lebih masyarakat Jawa itu sangat sensitif dalam hal ‘urusan perut’. Dalam realita yang penulis amati dan sering terjadi adalah tetangga akan merasa ‘kecewa’ bila tahu kita punya banyak makanan, namun enggan berbagi kepada mereka. Tak jarang, gegara hal demikian ini, kita jadi ‘buah bibir’ mereka selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Menurut hemat penulis, fakta di lapangan ini mungkin saja disebabkan oleh faktor tingkat kesejahteraan hidup masyarakat kita yang masih tergolong biasa-biasa saja, bahkan ada yang di bawah standar biasa.
Selain itu, budaya ‘guyub rukun’ yang merupakan warisan turun temurun dari para leluhur bangsa ini juga masih terjaga dengan begitu apik dalam tradisi kehidupan masyarakat kita hari ini. Sehingga, bila kita tidak menyesuaikan diri dengan hal-hal demikian ini, sudah pasti kita akan dikucilkan oleh para tetangga kita.
Berbagi Makanan
Maka dari itu, seni pagar mangkok hadir untuk mengatasi problematika ‘urusan perut’ yang sering terjadi dalam kehidupan bertetangga kita. Dalam hemat penulis, lebih baik kita ‘kehilangan’ sebagian makanan dari ‘mangkok’ kita daripada harus kehilangan iklim kehidupan bertetangga yang kondusif. Toh berbagi makanan termasuk sedekah yang bernilai ibadah di mata Allah SWT bila kita ikhlas lillahi ta’ala.
Dengan membiasakan diri gemar berbagi makanan kepada para tetangga sekitar. Percayalah bahwa mereka akan sangat menyayangi, menghormati, dan menaruh rasa peduli yang mendalam kepada dirimu.
Oleh sebab itu, sudah semestinya kita menggunakan sekaligus menjadikan sebagian ‘mangkok’ yang kita punya sebagai ‘pagar’ yang dapat memproteksi hubungan kita dengan para tetangga sekitar. Tujuannya agar tetap utuh, kuat dan tidak goyah, serta senantiasa baik-baik saja. Sudah berbagi makanan dengan tetangga sekitar kita hari ini, kawan? []