Mubadalah.id – Dengan merujuk pada norma fikih Islam dan fakta sosial keluarga di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan ijtihad kolektif ulama Indonesia mengenai tiga macam harta dalam perkawinan yaitu harta bersama (gono-gini), harta pribadi suami, dan harta pribadi istri, masing-masing diatur menurut hukumnya sendiri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya harta bersama tidak menutup adanya harta milik masing-masing suami-istri. Harta istri yang merupakan perolehan pribadi adalah hak istri dan ia berkuasa penuh atasnya.
Demikian pula harta suami. Harta bawaan, warisan, mahar, hibah, shadaqah, gaji, dan penghasilan pribadi istri adalah hak pribadi istri.
Suami tidak boleh menggunakan harta istrinya tanpa seizin istrinya, begitu pula sebaliknya, kecuali yang sudah keduanya telah menyepakati atau sudah jelas mereka ketahui bahwa pemilik harta pasti merelakan penggunaan hartanya oleh pasangannya.
Dalam fikih praktik seperti ini ada kaedahnya, yakni:
يجوز آخدْ ما ل الغير مع ظن رضا ه
Artinya: “Boleh menggunakan harta kekayaan pihak lain dengan dugaan kuat dia merelakannya.”
Meskipun demikian baik suami maupun istri sama-sama wajib menjaga harta bersama, harta pribadinya, maupun harta milik pasangannya dengan penuh tanggung jawab, baik di hadapan hukum negara maupun di hadapan Allah SWT.
Sebagai pemilik harta, istri memiliki hak, kewajiban, sekaligus tanggung jawab atas hartanya di dunia dan akhirat. Kewajiban zakat melekat pada istri yang memiliki harta gono-gini dan harta pribadi yang sudah mencapai nishab.
Demikian pula perintah berinfak, bersedekah, berjuang, serta mentasharrufkan (mempergunakan) harta sesuai perintah agama. Dengan harta pribadinya, istri berhak pula membantu orang tua, keluarga dan masyarakatnya tanpa harus izin dari suami.
Singkatnya, istri punya hak penuh atas hartanya dan sekaligus punya tanggung jawab penuh atas harta pribadinya itu baik di dunia dan di akhirat. []